NovelToon NovelToon
Pernikahan Tanpa Pilihan

Pernikahan Tanpa Pilihan

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Terlarang / Pengantin Pengganti / Cinta Paksa / Pelakor
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: WikiPix

Pertengkaran karena himpitan ekonomi dan lilitan utang mewarnai rumah tangga, Sartika.

Demi masa depan cerah, Sartika tergoda oleh janji manis seorang teman, untuk bekerja di luar negeri.

Namun janji itu hanyalah omong kosong belaka, ia di jual beli di sebuah club malam.

Di tengah keputusasaan, setelah bersusah-payah keluar dari dunia gelap itu.

Sartika bertemu dengan seorang pria asing yang mengubah hidupnya. lebih baik? atau malah memperburuk keadaan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PTP Episode 26

Saat pintu tertutup, keheningan menyelimuti halaman rumah kecil itu. Sartika dan Calvin saling menatap, seolah mencari-cari kata-kata yang mampu menjelaskan kekosongan dan kebingungan yang melanda mereka.

Sartika menelan ludah, wajahnya pucat, diliputi perasaan bersalah dan kehancuran. Di matanya, terpantul bayangan Dinda yang menghilang, serta rasa kehilangan yang mendalam atas nasib Malik yang kini mendekam di penjara.

Calvin menghela napas panjang, mengusap wajahnya, mencoba memahami situasi yang baru saja terjadi.

"Kenapa... kenapa ini terjadi?" bisik Sartika, suaranya nyaris tak terdengar, bergetar karena campuran kebingungan dan kepedihan.

"Kalau dulu aku tidak nekat pergi dari rumah, semuanya tidak akan jadi seperti ini...," lanjutnya, suaranya semakin lirih.

Calvin menatapnya dalam, lalu menggeleng pelan. "Sudahlah, Sartika. Jangan kau sesali apa yang telah terjadi."

Dia menepuk bahu wanita itu dengan lembut. "Lebih baik, sekarang kita cari anakmu sebelum semuanya terlambat."

Sartika hanya mengangguk pelan, mencoba menerima kenyataan pahit ini. Langkahnya terasa berat saat berjalan menuju mobil. Tubuhnya lemah, membuat Calvin harus menopangnya agar tidak terjatuh.

Saat mereka berjalan, tatapan orang-orang mulai mengarah pada mereka. Beberapa tetangga yang berkumpul di depan rumah dekat dengan jalan mereka menuju mobil.

Mereka menatap dengan ekspresi campuran, ada yang iba, namun lebih banyak yang menghakimi.

"Lihat, wanita macam apa itu? Bisa-bisanya kembali ke desa ini dengan seorang pria setelah suaminya dipenjara, dan sekarang anaknya pergi entah ke mana," celetuk salah satu wanita paruh baya.

"Hei, Tik, kau tidak malu kembali ke desa ini setelah sekian lama menghilang? Dan sekarang kau muncul dengan pria kaya? Dasar wanita murahan, mudah sekali tergoda," timpal yang lain dengan nada sinis.

Sartika menunduk, merasa malu mendengar suara cemoohan mereka.

Namun, sebelum ia sempat berkata apa pun, Calvin melangkah maju. Tatapannya tajam, suaranya rendah tapi penuh ketegasan. "Mulut kalian terlalu cepat menghakimi tanpa tahu cerita sebenarnya."

Ia menyapu pandangan ke arah para ibu-ibu julid itu. "Kalau kalian tidak bisa membantu, setidaknya jangan menambah beban orang lain dengan kata-kata kalian."

"Saya tidak tahu bagaimana cara kalian hidup, tapi menilai seseorang tanpa tahu kebenarannya adalah hal yang memalukan," kata Calvin lagi, kini matanya menyapu wajah-wajah mereka satu per satu.

Para ibu-ibu itu terdiam sesaat, lalu saling berpandangan, beberapa tampak ragu, tetapi sebagian masih tampak enggan mengalah.

Sartika menundukkan wajahnya, menahan air mata yang hampir jatuh. Dadanya terasa sesak mendengar segala cemoohan yang ditujukan padanya.

"Saya tidak peduli dengan omongan kalian," lanjut Calvin.

"Tapi satu hal yang perlu kalian tahu, Sartika bukan wanita seperti yang kalian pikirkan. Dia seorang ibu yang sedang mencari anaknya yang hilang, dan kalian justru menambah bebannya dengan tuduhan-tuduhan yang tidak berdasar."

Salah satu wanita, yang tampaknya pemimpin dari kelompok gosip itu, mendengus kecil. "Lalu, siapa kau? Datang ke desa orang lain dengan gagah berani membela seorang perempuan yang sudah ditinggalkan suaminya di penjara? Kau pikir kami akan percaya begitu saja?"

Calvin tersenyum miring, lalu melangkah lebih dekat. "Saya orang yang cukup waras untuk tidak menilai seseorang dari cerita sepihak. Kalau kalian lebih sibuk mengurusi hidup orang lain daripada mencari tahu kebenaran, mungkin kalianlah yang sebenarnya pantas untuk dihakimi."

Para wanita itu terdiam, beberapa dari mereka mulai tampak tidak nyaman dengan tatapan dingin Calvin. Sartika hanya bisa menghela napas, menggenggam jemarinya sendiri untuk menenangkan diri.

Calvin berbalik, menggandeng tangan Sartika dengan lembut lalu membantunya masuk ke dalam mobil. Sebelum menutup pintu, ia menatap mereka sekali lagi.

"Kalian bisa berkata apa saja, tapi kami punya urusan yang lebih penting daripada meladeni omongan yang tidak berguna."

Mesin mobil menyala, akan meninggalkan para wanita yang kini hanya bisa saling berbisik dengan ekspresi tak lagi setajam tadi. Sartika menoleh ke arah luar jendela, merasa lelah dengan semua yang terjadi.

"Terima kasih..." suaranya lirih, nyaris tenggelam oleh suara mesin mobil.

Calvin menatapnya sekilas, lalu menepuk pundaknya dengan lembut. "Sekarang yang paling penting adalah menemukan Dinda. Kita fokus pada itu."

Sartika mengangguk pelan, mencoba menguatkan dirinya untuk melakukan perjalanan menemukan Dinda.

Mobil melaju perlahan melewati jalanan desa yang masih diselimuti embun pagi. Udara terasa sejuk, tetapi tidak cukup untuk meredakan kegelisahan yang memenuhi dada Sartika.

Ia terus memandangi luar jendela, matanya menelusuri setiap sudut desa, seakan berharap bisa menemukan sosok Dinda yang mungkin sedang bersembunyi di suatu tempat.

Calvin, yang sedang menyetir, melirik Sartika sesekali. Ia bisa merasakan kegundahan wanita itu, bahkan tanpa Sartika mengucapkan sepatah kata pun.

"Kita mulai dari mana?" tanya Calvin akhirnya, mencoba memecah keheningan.

Sartika menggigit bibir bawahnya, berpikir sejenak. "Dinda mungkin pergi ke tempat yang familiar baginya. Dulu, sebelum semua ini terjadi, dia sering bermain di dekat sungai di belakang desa. Kadang dia juga ke pasar kecil di ujung jalan."

Calvin mengangguk. "Baik, kita coba ke sungai dulu."

Mobil berbelok ke jalan kecil yang lebih sempit, dengan pepohonan tinggi di kiri dan kanan. Sesampainya di dekat sungai, mereka segera turun. Suara gemericik air terdengar jelas, bercampur dengan suara burung-burung yang berkicau di pagi hari.

Sartika berjalan tergesa-gesa ke tepi sungai, matanya menelusuri setiap sudut. Namun, tidak ada tanda-tanda keberadaan Dinda. Hanya ada beberapa anak kecil yang sedang bermain dengan riang.

Sartika mendekati mereka. "Dek, kalian lihat anak perempuan kecil bernama Dinda? Rambutnya sebahu, dia agak kurus dan suka memakai sandal merah?"

Anak-anak itu saling berpandangan sebelum salah satu dari mereka menjawab, "Kemarin aku lihat dia di sini, Kak. Tapi sekarang nggak tahu, mungkin dia pergi ke tempat lain."

Sartika menelan ludah, rasa cemas kembali menyeruak.

"Kita coba ke pasar," kata Calvin, tangannya menyentuh punggung Sartika dengan lembut, memberikan sedikit ketenangan.

Tanpa membuang waktu, mereka kembali ke mobil dan melanjutkan pencarian.

Pasar kecil desa sudah mulai ramai meski hari masih pagi. Para pedagang menggelar dagangan mereka, dan beberapa orang terlihat sibuk berbelanja kebutuhan sehari-hari. Sartika dan Calvin berjalan menyusuri setiap sudut, berharap menemukan Dinda di antara keramaian.

Tiba-tiba, seorang pedagang sayur menyapa Sartika dengan raut wajah penasaran. "Tik, kamu nyari anakmu, ya?"

Sartika langsung mengangguk. "Iya, Bu. Apa Ibu lihat dia?"

Pedagang itu mengangguk pelan. "Kemarin sore aku lihat dia di sini, mondar-mandir sendirian. Sepertinya dia lapar, tapi nggak punya uang buat beli makanan. Aku kasih dia sepotong ubi rebus, lalu dia pergi ke arah gang kecil di belakang pasar."

Sartika merasa dadanya semakin sesak. "Gang belakang pasar?"

"Iya, anak-anak jalanan sering berkumpul di sana," jawab si pedagang.

Calvin langsung mengambil langkah cepat. "Ayo kita ke sana, Sartika!"

Sartika mengikuti Calvin, hatinya berdegup kencang. Ada harapan, tapi juga ketakutan besar, takut menemukan Dinda dalam kondisi yang tidak diharapkannya.

Saat mereka sampai di gang belakang pasar, yang mereka temukan hanyalah beberapa anak jalanan yang duduk di sudut, berbagi makanan seadanya. Bau anyir dari selokan yang mengalir di dekatnya bercampur dengan aroma masakan dari warung-warung kecil di sekitar pasar.

Sartika melangkah maju, matanya menyapu setiap sudut gang yang kumuh itu. Namun, tidak ada tanda-tanda Dinda.

Salah seorang anak laki-laki yang tampak lebih tua dari yang lain menatap Sartika dengan curiga. "Nyari siapa, Bu?" tanyanya dengan suara serak.

Sartika segera mendekat. "Dinda… kamu lihat anak kecil namanya Dinda? Dia kurus, rambutnya sebahu, kemarin katanya ada di sini."

Anak itu tampak berpikir sejenak, lalu menggeleng. "Aku nggak lihat. Tapi tadi malam ada anak kecil nangis di ujung gang. Mungkin itu dia?"

Jantung Sartika mencelos. "Di mana?"

Anak itu menunjuk ke arah bangunan tua yang gelap di ujung gang. Sartika dan Calvin segera bergegas ke sana.

Saat mereka masuk ke dalam lorong sempit yang dipenuhi sampah dan kardus bekas, udara menjadi lebih dingin. Sartika merasa jantungnya berdebar kencang, takut dengan apa yang akan ia temukan.

Namun, saat mereka sampai di ujung lorong, yang mereka temukan hanyalah kasur lusuh yang teronggok di sudut, bekas makanan yang sudah basi, dan keheningan yang mencekam. Tidak ada Dinda.

Sartika merasa lututnya lemas. Ia memejamkan mata, berusaha menahan air matanya.

"Calvin… kalau dia sudah pergi dari sini… kita harus cari ke mana lagi?" suaranya bergetar.

Calvin menghela napas dalam-dalam, lalu meraih bahu Sartika dengan lembut. "Kita nggak akan menyerah. Kalau dia tadi malam ada di sini, berarti dia belum jauh."

Tiba-tiba, seorang wanita tua yang sedang mengais sampah di sekitar mereka mendekat. "Anak kecil? Ada… tadi pagi aku lihat satu anak sendirian di dekat jembatan tua."

Mata Sartika melebar. "Jembatan tua? Yang di dekat jalan keluar desa?"

Wanita itu mengangguk. "Iya… dia duduk di sana lama, kayak lagi nunggu seseorang."

Tanpa membuang waktu, Sartika dan Calvin segera berlari kembali ke mobil. Jembatan tua itu berjarak cukup jauh dari desa, dan jika Dinda memang ada di sana… mereka hanya bisa berharap tidak terlambat.

1
atik
lanjut thor, semangat
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!