Che Tian, seorang Saint terkuat di alam dewa, kecewa ketika kekasihnya, Yuechan, direbut oleh Taiqing, penguasa alam dewa yang dipilih oleh Leluhur Dao. Merasa dihina, Che Tian menantang Taiqing dan dihukum, diturunkan ke bumi untuk mencari kekuatan yang lebih besar. Dengan senjata sakti, Mandala Yin Yang dan Kipas Yin Yang, Che Tian membangun kekuatan baru dan mengumpulkan murid-murid yang setia. Dalam perjalanannya, ia menghadapi pengkhianatan dan rahasia alam semesta, sambil memilih apakah akan membalas dendam atau membawa keseimbangan yang lebih besar bagi dunia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tian Xuan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6: Benih Kasih Sayang
Malam semakin larut setelah makan malam yang hangat, dan suasana rumah yang sederhana terasa semakin tenang. Setelah menyelesaikan hidangan yang disiapkan oleh Ling Yihan dan Ling’er, Che Tian merasa puas. Bayi perempuan yang tadi ia gendong kini tertidur lelap di pangkuannya setelah disuapi dengan lembut. Che Tian mengamati wajah bayi yang imut, tersenyum kecil.
“Eh, sudah tidur,” kata Che Tian pelan sambil menatap wajah bayi yang penuh kedamaian.
Ling Yihan yang melihat itu pun tersenyum, lalu Che Tian menoleh padanya. “Apa nama bayi ini? Bukankah kau yang menemukannya?”
Ling Yihan mengerutkan dahi, tampak sedikit ragu. “Sebenarnya, aku tidak tahu, Guru. Aku menemukannya di pepohonan, tampaknya dia ditinggalkan.”
Ling’er, yang juga mendengarkan, kemudian mengusulkan dengan lembut, “Bagaimana kalau Guru yang memberi nama bayi ini?”
Che Tian berpikir sejenak. Nama bayi ini memang harus istimewa, karena ia sudah mulai menyentuh hatinya. Akhirnya, setelah merenung, ia berkata, “Aku akan memberi nama depan bayi ini dengan namaku, Che, dan nama belakangnya... Jiao, karena dia imut dan cantik.”
Ling Yihan dan Ling’er saling memandang dan tersenyum, mengangguk setuju dengan nama tersebut. “Che Jiao,” ucap Ling Yihan dengan penuh rasa syukur, sementara Ling’er tampak begitu terharu.
Malam semakin larut, dan keheningan pun meliputi rumah itu. Che Tian berdiri, siap untuk mengembalikan bayi itu kepada Ling’er agar ia bisa menjaga dan memastikan Che Jiao tetap tidur dengan nyaman. Semua pun bersiap untuk tidur. Namun, tiba-tiba Ling Yihan dan Ling’er saling bertukar pandang dengan sedikit kebingungan. Mereka berdua tahu bahwa mereka ingin tidur bersama, namun pertanyaan besar muncul: di mana Guru akan tidur?
Meskipun rumah ini memiliki dua kamar, kedua kamar tersebut terletak berdempetan, dan mereka sudah lama tidak bersama, merasa ada keinginan yang kuat untuk berhubungan intim. Namun, akan menjadi masalah jika Guru tidur di sebelah. Ling Yihan dan Ling’er tampak berpikir keras, berusaha mencari solusi.
Che Tian yang memiliki penglihatan tajam atas perasaan orang lain segera menangkap situasi tersebut. Dengan senyum kecil, ia berkata, “Kalian tidak perlu khawatir. Aku tidak akan tidur malam ini. Aku akan keluar untuk menikmati langit berbintang.”
Che Tian kemudian mengambil kembali Che Jiao dari gendongan Ling’er dan berkata, “Biarkan aku yang mengurusnya. Kalian berdua bisa bersenang-senang.”
Ling Yihan dan Ling’er tersipu malu mendengar itu, namun Che Tian hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum. “Tidak perlu merasa canggung,” katanya ringan, sebelum melangkah keluar.
Namun, tepat sebelum Che Tian melangkah keluar, Ling’er merasa khawatir. “Guru, jika Che Jiao dibawa keluar, aku takut dia kedinginan. Bagaimana jika dia tidur di dalam saja?”
Che Tian memandangnya sejenak, lalu mengeluarkan sutra penenang dari saku bajunya, yang terlihat seperti kain halus berwarna lembut. Dengan tatapan penuh kasih sayang, ia berkata, “Tidak masalah, dengan benda ini, dia tidak akan kedinginan. Tidur nyenyak.”
Dengan itu, Che Tian akhirnya keluar dari rumah. Pintu ditutup dengan pelan, menciptakan keheningan yang damai. Tak lama setelah itu, lampu rumah pun mati, menandakan bahwa Ling Yihan dan Ling’er sudah mulai melanjutkan apa yang mereka inginkan.
Che Tian, yang sudah berada di luar rumah, hanya tersenyum dan berbalik menuju tempat yang lebih sepi. Di tempat terbuka, ia duduk bersila dan mengeluarkan Mandala Yin Yang, sebuah diagram yang menjadi senjata terhebat nya. Ia menggenggam Che Jiao dengan penuh kelembutan, bayi yang sudah tidur lelap di pelukannya. Dalam kesendirian malam itu, Che Tian menatap langit yang dipenuhi bintang, merenung tentang perjalanan yang masih panjang.
Namun dalam hatinya, ada kehangatan yang tak terungkapkan, seperti sebuah benih kasih sayang yang mulai tumbuh dalam dirinya—meski ia tak mengakui itu secara terang-terangan. Malam itu, Che Tian merasa lebih dekat dengan mereka, murid-muridnya yang telah membuka hatinya dengan cara yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
---Tamat bab 6---
Sutra Penenang