Anna tidak pernah membayangkan bahwa sebuah gaun pengantin akan menjadi awal dari kehancurannya. Di satu malam yang penuh badai, ia terjebak dalam situasi yang mustahil—kecelakaan yang membuatnya dituduh sebagai penabrak maut. Bukannya mendapat keadilan, ia justru dijerat sebagai "istri palsu" seorang pria kaya yang tak sadarkan diri di rumah sakit.
Antara berusaha menyelamatkan nyawanya sendiri dan bertahan dari tuduhan yang terus menghimpitnya, Anna mendapati dirinya kehilangan segalanya—uang, kebebasan, bahkan harga diri. Hujan yang turun malam itu seakan menjadi saksi bisu dari kesialan yang menimpanya.
Apakah benar takdir yang mempermainkannya? Ataukah ada seseorang yang sengaja menjebaknya? Satu hal yang pasti, gaun pengantin yang seharusnya melambangkan kebahagiaan kini malah membawa petaka yang tak berkesudahan.
Lalu, apakah Anna akan menemukan jalan keluar? Ataukah gaun ini akan terus menyeretnya ke dalam bencana yang lebih besar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eouny Jeje, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dingin yang tak memantahkan
Ethan duduk dengan ekspresi datar, menunggu kabar tentang penyiksaan Harry. Dia ingin melihat kepanikan, ketakutan, dan rasa putus asa yang menghancurkan pria itu. Namun, keheningan justru menyelimuti ruangan.
Anna tidak melakukan apa pun. Tidak bergeming. Tidak bereaksi.
Lalu, Han masuk, suaranya berat dan penuh tekanan. “Kevin Zhang selamat. Tapi dia menolak berbicara. Seolah mulutnya dijahit rapat.”
Mata Ethan menyipit, ketidakpuasan tersirat jelas. Lalu, dia terkekeh—bukan tawa bahagia, melainkan tawa meremehkan.
“Dasar teman bodoh!” kata Han dingin. “Apa dia pikir bisa menyelamatkan Harry begitu saja? Bahkan setelah hampir mati, dia masih tetap setia.”
Tawa Ethan mereda, berganti tatapan penuh perhitungan. “Tapi… Kevin tidak sebodoh itu.”
Dia mengangkat dagunya, menatap Han tajam. “Pikirkan baik-baik. Kevin membiarkan dirinya ditembak. Dia memilih gerbang depan dengan sengaja. Bukan melarikan dengan tenang dan diam-diam. Dia bisa saja menghindar, tapi dia memilih seseorang menembaknya. Kenapa?”
Ruangan terasa lebih gelap, udara lebih berat.
“Dia ingin kita lengah,” Ethan berbisik, seperti menyadari sesuatu yang lebih besar. “Kevin tahu seseorang menunggunya. Seseorang yang bisa membalikkan keadaan. Dan orang itu… pasti ada di sekitar sini. Pasti terkejut tentang Kevin yang tertembak.”
Han menegang. “Anda menduga ada serangan balik?”
Ethan menghela napas panjang, lalu tersenyum kecil—senyum yang tidak membawa kehangatan, melainkan ancaman.
“Ini bukan sekadar dugaan, Han. Ini kenyataan. Sesuatu akan terjadi.” Matanya menatap kosong ke depan, seakan melihat skenario yang belum terungkap. “Dan kita akan lihat… siapa yang akan bertahan lebih lama.”
Han mengepalkan tangan. “Saya akan memastikan Kevin tidak punya celah untuk bergerak.”
“Tidak.” Ethan mengangkat satu jari, menghentikannya. “Kita biarkan dia berpikir dia aman. Kita biarkan dia mengirimkan sinyal itu… dan saat mereka bergerak—”
Senyumnya semakin menyeramkan.
“—kita akan menyambut mereka dengan neraka.”
“Lalu, bagaimana dengan Anna? Anda masih memberinya terlalu sedikit tekanan… bahkan tidak mengizinkan orang-orang untuk menyentuhnya.”
Ethan tidak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum kecil—senyum yang nyaris tidak terbaca, seperti raja yang tahu persis bagaimana mengendalikan kerajaannya.
“Dia penyelamatku. Dia calon istriku. Aku tidak akan kejam.”
Han menatapnya sejenak, mencoba mencari celah dalam kata-kata itu. Namun, ia memilih untuk diam.
Namun, ia…
Ia tidak menyukai Tuan. Bahkan sepersen pun, sepertinya tidak ada.
Ethan mengangkat beban dengan mudah, seolah tubuhnya tidak pernah mengalami luka. Otot-ototnya menegang, menunjukkan kekuatan yang tidak hanya berasal dari fisiknya, tetapi juga dari tekadnya. Hari-harinya dihabiskan untuk mengembalikan kekuatan kakinya, bukan karena ia ingin sekadar pulih, tetapi karena ia harus lebih kuat. Lebih tangguh.
Orang-orang bodoh di luar sana berpikir bahwa ia sedang meratapi nasib. Mereka tidak tahu apa-apa.
“Aku tidak ingin menyentuh Anna.” Suaranya rendah, tapi penuh kendali. “Fisiknya terlalu lemah. Aku takut dia mati. Dan itu akan mengacaukan rencanaku.”
Matanya tajam, seolah melihat sesuatu yang jauh di depan, sesuatu yang belum bisa dipahami oleh orang lain.
“Dia hanya perlu diasah mentalnya.” Ethan menyandarkan punggungnya, tatapannya tenang, penuh perhitungan. “Karena calon istri Ethan Ruan… tidak boleh memiliki ketakutan. Dia harus kuat. Dia harus mampu berdiri di sisiku. Semakin keras kepala dia, semakin aku menyukainya.”
Han mengangguk pelan, merasakan ketegasan yang terpancar dari tuannya.
“Apakah dia akan datang?”
Ethan menoleh, ekspresinya hampir meremehkan pertanyaan itu.
“Dia akan datang… dengan caraku.”
Tangannya mencengkeram erat besi angkat beban, seolah dunia ada dalam genggamannya. “Dia akan tahu bahwa aku bisa mendapatkan apa pun yang kuinginkan… termasuk dirinya.”
Han menelan ludah. “Apakah dia tidak akan membenci Anda, Tuan?”
Ethan tersenyum—senyum yang membawa wibawa, yang membawa keyakinan bahwa segala sesuatu akan berjalan sesuai kehendaknya.
“Tidak ada kebebasan tanpa batas… tetapi kebebasan yang dia miliki akan diatur oleh Ethan Ruan, suaminya kelak.” Ia menghela napas, tapi tetap dengan keanggunan seorang pria yang sudah memiliki segalanya. “Dia tidak akan membenciku.”
Karena tidak ada yang bisa membenci kekuasaan yang melindunginya.
Ethan menghentikan latihannya sejenak saat ponselnya berdering. Tanpa ekspresi, ia menekan layar dan menghubungkannya ke televisi besar di dinding. Gambar di layar langsung menyala, memperlihatkan kondisi di ruangan lain—ruangan yang kini menjadi neraka bagi satu orang tertentu.
Namun, Ethan tidak terburu-buru. Ia kembali melanjutkan olahraga, mengangkat beban dengan tenang, seraya menonton apa yang terjadi di sana.
Di layar, Harry Zhao tampak terduduk di lantai semen yang membeku, tubuhnya dikelilingi balok-balok es yang tinggi menjulang. Dua pria bertubuh kekar menekannya ke dalam wadah logam besar yang penuh dengan air dan bongkahan es. Tangannya terikat di belakang, tubuhnya bergetar hebat, tapi matanya… tetap sama.
Dingin. Tidak hancur.
Kamera memperbesar gambar wajahnya—rahangnya mengeras, napasnya tertahan, bibirnya sudah membiru, namun ia tidak merintih. Tidak ada suara kesakitan yang keluar dari mulutnya, seolah ia menolak memberi mereka kepuasan untuk melihatnya menyerah.
Lalu, salah satu algojo meraih seember air es dan menuangkannya tepat di atas kepala Harry. Tubuh pria itu tersentak, otot-ototnya menegang dalam reaksi alami terhadap dingin yang menyengat hingga ke tulangnya.
Ethan memperhatikan semuanya dengan tenang.
“Ini kah pria yang kau suka?”
Suara itu tiba-tiba muncul di kepalanya, seolah Anna sendiri berdiri di sana, bertanya langsung kepadanya.
Mata Ethan menyipit, mengakui sesuatu dalam diam.
Harry Zhao memang pantas disebut lawan yang kuat.
Bahkan di ambang hipotermia, dia tetap tidak tunduk. Jika dibiarkan, dia bisa menjadi ancaman yang lebih besar. Bahkan mungkin… bisa mengejarku.
Aku tidak boleh lengah.
Ethan melirik Han dan mengisyaratkan ke layar. Kini, kamera menunjukkan mata Harry—basah, tapi bukan karena air mata. Itu adalah reaksi tubuhnya terhadap suhu ekstrem, bukan kelemahan.
“Han, lihat matanya.” Suaranya rendah, nyaris mencemooh. “Dia terlihat cengeng sekali.”
Ethan tidak ingin mengakui sepasang mata Harry yang berkilat mengerikan.
Han menelan ludah, matanya masih terpaku pada layar. Namun, dalam hatinya, ia tahu.
Dia hanya sedang bangun, Tuan. Jika dia mampu mengendalikan dirinya di titik ini… kita bahkan tidak tahu sejauh apa batasnya. Karena di dalam penjara, kekuasaan memiliki bentuknya sendiri. Ia bukan seseorang yang biasa-biasa saja.
Ethan menyilangkan tangan, pikirannya berputar. Sekutu Harry masih belum bergerak. Apakah mereka takut? Atau menunggu sesuatu?
Han akhirnya membuka suara. “Sampai saat ini, saya bahkan tidak tahu siapa Harry sebenarnya. Nama orang tua di biodatanya kemungkinan hanyalah orang tua angkat. Kevin Zhang juga tidak memiliki siapa pun. Dia hanya anak panti asuhan. Tidak ada jejak organisasi atau sekutu di sekeliling mereka. Sejauh ini, mereka hanyalah orang biasa.”
Ethan tertawa. Keras.
“Orang biasa tidak akan pernah memiliki mata seambisius itu.” Ethan mengakui pula.
Namun, tawanya perlahan mereda. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, sesuatu yang tidak bisa ia abaikan begitu saja.
Di benaknya, ia kembali mengingat mata lain—mata yang berbeda dari Harry. Mata yang polos. Mata yang tidak menyimpan kebencian. Mata yang melihat dunia begitu datar dan sederhana…
Mata Anna.
Apakah itu alasan dia menyukai Anna?
Karena di balik matanya, tidak ada peperangan. Tidak ada ambisi yang menyala-nyala. Hanya dunia yang berjalan normal… tanpa tahu apa-apa.
Han diam, memperhatikan tuannya dengan seksama.
Untuk pertama kalinya, Ethan tampak seolah sedang berceloteh sendiri.
Dengan cemburu yang bahkan tidak ia sadari.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Fashion House bukan sama dengan Rumah Mode dalam bahasa?