Cerita ini mengisahkan sepasang suami isteri yang sudah dua tahun lamanya menikah namun tidak kunjung diberikan momongan.
Mereka adalah Ayana dan Zulfahmi.
Namun karena desakan sang ibu yang sudah sangat mendambakan seorang cucu dari keturunan anak lelakinya, akhirnya sang ibu menyarankan untuk menjodohkan Fahmi oleh anak dari sahabat lamanya yang memiliki anak bernama Sarah agar bisa berpoligami untuk menjadi isteri keduanya
Rencana poligami menimbulkan pro dan kontra antara banyak pihak.
Terutama bagi Ayana dan Fahmi sendiri.
Ayana yang notabenenya anak yatim piatu dan tidak memiliki saudara sama sekali, harus berbesar hati dengan rencana yang mampu mengguncangkan jiwanya yang ia rasakan seorang diri.
Bagaimanakah kelanjutan kisah Ayana dan Fahmi?
Apakah Ayana akan menerima dipoligami dan menerima dengan ikhlas karena di madu dan tinggal bersama madunya?
Ikuti kisahnya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mahkota Pena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebuah Pengakuan
"Dan sekarang, kamu baru akan memperjuangkannya? Semua sudah terlambat, aku sudah menjadi milik orang lain. Aku mohon, lupakan saja perasaanmu terhadapku. Aku akan fokus pada keluarga kecilku." Imbuh Ayana kembali.
Zidan membisu, lagi-lagi ia menyesalinya. Nasi sudah menjadi bubur, tidak mungkin waktu dapat diputar kembali.
"Aku akan menunggu kamu sampai kapanpun! Aku berjanji kepadamu!" Ungkap Zidan dengan perasaan yang teramat dalam.
Ayana menghela napasnya. Ia membuang mukanya kembali.
"Cukup! Menjauhlah dariku!" Sentak Ayana kepada Zidan.
Zidan mengangguk perlahan tanda mengerti apa yang dimaksudkan oleh Ayana.
"Baiklah, Ayana Zahira! Aku akan turuti kemauan kamu. Tapi, jangan pernah salahkan aku jika suatu saat aku akan bertindak lebih nekat dari apa yang kamu bayangkan, demi mendapatkan kamu!" Tegas Zidan kepada Ayana.
Ayana seketika menoleh kearah Zidan.
Tatapan mata keduanya begitu tajam.
"Apa kamu bilang?" Tanya Ayana dengan penuh kebingungan.
Apa yang sudah diucapkan oleh Zidan.
"Beristirahatlah, aku akan mencari angin! Maaf telah mengganggumu!"
Belum ada respon atau jawaban dari Ayana, Zidan sudah pergi dari ruangan Ayana.
Hari masih sangat larut. Jam menunjukkan pukul tiga dini hari.
Ayana sedang mencerna ucapan Zidan yang dikatakan sebelumnya pergi meninggalkan ruangan Ayana.
***
"Assalamu'alaikum, sayang. Kamu sudah bangun?" Fahmi baru saja datang bersama dengan Bu Fatimah dengan membawa beberapa jinjingan berisi pakaian dan makanan.
Bu Fatimah tampak mengedarkan pandangannya berkeliling.
"Wa'alaikumsalam, Mas." Jawab Ayana.
Fahmi juga melihat sekeliling tidak menemukan adanya seseorang.
"Lho, Kak Zidan mana, Dek?" Tanya Fahmi.
Ayana menarik nafasnya.
"Keluar, Mas. Sejak dini hari, ia keluar ruangan." Jawab Ayana jujur.
Bu Fatimah dan Fahmi mengerutkan dahinya.
"Kok sampai jam segini belum datang kemari?" Tanya Bu Fatimah.
"Atau ada pesan dari Kak Zidan begitu? Siapa tahu dia ingin kemana!" Imbuh Fahmi bertanya kepada Ayana.
"Aku tidak tahu kemana perginya Kak Zidan. Semalam hanya pamit ingin mencari angin segar." Jawab Ayana.
Fahmi meraih ponselnya dan segera menghubungi ponsel Zidan.
Tut..
Tut..
Tut.
"Hallo Assalamu'alaikum, Kak. Dimana?" Tanya Fahmi pada panggilannya.
Tampaknya mereka sedang bercakap-cakap.
"Oh, oke. Aku tunggu ya, Kak!" Jawab Fahmi yang kemudian memutuskan panggilannya.
"Dimana Zidan?" Tanya Bu Fatimah.
"Sebentar lagi kesini kok, Bu." Jawab Fahmi.
Bu Fatimah mengangguk.
"Mas ingin berangkat kerja ya?" Tanya Ayana yang melihat penampilan Fahmi telah rapih.
"Iya, Dek. Maaf ya aku ga bisa izin mendadak. Tidak ada yang bisa back up aku soalnya." Jawab Fahmi.
Tok..
Tok..
"Masuk, Kak." Ucap Fahmi yang menoleh kearah Zidan.
Zidan melangkahkan kakinya mendekati Bu Fatimah dan Fahmi.
Matanya begitu enggan sekali menatap kearah Ayana.
"Kamu dari mana saja, Zidan? Masa Ayana ditinggal sendiri." Protes Bu Fatimah.
"Dia yang minta buat aku meninggalkannya, ya sudah lebih baik aku pergi." Jawab Zidan membuat Ayana membulatkan matanya.
Fahmi menoleh kearah Ayana.
"Benar itu, Dek? Kalau ada orang jahat yang masuk bagaimana? Biarkan saja Kak Zidan menjagamu." Tanya Fahmi.
"E-ee.. Bukan begitu maksudku, Mas." Jawab Ayana terbata-bata.
"Lain kali jangan ditinggal begitu saja dong, Zid!" Imbuh Bu Fatimah.
"Dia sendiri yang tidak mau, mungkin tidak nyaman dijaga sama aku." Jawab Zidan kembali.
"Dek, kamu itu masih butuh pengawasan. Tidak apa-apa Kak Zidan menjagamu. Lagi pula, kalian kan sudah berteman sejak kecil. Jadi, tidak perlu ada rasa canggung." Tegas Fahmi kepada Ayana.
Ayana menatap wajah Fahmi dengan lembut.
"Baik, Mas." Jawab Ayana.
"Bu, Fahmi. Aku izin ke Pesantren ya. Sudah ada Ibu ini kan? Biarkan dijaga sama Ibu." Ucap Zidan dengan sedikit melirik kearah Ayana.
Namun, secara bersamaan, mata Ayana menangkap lirikan Zidan sehingga tatapan keduanya saling bertemu.
Sikap Zidan kembali dingin dan sedikit acuh.
"Lho, katanya mau izin dulu, Kak?" Protes Fahmi.
"Ada urusan sebentar!" Jawab Zidan.
"Ya sudah kalau begitu hati-hati ya, Zid." Pesan Bu Fatimah kepada Zidan.
"Baik, Bu."
***
"Tumben Kyai belum datang? Ada apa ya?" Ucap Kamal kepada Agata dan Amir.
Kamal, Agata dan Amir yang tengah menikmati kopi di ruang santai, tampak menanti kedatangan Zidan yang belum kunjung datang dari pandangan mereka.
"Iya, tidak ada info apa-apa juga kan ke kita?" Sahut Agata.
"Mungkin sedang ada urusan, jadi datang terlambat atau bahkan tidak datang sama sekali." Imbuh Amir.
"Iya, mungkin ya." Sahut Kamal kembali.
Tiba-tiba datanglah Difa menghampiri mereka.
"Hei, kalian sedang apa?" Tanya Difa yang tengah berjalan mendekati mereka.
"Eh, Difa. Sudah datang? Sini kita menikmati kopi bersama. Mau kopi tidak?" Kamal menawarkan kopi untuk Difa.
"Hmm, tidak deh. Aku sebentar lagi akan kembali lagi ke ruangan. Tidak enak dilihat oleh para santri dan santriwati." Jawab Difa.
"Bagaimana kalau diantar keruangan kamu saja, Difa?" Sahut Agata.
"Boleh, deh. Oh iya, Kyai dan Umi belum datang ya?" Jawab Difa.
Kamal, Agata dan Amir saling berpandangan.
"Justru ini kita sedang menanti mereka, tumben sekali sudah jam segini belum datang." Sahut Kamal.
Difa mengangguk perlahan.
"Tapi, walaupun Kyai dan Umi semisal tidak datang. Kita harus tetap mengoperasikan Pesantren ini ya." Perintah Kamal kepada semuanya.
"Baiklah."
***
"Bagaimana mungkin aku bisa melepaskan Ayana begitu saja? Aku sangat mencintai dan menyayanginya, ya Allah! Aku mohon rubahlah takdirku bersama dirinya. Agar aku bisa menjadi pendamping hidupnya dikemudian hari kelak. Aku mohon!" Ucap Zidan dengan mata menatap tajam kearah luar jendela.
Begitu perasaannya semakin kacau, ia ingin sekali mendapatkan Ayana.
"Jika takdir berpihak kepadaku, aku dengan ikhlas akan menerimanya dalam keadaan apapun itu?" Imbuhnya.
Zidan melirik jam yang terpajang didinding kamarnya.
Waktu menunjukan pukul sembilan pagi, yang seharusnya setiap paginya harus datang ke Pesantren tepat di jam enam pagi.
Namun, pikirannya tidak dapat dikendalikan. Pikiran dan perasaannya terus tertuju kepada Ayana.
Ia meraih ponselnya.
Tut..
Tut.
"Assalamu'alaikum, Bu. Apakah Fahmi sudah berangkat bertugas?" Tanya Zidan pada panggilan suara kepada Bu Fatimah.
"Sudah, Zidan. Apakah kamu akan datang kesini? Ibu, kalau sendirian nanti bagaimana jika Ayana ditinggal-tinggal. Ibu juga kan harus pergi sholat atau ke kantin, sedangkan jalan Ibu saja lama sekali ini, kaki Ibu sepertinya kambuh lagi." Jawab Bu Fatimah.
"Ya sudah, nanti aku akan datang ke rumah sakit lagi. Tapi, sebelumnya aku akan ke Pesantren dulu sebentar."
"Baiklah, Zidan. Ibu tunggu ya." Sahut Bu Fatimah.
"Baik, Bu."
Kedua panggilan pun terputus.
Zidan bersiap-siap untuk merapihkan dirinya, karena ia akan ke Pesantren lalu lanjut ke Rumah Sakit.
Niatnya, Zidan akan menelepon Nabila untuk menemani Bu Fatimah di Rumah Sakit.
Namun, ia teringat jika Nabila memiliki anak kecil yang tidak kalah repotnya.
Biarkan ini menjadi tanggung jawab Zidan saja.
***
"Kyai? Kyai datang? Saya kira Kyai tidak datang." Kamal yang melihat Zidan turun dari mobil langsung berlari menghampiri.
Dengan ta'dzim Kamal mencium punggung tangan milik Zidan.
"Kumpulkan semuanya, ada rapat sebentar! Segera ya, aku tidak bisa berlama-lama." Titah Zidan kepada Kamal. Zidan kemudian masuk kedalam ruangan yang sering disebutnya Aula.
"Baik, Kyai." Jawab Kamal.
Kamal segera memberitahukan kepada semuanya bahwa Zidan telah datang dan akan diadakan rapat segera.
Setelah semuanya terkumpul, Zidan memulai rapatnya.
"Assalamu'alaikum semuanya, mohon maaf jika saya mengadakan rapat secara mendadak. Pada rapat kali ini, saya ingin memberitahukan bahwa Umi Ayana sedang di rawat di Rumah Sakit. Dan untuk kesehatan beliau, saya sendiri belum tahu kapan akan sembuh.
Untuk sebab itu, Saya selaku pengasuh Pesantren dan juga keluarga dari Umi Ayana, ingin memohon izin untuk beberapa waktu sampai waktu yang telah ditentukan.
Saya dan Umi izin tidak bisa mengajar para santri dan santriwati terlebih dahulu. Maka dari itu, saya memberikan sedikit mandat kepada kalian, tolong bantu untuk mengatur semuanya. Jangan sampai para santri dan santriwati melewatkan belajar dan mengaji. Penanggung jawab, saya serahkan kepada Kamal. Kamal yang akan mengurus semuanya. Sekian penyampaian dari saya, jika ada yang kurang jelas. Boleh langsung berdiskusi kepada Kamal. Syukron, Assalamu'alaikum." Zidan dengan panjang lebar menyampaikan isi rapat tersebut.
Semuanya tampak saling berpandangan dan berkasak-kusuk. Zidan yang hendak melangkahkan kakinya seketika terhenti ketika Kamal menghalanginya.
"Kyai, kalau boleh tahu, Umi sedang sakit apa, Kyai?" Tanya Kamal dengan rasa penasarannya.
Zidan menarik nafasnya.
"Semalam terserempet mobil, Mal. Padahal, sorenya sebelum pulang, dia minta aku untuk menemaninya. Namun, aku tidak bisa, karena sudah ada janji mengantar Difa pulang." Jelas Zidan setengah berbisik kepada Kamal.
Kamal terperangah dengan penjelasan Zidan.
"Ya Allah, Kyai. Mengapa menjadi seperti itu? Harusnya, Kyai lebih memprioritaskan Umi daripada Difa. Kalau sudah begini, Kyai sendirikan yang menyesal?" Sahut Kamal.
Ya, hubungan antara Zidan dan Ayana, Kamal sudah mengetahuinya. Karena, sebagai tangan kanan Zidan, Kamal juga menjadi tempat curhat bagi Zidan. Bahkan, Zidan yang mencintai serta menyayangi Ayana, Kamalpun mengetahuinya.
Sejak awal bertemu, Kamal kerap sekali menjodoh-jodohkan antara Zidan dan Ayana.
"Entahlah, Mal. Aku ingin menebus kesalahanku dengan cara merawatnya. Namun, Ayana sepertinya marah denganku." Jelas Zidan kembali.
Kamal merasa iba terhadap apa yang menimpa Zidan dan Ayana.
"Yang sabar ya, Kyai. Semoga keadaannya segera membaik. Kalau ada apa-apa, bisa segera menghubungiku, Kyai." Pinta Kamal kepada Zidan.
"Siap, Mal. Aku jalan dulu ya. Titip Pesantren, assalamu'alaikum." Zidan kemudian masuk kedalam mobilnya dan segera melaju dengan kecepatan sedang.
"Astaghfirullah, Umi. Semoga lekas pulih kembali."