Pernikahan Tanpa Pilihan

Pernikahan Tanpa Pilihan

PTP Episode 01

Sartika melemparkan piring ke lantai dengan suara berdebum yang menggema di rumah kecil itu. Pecahannya berhamburan, namun Malik hanya diam, duduk di kursi kayu usang dengan kepala tertunduk.

"Kamu ini suami atau bukan, Malik?" bentak Sartika, suaranya bergetar oleh emosi yang sudah lama ia pendam.

"Setiap hari aku harus pusing mikirin utang, sementara kamu? Kerja serabutan yang nggak jelas kapan dapat uangnya!"

Malik mengusap wajahnya yang kusut, napasnya berat. "Aku sudah berusaha, Tik. Aku nggak diam aja."

Sartika tertawa sinis, matanya penuh kemarahan dan kelelahan. "Berusaha? Berusaha itu kalau ada hasil! Bukan pulang dengan tangan kosong tiap minggu! Aku ini capek, Malik. Capek hidup begini terus! Tiap hari dihantui tagihan, makan seadanya, pakai baju yang sama bertahun-tahun!"

Ia menghela napas panjang, suaranya melemah, tapi tetap sarat ketegangan. "Aku ingin seperti orang-orang di luar sana. Makan enak, hidup nyaman. Tidak seperti ini..."

Malik mengangkat kepalanya, menatap istrinya yang kini matanya berkaca-kaca. Amarah dalam dirinya perlahan mendidih.

"Kamu pikir aku nggak capek, Tik?" suaranya mulai meninggi, untuk pertama kalinya ia melawan. "Kamu pikir aku nggak ingin kasih hidup lebih baik buat kamu dan Dinda?"

Ia berdiri, tubuhnya tegang, matanya menusuk tajam. "Aku kerja mati-matian, panas-panasan di sawah, ngangkat batu di proyek, pulang dalam keadaan tubuh remuk. Tapi kamu? Bukannya menghargai, malah terus menyalahkan!"

Sartika menyeka matanya dengan kasar. "Lantas aku harus bagaimana? Diam saja? Aku juga berusaha, Malik! Aku kerja jadi buruh cuci, cari tambahan dari pagi sampai malam. Tapi tetap saja, uang kita nggak cukup! Kamu pikir aku senang hidup seperti ini? Aku juga ingin Dinda punya masa depan!"

Pertengkaran itu semakin memanas, suara mereka saling bertumpuk, penuh emosi dan kelelahan yang tak kunjung usai.

Hingga suara kecil memecah segalanya.

"Ayah... Ibu... kenapa ribut?"

Dinda berdiri di ambang pintu dapur. Matanya yang masih mengantuk menatap mereka dengan kebingungan dan ketakutan.

Sartika terdiam, dadanya naik turun, sementara Malik mengalihkan pandangan, menahan emosi yang bergolak. Keheningan mendadak memenuhi ruangan, hanya suara detak jam dinding yang terdengar.

Dinda melangkah mendekat, suaranya lirih. "Kalian marah karena aku?"

Sartika menahan napas, rasa bersalah menghempasnya begitu saja. Ia segera mendekat, berlutut di depan putrinya, menggenggam tangannya yang kecil dan dingin.

"Tidak, Nak... bukan karena kamu." Suaranya lebih lembut, berusaha menenangkan.

Dinda masih menatapnya dengan mata berkaca-kaca, bibir mungilnya sedikit bergetar. "Tapi Ayah pergi... Ayah marah, ya?"

Sartika menoleh, melihat punggung Malik yang semakin menjauh. Lelaki itu tak mengatakan apa-apa, hanya menarik napas panjang sebelum melangkah keluar dari rumah, meninggalkan mereka dalam keheningan yang mencekam.

Sartika ingin memanggilnya, ingin menghentikannya. Tapi suaranya tertahan di tenggorokan. Ia hanya bisa menatap bayangannya yang menghilang di balik pintu.

Dinda menggenggam tangannya lebih erat, suaranya bergetar. "Ibu... Ayah nggak akan pergi selamanya, kan?"

Sartika tersenyum getir, menahan perih di dadanya. Ia mengusap kepala putrinya dengan lembut, meski hatinya sendiri dipenuhi ketakutan yang sama.

"Ayah pasti kembali, Sayang..." bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Dinda.

"Kamu masuk ke kamar dulu ya, nanti ibu nyusul." Ucap Sartika sambil membelai rambut Dinda dengan lembut, berusaha menyembunyikan kekacauan di hatinya.

Dinda menatapnya ragu, namun akhirnya menurut. Dengan langkah kecil, ia berjalan kembali ke kamarnya, sesekali menoleh ke belakang, seolah takut ibunya juga akan pergi seperti ayahnya.

Begitu pintu kamar tertutup, Sartika menarik napas dalam dan segera menyusul Malik yang sedang berjalan menjauh dari rumah.

Sartika memanggilnya, dan berkata dengan keras. "Kalau kau pulang dengan tangan kosong, jangan harap bisa kembali ke rumah ini."

Malik menegang, rahangnya mengeras. Ia mengepalkan tangan di sisi tubuhnya, menahan gejolak yang bercampur aduk. Marah, sakit, dan putus asa.

Ia menoleh, menatap istrinya yang berdiri dengan mata penuh kepedihan, tapi juga ketegasan yang tak bisa digoyahkan.

"Kamu benar-benar tega, Tik?" suaranya rendah, hampir berbisik.

Sartika tak menjawab. Ia hanya menatap Malik dengan mata yang berkilat oleh amarah dan kelelahan yang sudah bertahun-tahun ia pendam.

Malik menghela napas berat, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, ia melangkah pergi, menembus kegelapan malam.

Sartika hanya berdiri di tempat, merasa angin dingin berembus pelan menerpa wajahnya.

Ia masih berdiri di ambang pintu, memandangi jalan setapak yang kini kosong. Bayangan Malik telah menghilang dalam gelap.

Ia menggigit bibir, menahan gelombang perasaan yang berkecamuk. Amarah, penyesalan, ketakutan, semuanya bercampur jadi satu.

Namun, ia menepis rasa iba yang sempat menyeruak. “Kalau aku lembek, kami akan terus hidup seperti ini.”

Sartika menarik napas dalam, lalu masuk ke rumah dan menutup pintu. Matanya melayang ke lantai, melihat pecahan piring yang berserakan. Dengan langkah berat, ia mengambil sapu dan mulai membersihkannya, meski kepalanya masih dipenuhi bayangan Malik yang tidak begitu bisa membuat hidupnya bahagia.

Sementara itu, di sisi lain desa, Malik berjalan tanpa arah. Sepasang tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, tubuhnya diselimuti kelelahan yang tak hanya fisik, tapi juga batin.

"Jadi begini akhirnya..." gumamnya lirih.

Ia ingin marah pada Sartika, tapi di dalam hati kecilnya, ia tahu istrinya tidak sepenuhnya salah. Hidup mereka memang sulit. Dan selama ini, ia belum mampu memberikan yang lebih baik. Setelah dirinya di PHK pihak pabrik.

Malik berhenti di depan warung kopi kecil yang masih buka. Beberapa lelaki duduk di sana, bercengkerama sambil menyeruput kopi hitam.

"Malik? Ngapain malam-malam begini?" tanya seorang pria berusia sekitar lima puluhan, Pak Darto, pemilik warung.

Malik hanya menghela napas dan menarik kursi. "Pesan kopi, Pak."

Pak Darto mengangguk, lalu kembali ke dalam untuk menyiapkan pesanan.

Seorang pria lain, berkaus lusuh dan berbau tembakau, menatap Malik dengan senyum tipis. "Masalah rumah tangga?"

Malik melirik pria itu sekilas. Ia kenal sosok itu. Tarman, lelaki yang dulu pernah satu proyek dengannya di kota.

"Begitulah," jawab Malik pendek.

Tarman terkekeh. "Istrimu ngusir kamu lagi ya?"

Malik diam. Kopi panas yang diletakkan Pak Darto di depannya hanya ia pandangi.

Tarman menyandarkan tubuhnya ke kursi, lalu berbisik, "Kalau kamu butuh uang cepat, aku ada kerjaan buatmu."

Malik mengernyit. "Kerjaan apa?"

Tarman menatapnya lekat-lekat, senyum di wajahnya samar. "Bukan kerja kasar di proyek, tapi bayarannya lumayan. Cuma butuh nyali."

Ada sesuatu dalam cara Tarman berbicara yang membuat Malik merasakan firasat buruk. Namun, di benaknya hanya ada satu hal, ia harus kembali dengan uang.

Jika tidak, Sartika tak akan membiarkannya pulang.

"Kerjaan apa?" ulang Malik, kali ini dengan lebih serius.

Tarman menyeringai. "Ikut aku besok malam, dan kamu akan tahu."

Di rumah, Sartika duduk di samping tempat tidur Dinda yang sudah terlelap. Ia mengelus kepala putrinya dengan lembut, mendengus, menatap langit-langit dengan mata penuh kelelahan. Pikirannya kembali pada Malik, tapi kali ini bukan dengan kecemasan, melainkan kejengkelan yang membakar dadanya.

"Ahhh, sudahlah. Buat apa aku peduli dengan dirinya yang tak berguna menjadi suami?" gumamnya dengan nada penuh kebencian.

Ia bangkit dari tempat tidur, berjalan ke dapur, lalu menuangkan segelas air. Tangannya gemetar, bukan karena sedih, tapi karena marah.

"Seharusnya aku tidak menikah dengannya."

Pikiran itu sudah lama ada di benaknya, tapi baru malam ini ia benar-benar mengakuinya. Ia menyesal, sangat menyesal.

"Kalau saja aku memilih pria lain yang lebih kaya, hidupku pasti tidak seperti ini."

Hatinya terasa dingin. Tidak ada lagi kepedulian terhadap Malik. Jika lelaki itu benar-benar pergi dan tak kembali, biarlah.

"Mungkin itu yang terbaik."

Sartika meneguk airnya perlahan, lalu menatap bayangannya sendiri di kaca jendela.

Ia bukan lagi istri yang berharap, menunggu, atau mengkhawatirkan suami.

Ia hanya seorang perempuan yang ingin bertahan hidup, tanpa Malik yang penuh beban.

Keesokan paginya, Sartika terbangun lebih awal dari biasanya. Dinda masih terlelap, wajah polosnya terlihat damai meski malam sebelumnya diwarnai pertengkaran kedua orang tuanya. Sartika menghela napas dan perlahan keluar dari kamar, menuju dapur.

Tangannya lincah menanak nasi dan menyiapkan lauk seadanya. Seharusnya, ada Malik di sini, membantunya menjerang air atau sekadar duduk diam menunggu sarapan. Tapi rumah terasa lebih sepi tanpa sosok suaminya.

Namun, bukan kesedihan yang ia rasakan, melainkan kelegaan.

Tak ada lagi beban yang harus ia tanggung untuk seorang lelaki yang tak bisa diandalkan.

Sartika mengalihkan pandangannya ke luar jendela, berharap ada tanda-tanda Malik kembali. Namun, yang terlihat hanyalah jalanan kampung yang lengang dan sepasang burung pipit yang bertengger di pagar bambu.

"Kalau memang pergi selamanya, ya sudah."

Namun, entah kenapa, ada sesuatu yang menusuk perasaannya.

 

Di sisi lain desa, Malik terjaga di warung kopi, kepalanya terasa berat. Ia menghabiskan malam dengan duduk diam di bangku kayu, merenungi kata-kata Tarman. Tawaran itu terus terngiang di benaknya.

"Bukan kerja kasar, tapi butuh nyali."

Apa pun maksud Tarman, satu hal yang pasti: itu bukan pekerjaan bersih. Tapi, apa pilihan yang ia punya?

Ia merogoh saku celananya. Uang kertas yang tersisa hanya cukup untuk membeli makan sehari. Jika ia pulang tanpa membawa apa-apa, Sartika tidak akan menerimanya.

Saat itulah, langkah berat mendekat.

"Jadi, sudah pikirkan tawaranku?"

Tarman berdiri di depannya, menyeringai seperti seseorang yang tahu ia telah memenangkan permainan.

Malik menatapnya tajam. Ia tidak ingin terlibat dalam sesuatu yang salah, tapi ia juga tidak bisa pulang dengan tangan kosong.

"Kerjaan apa, Tar?" tanyanya akhirnya.

Tarman tersenyum puas. "Malam ini kita bergerak. Kalau kau serius, datanglah ke gudang tua dekat sungai."

Malik tak langsung menjawab. Ada kegelisahan di dadanya. Namun, saat ia mengingat wajah Sartika yang penuh kebencian dan Dinda yang ketakutan, ia tahu ia tidak bisa pulang dengan tangan kosong.

 

Siangnya, Sartika menerima kunjungan dari tetangga sebelah, Bu Rahayu. Wanita paruh baya itu membawa sebakul pisang matang dan senyum ramah seperti biasa.

"Kemarin aku dengar ribut-ribut. Malik ke mana?" tanyanya, meletakkan bakul pisang di meja.

Sartika mendengus, melipat tangan di dada. "Entah. Pergi sejak semalam dan belum pulang. Kalau dia nggak balik lagi, mungkin malah lebih baik."

Bu Rahayu menghela napas. "Aku paham kamu capek, Tik. Tapi, jangan sampai menyesal kalau dia pergi untuk selamanya."

Sartika terkekeh sinis. "Kalau dia bisa kasih aku hidup lebih baik, aku nggak akan ngomong begini, Bu."

Bu Rahayu hanya menggeleng, seolah ingin bicara lebih banyak tapi memilih diam. Setelah beberapa saat, ia akhirnya pamit pulang, meninggalkan Sartika yang sibuk menjemur pakaian.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!