Alana Adhisty dan Darel Arya adalah dua siswa terpintar di SMA Angkasa yang selalu bersaing untuk menjadi yang terbaik. Alana, gadis ambisius yang tak pernah kalah, merasa dunianya jungkir balik ketika Darel akhirnya merebut posisi peringkat satu darinya. Persaingan mereka semakin memanas ketika keduanya dipaksa bekerja sama dalam sebuah proyek sekolah.
Di balik gengsi dan sikap saling menantang, Alana mulai menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda dalam hubungannya dengan Darel. Apakah ini masih tentang persaingan, atau ada perasaan lain yang diam-diam tumbuh di antara mereka?
Saat gengsi bertarung dengan cinta, siapa yang akan menang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my pinkys, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rahasia yang terungkapkan
Alana duduk di atas tempat tidurnya dengan tatapan kosong. Rasa perih di lengannya masih terasa meskipun ia sudah mengoleskan salep. Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, ia hanya bisa menatap langit-langit kamarnya tanpa ada siapa pun yang peduli kecuali orang yang telah membesarkan nya dan merawat nya sedari masih kecil itu pun pembantu di rumah nya yang sudah ia anggap sebagai ibu nya.
Tiba-tiba, terdengar ketukan pelan di pintu.
“Non Alana?”
Suara lembut itu berasal dari Mbok Sari, salah satu pembantu di rumahnya yang sudah mengabdi sejak Alana kecil. Alana buru-buru menyeka air matanya sebelum menjawab, “Masuk, Mbok.”
Pintu terbuka perlahan, dan Mbok Sari masuk dengan membawa sebuah kotak P3K di tangannya. Wajahnya penuh kekhawatiran begitu melihat Alana yang masih mengenakan piyama lengan pendek, memperlihatkan kulit lengannya yang memerah dan melepuh akibat siraman air mendidih tadi.Ya, mbok Sari melihat perlakuan ayah dari Alana bahkan sudah sering ia menjadi saksi bisu perlakuan sangat majikan pada anak nya sendiri, namun ia bisa apa? pernah sekali ia membela Alana dan berujung ancaman untuk keluarga nya membuat Mbok Sari harus tutup mulut dan tutup mata akan perlakuan keji sang majikan.
“Ya Allah, Non...” suara Mbok Sari bergetar. “Kenapa Ayah Non tega berbuat seperti ini?”
Alana tersenyum kecil, meskipun hatinya terasa perih. “Alana baik-baik saja, Mbok.”
Mbok Sari duduk di tepi tempat tidur dan membuka kotak P3K yang ia bawa. “Non, ayo sini. Biar Mbok obati dulu.”
Alana mengulurkan lengannya tanpa perlawanan. Ia sudah terbiasa menerima perlakuan ini, dan ia tahu hanya Mbok Sari satu-satunya yang peduli padanya di rumah ini.
Mbok Sari mengoleskan salep luka bakar dengan hati-hati, lalu membalutnya dengan perban bersih. Sepanjang proses itu, Alana hanya diam, menahan rasa perih yang menjalar di kulitnya.
“Non, sampai kapan Non mau bertahan seperti ini?” suara Mbok Sari penuh kesedihan. “Kalau terus begini, Mbok takut sesuatu yang lebih buruk akan terjadi.”
Alana menatap perempuan tua itu dengan senyum tipis. “Alana enggak punya pilihan lain, Mbok.”
Mbok Sari menghela napas berat. Ia tahu Alana adalah gadis kuat, tapi sekeras apa pun seseorang bertahan, tetap ada batasnya.
“Kalau Non butuh sesuatu, bilang sama Mbok, ya? Mbok selalu ada buat Non.”
Alana mengangguk pelan. “Terima kasih, Mbok.”
Setelah selesai mengobati luka Alana, Mbok Sari membereskan peralatan medisnya dan bangkit berdiri. “Non, besok sekolah pakai baju yang bisa nutupin luka ini, ya?”
“Iya, Mbok. Aku akan pakai sweater.”
Setelah Mbok Sari pergi, Alana merebahkan dirinya di kasur. Malam ini, ia berharap bisa tidur tanpa mimpi buruk.
Alana cuma ingin bahagia....bersama keluarga nya dan rumah yang sebenarnya.
Keesokan harinya, Alana melangkah masuk ke dalam kelas dengan mengenakan sweater pink milik nya yang sedikit kebesaran. Ia tidak ingin ada yang melihat luka di lengannya, terutama Shasa sahabat nya.
Namun, saat ia melewati bangku Shasa, sahabatnya itu langsung menarik lengannya dengan cepat.
“Auch...” Alana meringis.
Shasa terkejut dan langsung melepas tangannya. “Lana? Kamu kenapa?”
Alana buru-buru tersenyum, berusaha menutupi rasa sakitnya. “Enggak apa-apa, Sha.”
Shasa mempersempit matanya, menatap Alana dengan curiga. “Jangan bohong. Kenapa kamu pakai sweater? Udah mulai panas, lho.”
“Aku cuma... kedinginan,” jawab Alana cepat.
Shasa masih tidak percaya, tapi sebelum ia sempat bertanya lebih lanjut, bel masuk berbunyi.
“Kita bicara nanti,” bisik Shasa sebelum kembali ke tempat duduknya.
Alana menghela napas lega. Ia tahu Shasa pasti curiga, tapi ia tidak bisa membiarkan siapa pun tahu tentang kehidupannya di rumah.
Namun, sepanjang pelajaran, ia bisa merasakan tatapan Shasa yang terus mengawasinya dan tanpa Alana sadari Darel juga memperhatikan nya.
Dan ia tahu, cepat atau lambat, sahabatnya itu pasti akan mencari tahu kebenarannya.Namun ia masih takut jika ada orang lain yang mengetahui keadaan nya dan akan membuat memperburuk keadaan.
Saat jam istirahat tiba, Shasa menarik tangan Alana ke taman belakang sekolah yang sepi.
“Sha, aku lapar. Kita ke kantin aja, yuk” Alana berusaha mengalihkan perhatian.
Shasa tidak menggubris. Ia menatap Alana dengan serius. “Lana, aku enggak akan percaya kalau kamu bilang enggak apa-apa. Aku lihat tadi pagi, kamu kesakitan waktu aku tarik tanganmu. Kamu selalu bilang ngak papa padahal kamu kenapa-kenapa”
Alana menggigit bibirnya. “Aku cuma...Sha...aku laper banget nih”
“Jangan bohong lagi.” Shasa menatapnya lekat-lekat. “Aku sahabat kamu, Lana. Kamu bisa sembunyiin apapun dari aku tapi perasaan aku sebagai teman sekaligus sahabat,kamu ngak bisa boong Lana.”
Alana menunduk. Ia ingin tetap menyembunyikan semuanya, tapi melihat sorot mata Shasa yang penuh kepedulian, ia merasa hatinya melemah.
“Ayahku...” suara Alana bergetar, “... dia enggak suka kalau peringkatku turun.”
Shasa terdiam.Ia mulai mengerti sekarang.
“Apa... yang ayah kamu lakukin Lana?” tanyanya pelan, takut mendengar jawabannya.
Alana perlahan menarik lengan sweaternya, memperlihatkan perban putih yang melilit dipepanjang lengan kannanya.
Shasa menutup mulutnya dengan tangan, matanya membelalak kaget.
“Ya Tuhan, Lana... dia melakukan ini ke kamu?”
Alana mengangguk pelan. Jujur ia takut menatap Shasa sekarang.
Shasa langsung meraih tangan Alana dengan lembut. “Kamu harus lapor, Lana. Ini udah keterlaluan! Kamu enggak bisa terus-terusan diperlakukan kayak gini.”
“Aku enggak bisa,” bisik Alana. “Dia ayahku.”
Shasa menggeleng kuat. “Seorang ayah enggak seharusnya menyakiti anaknya Lana.”
Air mata menggenang di mata Alana, tapi ia buru-buru menghapusnya. “Aku udah terbiasa, Sha. Ngak papa kok”ucap Alana dengan senyum getir
Shasa menggenggam tangan Alana erat-erat setelahnya pengusap punggung kecil Alana yang akhirnya terisak pelan. “Aku enggak akan diam aja. Aku bakal bantu kamu. Kita pasti bisa cari jalan keluar.”
Alana menatap Shasa dengan campuran rasa takut dan harapan.
Mungkin... untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia tidak harus menghadapi semuanya sendirian.
◌◌◌◌◌◌◌◌◌◌◌◌◌◌◌◌◌◌◌◌◌◌◌◌◌◌◌◌◌◌◌◌◌◌
Suasana kantin menjadi sedikit lebih ramai ketika Darel dan gengnya bergabung di meja Alana dan Shasa. Biasanya, mereka selalu duduk di meja paling belakang di meja milik mereka,dengan aura yang tidak mudah didekati, tapi kali ini mereka memilih untuk makan bersama Alana dan Shasa, membuat banyak siswa melirik ke arah mereka dengan penasaran.
Alana sendiri masih merasa canggung. Ini pertama kalinya dia duduk semeja dengan kelompok yang terkenal paling berpengaruh di sekolah. Siapa yang tak tau Darel dan Genk nya?
“Ngapain kalian makan bareng kita?” tanya Shasa dengan nada curiga, matanya menyipit menatap Darel.
Darel menyesap jusnya sebelum menjawab dengan santai, “Karena Alana menarik.”
Alana yang sedang mengunyah langsung tersedak.
Uhuk
Dia buru-buru mengambil air minumnya dan meneguknya untuk meredakan rasa terkejutnya.
Shasa langsung menatap Darel dengan tajam. “Jangan macam-macam sama Lana lo.”
Rio, si cowok dengan rambut sedikit gondrong, tertawa kecil. “Tenang aja, kami enggak bakal ngapa-ngapain kok.”
Andra, yang lebih serius di antara mereka, menyandarkan punggungnya ke kursi. “Darel cuma penasaran.”
Alana mengernyit. “Penasaran?kenapa?”
Kevin, si cowok paling pendiam di geng itu, akhirnya berbicara. “Karena kamu beda dari cewek lain.”
“Beda gimana?” Alana semakin bingung.
"Apa karna gue bar-bar? Atau gue di kira gila? " ucap Alana membuat Shasa dan yang lain tertawa.
"Tuh kan, lo beda dari yang lain" ucap Kevin.
Darel menatapnya sambil tersenyum miring. “Biasanya, cewek-cewek di sekolah ini selalu berusaha cari perhatian ke gue. Tapi lo? Lo malah selalu menghindar.”
Alana terdiam. Memang benar, dia tidak pernah tertarik untuk terlibat dalam lingkaran sosial Darel atau gengnya. Dia hanya fokus pada studinya dan tidak peduli dengan popularitas.
Shasa melipat tangannya di dada. “Jadi, kalian suka sama cewek yang enggak peduli sama kalian?”
"Cih belum apa-apa udah di tolak duluan kali lo pada" ejek Shasa.
"Boleh juga lo" celetuk Kevin.
"Apa? Gue! " ucap Shasa sambil menunjuk dirinya sendiri lalu menatap Kevin tajam.
"Mimpi lo ketinggian, ogah gue sama cowok kutub kaya lo" ucap Shasa ketus dengan menatap Kevin tajam,sementara yang di tatap hanya tersenyum kecil.
"Udah Sha..." lerai Alana.
Juno, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. “Kita lebih ke arah… tertarik dengan sesuatu yang beda. Dan Lo beda dari yang lain Alana”
Alana menatap mereka dengan ragu. Dia tidak mengerti mengapa mereka begitu tertarik padanya. Namun, sebelum dia sempat menjawab, suara lain terdengar dari belakang mereka.
“Alana?”
Alana menoleh dan melihat seorang gadis berdiri di dekat meja mereka dengan ekspresi kaget. Itu Larissa, salah satu teman sekelas mereka yang terkenal selalu ingin dekat dengan Darel, namun selalu di tolak secara mentah oleh Darel.
“Lo makan bareng mereka?” tanya Larissa dengan nada tidak percaya.
Darel mendengus. “Memangnya kenapa kalau mereka makan bareng kami?”
Larissa menegang, lalu tersenyum canggung. “Enggak, cuma… biasanya kan Alana enggak pernah duduk bareng kalian.”
Rio tertawa kecil. “Nah, itu dia yang bikin menarik.”
Alana hanya bisa menghela napas. Dia tidak suka menjadi pusat perhatian seperti ini.
“Mending makan, ayo lanjut makan,” kata Juno untuk mengalihkan suasana.
Namun, sebelum mereka bisa kembali makan, tiba-tiba ada suara gaduh dari sudut kantin. Seorang siswa laki-laki tampak sedang berdebat dengan kakak kelas yang tubuhnya jauh lebih besar.
“Ada apa itu?” tanya Kevin sambil melirik ke arah keributan.
Alana juga ikut menoleh. Dia mengenali siswa laki-laki itu sebagai Dito, anak kelas sebelah yang sering terlihat sendirian. Sedangkan kakak kelas yang berdiri di hadapannya adalah Ardan, siswa kelas 12 yang dikenal sebagai pembuat onar.
“Gue cuma bilang kalau tempat duduk ini masih kosong!” suara Dito terdengar frustrasi.
Ardan menyeringai. “Oh ya? Tapi Gue duluan yang mau duduk di sini. Masalah buat lo?”
Dito mengepalkan tangannya, jelas berusaha menahan amarah.
Darel menghela napas dan meletakkan sendoknya. “Lagi-lagi dia.”
Shasa mengernyit. “Siapa?”
“Ardan.” Darel berdiri dari kursinya. “Gue muak liat dia terus-terusan nindas orang.”
Tanpa menunggu lebih lama, Darel berjalan ke arah Ardan dan Dito, diikuti oleh gengnya. Alana dan Shasa saling pandang sebelum akhirnya ikut berdiri untuk melihat apa yang terjadi.
Begitu Darel mendekat, Ardan menoleh dan menyeringai. “Oh? Tuan populer kita akhirnya datang juga.”
Darel tidak tersenyum. “Lepas!, Ardan.”
Ardan tertawa kecil. “Kenapa? Lomau jadi pahlawan?”
Dito menatap Darel dengan harapan.
Darel memasukkan kedua tangannya ke saku celana. “Gue cuma bosen liat kamu berlagak sok jagoan.”
Ardan menegang. “Maksud lo apa?”
Darel melangkah lebih dekat. “Gue bilang, Gue bosen.”
Suasana kantin semakin tegang. Semua siswa memperhatikan interaksi mereka dengan waspada dan ada juga yang gemes dengan adegan mereka seperti sedang ada di acara tv-tv.
Akhirnya, setelah beberapa detik yang terasa lama, Ardan mengangkat tangannya dan mundur selangkah. “Santai aja, gue cuma bercanda.”
Dito menatap Darel dengan rasa terima kasih sebelum cepat-cepat mengambil tasnya dan pergi dari kantin.
Darel hanya menghela napas dan kembali ke mejanya, diikuti oleh gengnya.
Ketika mereka duduk kembali, Shasa menatap Darel dengan ekspresi terkejut. “Gue nggak tahu lo bisa kaya tadi.”
Darel hanya tersenyum kecil. “Kadang gue juga bisa jadi orang baik Alana cantik.”ucap Darel dengan nada menggoda di akhir kalimatnya.
"Iiih! Darel monyet" teriak Alana kesal.
Setelah Darel pergi meninggalkan kantin Alana menatap punggung Darel yang mulai menghilang dari pandangan nya dalam diam. Ada sesuatu tentang Darel yang mulai menarik perhatiannya, meskipun dia belum bisa memahami sepenuhnya.
Hari itu, Alana menyadari satu hal.
Darel bukan hanya sekadar saingannya di akademik.
Dia lebih dari itu.
Dan itu membuatnya semakin bingung.
To be continued…