Aku menikah karena perjodohan. Tanpa dasar cinta, karena suamiku adalah paribanku. Sama seperti diriku, Arbi juga menolak perjodohan ini. Tapi apalah daya, kami tidak bisa menolak perjodohan itu. Mampukah kami menjalani rumah tangga yang menurut pandangan orang kami adalah pasangan yang bahagia?
Terlebih ada Gladys diantara kami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Linda Pransiska Manalu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28. Pov Gladys.
'Huh, si*l*n! Aku tidak tau mau menyembunyikan kemana mukaku ini. Aku yang tadinya hendak memanas-manasi Rania, malah kepanasan sendiri.
Betapa tidak! Aku kaget saat bertemu Rania di butik itu. Terlebih kaget lagi saat tau dia pemilik butik itu. Selama ini aku taunya dia bekerja di pabrik konveksi. Palingan juga sebagai karyawan biasa atau setingkat mandor. Itulah sebabnya aku selalu meremehkannya. Orang kampung yang terpaksa hadir dalam kehidupanku dan Arbian, hanya karena mereka saudara sepupu.
Mereka dijodohkan dan harus menikah karena permintaan orangtua Arbi. Padahal selama ini aku adalah kekasih Arbian. Sudah bertahun-tahun kami menjalin hubungan tapi mamanya Arbian tidak menyukaiku.
Semua itu pasti gegara Rania, paribannya itu. Ternyata mereka telah lama dijodohkan. Bahkan sejak kecil tanpa sepengetahuan mereka sendiri. Kalau saja Arbian tidak meyakinkan aku kalau pernikahan itu cuma settingan, tentu aku tidak akan memberi izin. Kami saling mencintai, hanya terhalang restu orangtuanya saja.
Arbian telah berjanji akan bercerai setelah enam bulan menikah. Kalaupun akhirnya setelah satu tahun mereka tetap bersama, itu karena menunggu momen yang pas saja untuk menggugat cerai Rania. Itu rencananya Arbi, yang selalu ia gadang-gadangkan padaku. Walaupun sebenarnya aku angek, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Aku pasrah demi tujuanku menikah dengannya tercapai.
Namun, sejujurnya aku tidak sanggup menerima kenyataan itu. Kenyataan kalau orang yang aku cintai telah menikahi perempuan lain. Sekalipun dia selalu meyakinkan hatiku bahwa akulah satu-satunya penghuni hatinya.
Rasa cemburu itu kerap hadir menggerogoti, nyaris memusnahkan impianku. Rasa cemburu itu pula yang memicu amarahku setiap kali aku dan Rania berpapasan. Entah dimana pun, aku selalu mencari gara-gara dengannya. Mengompori teman-temanku untuk membullynya. Tujuanku hanya satu, menjatuhkan mental Rania. Sehingga dia merasa tidak nyaman dan akhirnya meminta cerai pada Arbian.
Sungguh diluar prediksiku ternyata Rania bisa bertahan hingga satu tahun. Entah apa yang menjadi motivasi gadis kampung itu, bisa bertahan. Padahal Arbian tidak pernah menyentuhnya meskipun tinggal satu rumah. Kalau uang atau harta, dia tidak pernah merepotkan Arbian dengan kebutuhannya.
Malah aku yang selalu minta ini itu, karena cemburu dan ingin diperhatikan.
"Rania itu perempuan mandiri." Pernah sekali waktu Arbian memuji Rania dihadapanku yang berujung pertengkaran antara kami. Aku marah dan cemburu berat kala itu. Sejak itulah aku selalu berusaha mengacaukan pernikahan mereka.
Kebencianku pada Rania semakin menggunung tiap harinya. Akibatnya sulit bagiku mengontrol emosi. Bahkan disetiap ada kesempatan berusaha menyakitinya.
Seperti kejadian tempo hari itu, aku melihat Rania di toko perhiasan. Tanpa pikir panjang aku mengerahkan teman-temanku untuk membully Rania. Tapi aku sungguh kaget, tidak kusangka temanku itu bertindak berlebihan. Dia menjambak rambut Rania, sehingga terjadi keributan dan berujung aku dilabrak oleh mamanya, Arbi.
Kejadian itu memperparah citra burukku dihadapan Mamanya Arbi. Bahkan Tante Dahniar sampai masuk rumah sakit karena syok. Arbian juga marah besar padaku, karena sikap aroganku pada Rania.
Bahkan dia mengancam tidak akan menceraikan istrinya, Rania. Jika kondisi mamanya memburuk. Tentu saja aku panik dan meminta maaf. Berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
Hati Arbian luluh dan mau memaafkanku. Tapi kejadian itu berulang lagi. Aku tidak menduga akan bertemu Rania di butik itu. Butik yang selama ini aku tau menjual barang branded.
Kebetulan karena ditemani Arbian, aku nekad saja masuk ke butik itu. Eh, malah jumpa sama Rania. Aku jadi kesal. Betapa kecil dunia ini kurasa, karena kerap bertemu dengannya.
Mendadak aku ada ide, untuk menyakiti Rania lagi. Terlebih sikap Rania yang sok cuek memicu amarahku. Belum lagi pelayan tokonya yang sombong. Melarangku membeli gaun yang aku sukai, karena harganya mahal katanya. Dia meremehkan aku dan Arbian.
Semakin mahal harganya aku makin ingin memiliki gaun itu. Tujuanku adalah agar Rania tahu betapa Arbian mencintaiku. Hanya karena ingin membahagiakan aku, Arbian rela membayar mahal sebuah gaun untukku. Aku yakin Rania akan sakit hati. Sudahlah suaminya selingkuh di depan matanya. Malah merogoh isi kantong lagi buat selingkuhannya.
Sayangnya niat burukku itu berubah jadi bumerang. Arbian merasa harga gaun itu kemahalan dan ingin harga diskon. Aku tersenyum angkuh saat Rania muncul. Tentunya dia akan menyaksikan sendiri, Arbi membelikan gaun mahal itu untuk. Hasil rancangan pemilik butik yang sudah punya nama.
Malu sekali aku saat itu, karena harga gaunnya tidak bisa ditawar. Perancang dan pemilik butik itu adalah Rania sendiri. Aku kaget bukan kepalang. Perempuan kampung yang kerap kuhina itu ternyata bukan orang sembarangan.
Aku yang selalu apa-apa meminta pada Arbian, merasa tertampar. Telak, kewajah dan jantungku. Bahkan Arbian juga tak kalah kagetnya. Rasa kaget dan kagum tergambar jelas di sorot matanya. Ternyata Rania adalah seorang pengusaha juga. Identitas yang dia sembunyikan selama ini.
"Kamu Ra, gak usah kebanyakan gaya dah. Cepat tuh panggil pemilik butik ini." Aku masih sempat menertawakannya. Siapa juga yang gak terpingkal 'kan, saat dia ngaku-ngaku pemilik butik itu. Butik itu memang baru buka, disini. Paling tiga tahun terakhir ini. Tapi di ibukota butik ini sudah pernah ada. Entah ini cabangnya atau punya nama yang sama aku tidak tau.
Aku hapal betul nama dan logonya. Soalnya saudaraku pernah mengirimkan hadiah padaku produk dari butik ini. Katanya barang-barang di butik ini barang branded, hasil rancangan dari pemiliknya sendiri dan sudah wara wiri di dunia fashion.
Masuk akal 'kan kalau aku gak percaya dengar pengakuan Rania. Dan penjelasan Mitha sang pelayan toko itu sangat luar biasa menohok jantungku.
"Maaf Pak, Bu. Pemilik "Butik Hasian" ini adalah milik Ibu Rania Hasian. Kami membuka cabang disini karena Ibu Rania menikah dengan pria dari kota ini. Selama ini yang mengelola butik ini adalah saya. Supaya Ibu Rania tetap fokus bekerja di perusahaan konveksi sebagai perancang. Maaf Bu, saya telah lancang membuka identitas Ibu karena tidak sikap mereka pada Ibu." Ungkapan pelayan toko itu membuatku syok. Terlebih Arbian. Dia segera menyeretku keluar dari butik itu. Hampir saja aku jatuh karena kehilangan keseimbangan.
Sudah gaunnya tidak jadi kumiliki, aku juga kehilangan muka di depan Rania.
"Kamu memang selalu membuat masalah padaku, Dys!" sentaknya lalu meninggalkanku begitu saja. Ingin rasanya aku teriak saat itu. Memaki-maki sepuasnya. Entah pada siapa kulampiaskan rasa kesal yang memuncak ini. Akhirnya aku pulang sendiri ke rumah, karena Arbian benar-benar tega meninggalkanku.
Huh lelaki si*l*n itu memang suka berbuat semaunya. Dan Rania lebih sialan lagi karena telah merecoki kehidupanku. ***
semangat thor secepatnya rania bebas dari arbi ok thor
semangat thor