Cintia tumbuh di lingkungan yang penuh luka—bukan cinta yang ia kenal, melainkan pukulan, hinaan, dan pengkhianatan. Sejak kecil, hidupnya adalah derita tanpa akhir, membuatnya membangun dinding kebencian yang tebal. Saat dewasa, satu hal yang menjadi tujuannya: balas dendam.
Dengan cermat, ia merancang kehancuran bagi mereka yang pernah menyakitinya. Namun, semakin dalam ia melangkah, semakin ia terseret dalam kobaran api yang ia nyalakan sendiri. Apakah balas dendam akan menjadi kemenangan yang ia dambakan, atau justru menjadi neraka yang menelannya hidup-hidup?
Ketika masa lalu kembali menghantui dan batas antara korban serta pelaku mulai kabur, Cintia dihadapkan pada pilihan: terus membakar atau memadamkan api sebelum semuanya terlambat.
Ikuti terus kisah Cintia...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maurahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19 BAYANGAN DALAM MIMPI.
Cintia menatap pantulan dirinya di cermin kamar mandi. Wajahnya masih basah oleh air yang baru saja ia gunakan untuk membasuh muka, tetapi dinginnya air itu tak mampu menghapus getaran dalam hatinya.
Mimpi itu begitu nyata—terlalu nyata. Ia bisa merasakan genggaman pisaunya, mendengar detak jantungnya yang berdegup cepat saat melangkah ke dalam kamar rumah sakit Araf. Ia bahkan masih bisa mencium bau antiseptik yang menyengat di udara.
Tapi itu hanya mimpi, bukan?
Cintia menghela napas panjang, lalu kembali ke kamarnya. Ia meraih ponselnya yang tergeletak di meja samping tempat tidur. Jemarinya ragu-ragu sebelum akhirnya mengetik sebuah pesan.
“Araf, bisa ketemu?”
Ia menekan tombol kirim, lalu menunggu. Dadanya terasa sesak.
Tak butuh waktu lama sebelum ponselnya bergetar. Pesan balasan dari Araf muncul di layar.
“Di mana?”
Cintia menggigit bibirnya. Ia tidak yakin apa yang sedang ia lakukan. Tapi ia butuh jawaban.
“Taman kota. Setengah jam lagi.”
Araf tidak membalas, tapi Cintia tahu dia akan datang.
---
Cintia tiba lebih dulu di taman kota. Udara malam terasa dingin, membuatnya merapatkan jaketnya. Lampu taman yang redup menciptakan bayangan panjang di tanah, membuat suasana semakin terasa menekan.
Beberapa menit kemudian, Araf muncul di kejauhan. Ia mengenakan jaket abu-abu, tangannya dimasukkan ke dalam saku. Langkahnya tenang, tetapi sorot matanya tajam saat mendekat.
“Kamu kelihatan aneh,” ucap Araf begitu ia berdiri di hadapan Cintia. “Ada apa?”
Cintia menatapnya dalam diam, mencoba membaca ekspresi laki-laki itu.
“Aku mimpi tentang kamu,” akhirnya ia berkata.
Araf mengangkat alisnya. “Mimpi?”
“Ya. Tentang aku… mencoba membunuhmu.”
Ekspresi Araf berubah, tetapi bukan keterkejutan yang terlihat di wajahnya—melainkan sesuatu yang lebih tenang, seolah-olah ia sudah memperkirakan hal ini.
“Dan di akhir mimpi itu, aku tertangkap.” Cintia melanjutkan, menatap Araf dengan intens. “Apa artinya, Raf?”
Araf menghela napas, lalu duduk di bangku taman. “Menurut kamu sendiri?”
Cintia ikut duduk di sampingnya. Ia menatap langit, mencoba mengatur pikirannya yang berantakan.
“Aku tidak tahu… mungkin aku takut?” gumamnya pelan.
“Takut apa?”
Cintia menunduk, jemarinya menggenggam erat ujung jaketnya. “Takut kehilangan kendali.”
Araf mengamati Cintia dengan seksama. “Kamu masih nyimpan dendam itu, kan?”
Cintia terdiam. Ia tahu Araf tidak perlu menyebut nama untuk memahami maksudnya. Dendam yang telah lama ia genggam—yang membuatnya menjalani rencana ini sejak awal.
“Dendam itu yang bikin aku tetap bertahan,” ucapnya akhirnya. “Tapi sekarang…”
“Sekarang ada aku.”
Cintia menoleh, menatap Araf dengan mata melebar. Laki-laki itu menatapnya dengan lembut, tapi ada ketegasan di dalamnya.
“Aku nggak akan nanya alasanmu menyimpan dendam, Cin. Aku tahu itu terlalu dalam buat dibicarakan begitu saja,” lanjut Araf. “Tapi aku juga tahu… kamu nggak benar-benar ingin tenggelam dalam ini semua.”
Cintia menggigit bibirnya. “Apa kamu yakin?”
Araf mengangguk pelan. “Kalau kamu benar-benar seperti di dalam mimpimu, aku nggak akan duduk di sini sekarang.”
Cintia tertawa kecil, getir. “Jadi, kamu bilang aku masih punya harapan?”
“Bukan harapan,” koreksi Araf. “Pilihan.”
Kata itu menggema di kepala Cintia. Pilihan.
Mungkin selama ini ia terlalu sibuk dengan rencananya sendiri, terlalu fokus pada balas dendam, hingga lupa bahwa ia masih bisa memilih jalan lain.
Dan mungkin, hanya mungkin, Araf adalah bagian dari jalan itu.
Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk.
“Baiklah,” ucapnya. “Aku ingin mencoba.”
Araf tersenyum kecil, lalu berdiri. Ia mengulurkan tangannya ke arah Cintia.
“Mulai dari sekarang, kita jalani ini sama-sama.”
Cintia menatap tangan itu sejenak, lalu meraihnya. Untuk pertama kalinya, beban di dadanya terasa sedikit lebih ringan.
Dan untuk pertama kalinya pula, ia merasa mungkin ia bisa lepas dari bayangan kelam yang selama ini menghantuinya.
Walaupun begitu, Cintia tetap dengan pendiriannya, balas dendam yang ia susun. Belum saatnya berhenti disini, dengan membalaskan perlakuan mereka ke Cintia. Karena trauma susah untuk diobati. Apalagi yang membuat luka sampai menjadi trauma, orang sekitar.
Dalam hati kecil yang terdalam, Cintia berucap"Maaf Raf."
tetel semangat ya Cintia
jadi Mak yg merasa takut tauuu
ambil hikmah dari kejadian dlu. it yg membuat km bertahan smpe skg
sebenarnya Cintia mimpi mu adakah gambaran yg terjadi kelak,rasa luka yg membawa dendam dan rasa dendam yg akan membawa celaka
apa sakit thor
mampir juga ya di cerita aku