Ada cowok yang pikirannya masih di zaman batu, yang menganggap seks cuma sekedar kompetisi. Semakin banyak cewek yang ditiduri, maka semakin jantan dia.
Terus ada juga yang menganggap ini cuma sebagai salah satu ajang seleksi. Kalau goyangannya enak, maka mereka bakal jadian.
Ada lagi yang melihat ini cuma buat kesenangan, tanpa perlu ada keterikatan. Ya, melakukannya cuma karena suka. Sudah, begitu saja.
Dan ada juga cowok yang menganggap seks itu sesuatu yang sakral. Sesuatu yang cuma bisa mereka lakukan sama orang yang benar-benar mereka sayangi.
Nah, kalau gue sendiri?
Jujur, gue juga nggak mengerti. Gue bahkan nggak tahu apa arti seks buat gue.
Terus, sekarang gue ada di sini sama Carolline?
Gue baru kenal dia, jadi gue nggak ada niatan buat tidur sama dia. Tapi kalau soal bikin dia puas?
Itu cerita lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Apartemen
...Selma...
...────୨ৎ────જ⁀➴...
"Gue nggak bisa berhenti mikirin dia."
Konyol banget. Ini nggak seharusnya terjadi. Berapa kali, sih gue ketemu dia?
Empat?
Lima?
Seharusnya itu nggak cukup buat bikin dia nyangkut di kepala gue terus-terusan kayak gini. Bahkan di novel-novel nyokap gue, seseorang nggak jatuh cinta secepat ini.
Jatuh cinta?
Duh, Selma, lo harus kendalikan diri. Tapi ini salah dia!
Kenapa sih dia harus sekeren itu?
Tatapannya manis banget, senyumnya juga. Gue cuma korban dari kesempurnaan yang namanya Asta Batari. Ini cuma crush, udah gitu aja. Nggak ada yang perlu dibesar-besarkan. Ini normal, wajar banget.
"Lo ngapain sih nyiksa buku itu?"
Dino ngomong sambil nunjuk ke depan gue. Gue baru nyadar kalau catatan gue berantakan, parah. Pensil gue menekan terlalu keras sampai kertasnya sobek di beberapa bagian. Gue buru-buru menutupi dengan senyum manis ala bidadari.
"Lagi bikin seni."
Dino angkat alis. "Dengan membantai kertas? Lo emang selalu bikin gue heran, Selma."
"Diam, lo."
Dia langsung angkat tangan. "Lo ke sini buat belajar atau buat ngajak ribut?"
Dino nyeruput minumannya sebelum naruh itu di atas meja dapur.
Dapur ini.
Iya, gue ada di apartemen Dino. Yang mana dia tinggal bareng sama seseorang yang kebetulan nggak bisa keluar dari kepala gue.
"Halus dikit kenapa, sih, Selma."
"Ayo kita belajar," usul gue.
Gue balik halaman yang udah gue hancurin tadi dan fokus ke catatan. Tapi mata gue malah sibuk melirik ke arah pintu masuk, terus ke lorong yang menuju kamar. Gue gigit bibir, berusaha nggak kelihatan mencurigakan.
Dino mengikuti arah pandangan gue. "Asta nggak ada," katanya.
"Oke, makasih atas infonya."
Dino bersandar ke kursinya sambil nyilangkan tangan di dada. "Lo ngingetin gue sama seseorang. Lo tuh gampang banget ditebak, Selma."
"Gampang ditebak?"
"Udah deh, kita sama-sama tahu nilai lo jauh di atas gue. Lo nggak butuh gue buat jawab ini. Jadi, lo ke sini pasti gara-gara si Batari itu."
Gue ngakak kencang, sengaja dibikin lebay.
"Please deh, Dino!" Gue mendengus sambil mendelik. "Lo kebanyakan halu."
Dia cuma senyum iseng.
"Belum pernah lihat lo kayak gini," katanya. "Biasanya lo santai banget, jarang kelihatan gelisah atau panik. Gila sih, lo benaran kena nih?"
Gue mau protes, tapi tiba-tiba suara pintu depan terbuka. Gue langsung beku. Panik.
Asta bakal mikir apa kalau melihat gue di sini?
Gue kenal Dino jauh sebelum Asta masuk kampus. Ini juga bukan pertama kalinya gue main ke sini. Santai, Selma. Tarik napas.
Asta muncul dari lorong, terus berhenti pas melihat gue.
"Oh, Selma," katanya, kaget. Matanya beralih ke Dino. "Gue nggak tahu kalau—"
Gue tetep menatap dia karena udah lebih dari seminggu sejak terakhir kali gue lihat dia di kampus. Kita nggak ngobrol, nggak ada chat, benar-benar zero communication. Dan sialnya, dia masih sekeren biasanya.
Hari ini dia cuma pake kaos putih sama jeans, rambutnya lebih berantakan dari terakhir kali gue lihat. Tapi yang paling gue perhatiin adalah lingkaran hitam di bawah matanya. Mukanya kelihatan capek. Kayaknya dia masih berjuang buat adaptasi sama semuanya.
"Iya, gue ke sini buat belajar sama Dino," kata gue, berusaha menyembunyikan rasa gugup.
Asta jalan ke arah kulkas, ambil botol air. Gue otomatis memperhatikan dia pas dia mengangkat kepala buat minum. Bahkan lehernya pun kelihatan keren. Gue buru-buru buang muka, tapi malah ketemu tatapan Dino yang nyengir jahil. Sumpah, pengen gue gampar!
Asta akhirnya duduk di seberang meja, di sebelah Dino.
"Lagi belajar apa?"
Dino langsung melirik gue. "Iya, Selma? Kita lagi belajar apa hari ini?"
Gue kasih dia tatapan tajam. Sial, gue aja lupa seharusnya lagi belajar apa.
"Kayaknya Anatomi, Asta. Kita butuh relawan," kata Dino dengan muka polosnya.
Gue udah siap melempar sesuatu ke dia, tapi Asta malah kelihatan bingung.
"Anatomi? Di Teknik?"
"Bercanda." Gue ketawa canggung. "Lo tau kan, dia emang suka gitu."
"Dan gue, cowok ganteng nan eksotis ini, udah kehabisan energi." Dino berdiri sambil ngulet. "Gue mau tidur siang dulu."
"Oke, gue juga cabut deh." Gue ikut berdiri, tapi Dino buru-buru angkat tangan dan nunjuk ke arah gue.
"Eh, nggak usah buru-buru. Lo nggak harus pergi, Selma."
"Hari ini malam jumat, malam yang bagus buat nonton film, dan gue lagi agak nggak enak badan."
"Pagi tadi lo masih sehat-sehat aja," Asta ngingetin.
"Itu tadi. Sekarang beda. Hidup itu terus bergerak, berubah, dan penuh perjuangan, Asta," kata Dino dengan ekspresi sok bijak.
"Hah?"
"Intinya, Selma, lo punya utang budi sama gue. Jadi, temanin Asta nonton film malam ini. Horror, dan dia takut."
Terus dia pergi begitu saja, tanpa nunggu jawaban. Sekarang gue sendirian sama Asta.
Hening.
cobalah utk hidup normal phyton
𝚜𝚊𝚕𝚞𝚝 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊,𝚠𝚊𝚕𝚊𝚞𝚙𝚞𝚗 𝚖𝚊𝚕𝚟𝚒𝚗 𝚔𝚊𝚔𝚊𝚔𝚗𝚢𝚊 𝚝𝚊𝚙𝚒 𝚍𝚒𝚊 𝚝𝚍𝚔 𝚋𝚎𝚕𝚊𝚒𝚗 𝚔𝚊𝚔𝚊𝚔𝚗𝚢𝚊,𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊 𝚖𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚗𝚐𝚎𝚍𝚞𝚔𝚞𝚗𝚐 𝚙𝚑𝚢𝚝𝚘𝚗