"Jamunya Mas," Suara merdu mendayu berjalan lenggak lenggok menawarkan Jamu yang Ia gendong setiap pagi. "Halo Sayang, biasa ya! Buat Mas. Jamu Kuat!" "Eits, Mr, Abang juga dong! Udah ga sabar nih! Jamunya satu ya!" "Marni Sayang, jadi Istri Aa aja ya Neng! Ga usah jualan jamu lagi!" Marni hanya membalas dengan senyuman setiap ratuan dan gombalan para pelanggannya yang setiap hari tak pernah absen menunggu kedatangan dirinya. "Ini, jamunya Mas, Abang, Aa, diminum cepet! Selagi hangat!" Tak lupa senyuman manis Marni yang menggoda membuat setiap pelanggannya yang mayoritas kaum berjakun dibuat meriang atas bawah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiara Pradana Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Istri
Mata Marni berbinar saat ia memasuki rumah Bude Sum yang telah berubah drastis. Setiap sudut ruangan kini berkilau dengan hiasan yang mewah dan elegan, membuat suasana menjadi semakin hangat dan menyambut. Di pintu masuk, Bleketepe yang gagah berdiri, menyapa setiap tamu dengan keindahan yang memukau, seakan memberitahu bahwa mereka akan memasuki sebuah kerajaan kecil. Cahaya lampu gantung berkilauan memantul pada permukaan marmer, memberikan kesan glamour yang tak terlupakan.
Marni tak henti-hentinya mengagumi keindahan dekorasi yang telah diubah oleh Bude Sum, dengan taman mini di dalam rumah yang dilengkapi dengan air mancur kecil yang menari-nari, menambah suasana menjadi lebih ajaib.
"Mar, Kamu kesana ya. Mbak, ini yang bakal melayani prasmanan. Dandani yang cantik ya, walau sudah cantik biar semakin cantik." Bude Sum begitu bahagia.
Sebagai orang tua, Bude Sum dan Pakde Karto tentu senang, melihat anak pertamanya kini sebentar lagi akan berkeluarga.
"Mari Mbak." Perias mempersilahkan Marni duduk.
"Bude ke belakang ya Nduk. Sum Aku lihat ya dibelakang bagaimana." Bude Sri langsung mengambil alih tugasnya. Berkaitan dengan stok makanan sepanjang acara bukan hal main-main. Harus dipastikan cukup bahkan lebih jangan sampai kurang agar tak jadi omongan orang.
Maklum saja tinggal di Kampung. Apa-apa jadi omongan. Makanan hajat ga enak diomongin, apalagi sampe kurang bisa seumur hidup dibahas terus.
Ya begitulah. Maklum di Kampung dindingpun bisa berbicara.
"Wah Mbaknya kulitnya halus sekali. Ini sih ga perlu dempul tebel-tebel. Sedikit saja sudah manglingi." Puji perias yang kini sedang memakaikan lipstik sebagai sentuhan akhir mendandani Marni.
"Bisa saja Mbaknya."
"Loh ini bukan muji atau peresss, tapi asli Mbaknya pakai skincare opo toh? Boleh dong bagi resepnya."
Marni tersenyum, "Saya ga pakai skincare Mbak, paling sabun cuci muka."
"Moso toh? Jangan rahasia-rahasiaan Mbak. Kasih tahu Kita-Kitalah."
"Ga ada sih, paling Saya sering minum Jamu saja. Saya lan penjual Jamu jadi Saya ya rutin minum juga buat diri sendiri." Marni menjelaskan.
"Serius toh? Mbaknya penjual Jamu?"
"Iya. Kenapa? Aneh ya?"
"Penjual Jamu yang keliling?"
"Iya sebelumnya Saya jualan Jamu keliling. Pakai bakul. Terus sekarang Jualan Jamu dipasar ada tempat punya Bude Saya."
"Wah, Kita-Kita jadi penasaran. Jamu apa Mbak?"
"Jamu yang Saya jual? Ya macem-macem. Ada Kunyit Adem, Beras Kencur, Godokan Sirih, Godogan Pinang, Godokan Sereh, sama Jahe Gula Merah. Ada juga Jamu-Jamu Khusus."
"Jamu Khusus? Wah pasti ini kayak yang buat bikin rapet ya Mbak?" Perias mulai penasaran.
"Ya boleh lah disebut begitu."
"Kalau buat laki-laki ada Mbak? Biar kuat gitu!"
"Ada. Mbaknya sudah bersuami?"
"Belum sih! Tapi kan gapapa toh buat persiapan. Kalo Mbaknya sudah nikah?"
"Belum."
"Loh kok bisa ngerti buat Jamu-Jamu begitu?"
"Warisan Nenek Saya. Si Mbah Saya dulu penjual Jamu Keliling, setelah wafat Saya yang nerusin."
Melihat wajah Marni bersedih si Perias gak enak hati, "Maaf Mbak jadi bikin inget Mbahnya ya?"
"Gapapa Mbak."
"Oh ya, Saya boleh tahu ga namanya Mbak? Sekalian minta no HP gitu. Siapa tahu Saya mau pesen Jamu."
"Boleh. Saya Marni. Ini nomor Saya. Mau catet dimana?"
"Disini saja Mbak Marni."
Marni mengetik nomor ponselnya di ponsel milik si Perias.
"Ada WA ga Mbak Marni?"
"Belum ada Mbak. HPku masih jadul. Lagi nabung dulu, nanti tak kabari kalo sudah punya."
"Sipp! Dah cantik Mbak. Wah ini sih sebelas dua belas sama mantennya."
"Mana bisa begitu. Ya harus Manten yang paling cantik. Wong Ratu seharinya kok sekarang. Makasi ya Mbak. Lah Saya kok pangling sendiri lihat mukaku. Biasa ga pernah dandan sekali dandan ga kenal sama muka sendiri. Mbaknya hebat. Riasannya bagus. Tak promosiin sekalian le pelanggan Jamuku. Sopo jenenge Mbak?"
"Astri Mbak Marni. Astri Wedding."
Marni menerima kartu nama dari si Perias."Walah, boleh minta lebih ga kartu namanya, biar Saya taruh di warung kalau ada yang nanya riasan tak sekalian promosiin."
"Boleh banget Mbak Marni. Iki Mbak. Suwon loh. Mau bantu promosiin. Boleh foto Mbak? Aku biasa posting hasil riasanku di sosmed. Buat promosi."
"Walah tukang Jamu yo masuk Sosmed. Isin toh Mbak."
"Lah rapopo Mbak Marni. Tukang Jamunya ayu begini, cantik. Pasti bakal banyak yang ngelike postingan Saya. Izin posting fotonya ya Mbak."
Si Perias memperlihatkan hasil jepretan kamera ponselnya yang memiliki tiga kamera.
"Walah! Iki pake filter yo Mbak Astri? Moso Marni bening begini!" Marni tak percaya dengan hasil foto dirinya di ponsel Mbak Astri si Perias.
"Memang Mbak Marninya yang cantik. Iki belum tak edit pake filter udah cantik buanget. Langsung tak posting saja."
"Loh, Mar, Kamu kok belum keluar. Udah selesai macaknya?" Bude Sri menghampiri Marni namun belum melihat wajah Marni.
"Masha Allah. Iki Kamu toh Nduk? Mbak iki Marni?"
"Ini Budenya Mbak Marni ya? Bener Bude, ini Mbak Marni? Gimana cuantik toh?"
"Iya Cuantik. Ayu tenan Kamu Nduk."
"Walah jadi lupa. Ndok cepat, setengah jam lagi jaga prasmanan."
"Ayo Mbak Marni Saya bantu ganti kebaya."
"Bude Marni ganti dulu ya."
"Iya. Kalau sudah keluar ya. Prasmanan sebentar lagi siap biar dijagain."
"Padahal ini bukan kebaya Manten tapi aura Mbak Marni ini ga kalah sama Mantennya."
"Bisa saja Mbak Astri ini."
Sesuai arahan Bude Sri, Marni kini sudah stand by di meja prasmanan. Sambil mengelap piring-piring Marni mengkroscek kembali semua perlengkapan prasmanan apa ada yang kurang.
"Walah tissue makannya belum ada. Tak ambil dulu."
Baru saja Marni mau pergi, rupanya ada yang datang menghampiri.
"Dek Marni cantik sekali. Pasti cari ini ya?" Darma dengan tatapan genit menyodorkan tempat tissue.
Marni hendak mengambil namun di kecoh oleh Darma.
"Maaf Mas, tissuenya ini Saya mau tata disini. Sebentar lagi acara dimulai. Biar beres."
Darma bukannya menuruti kata-kata Marni, malah kini semakin mendekat, "Dek Marni kenapa sih, kalau sama Mas Darma jutek amat. Mas Darma kan kangen sama Dek Marni."
"Mas, sebaiknya Mas jauhan dari Saya, disini ramai. Jangan sampai timbul fitnah." Marni mawas diri. Darma meresahkan. Kalau tak ingat sedang hajat sudah Marni bag big bug saja bawaannya.
"Mas Darma!" Baru saja Darma akan kembali gombalin Marni suara melengking kedua perempuan yang tentu saja familiar ditelinganya kini menuju kearahnya dengan tatapan murka.
"Pelan-pelan Sayang, Iya sini, Satu-Satu, kebagian semua." Rupanya dua Istri Darma yang sedang hamil turut hadir diundang oleh Bude Sum dan Pakde Karto karena Mereka keluarga.
"Mas ngapain? Dari tadi Aku lihat Mas ngobrol sama Dia! Dia siapa?" Dua Istri Darma bergelayut manja dilengan Darma kanan dan kiri.
"Bukan siapa-siapa. Ini yang bantu rewang temannya Mbak Sum."
"Oh, Jenengan sopo?" Salah satu Istri Darma yang perutnya kehamilannya lebih besar menatap awas dari atas hingga bawah pada Marni.
"Saya Marni. Keponakan Bude Sri yang bantu urus konsumsi disini. Saya diminta tolong oleh Bude Sri buat jaga prasmanan." Sengaja Marni menjelaskan agar tak disangka kegatelan dengan Suami Mereka.
"Ayo Mas! Akadnya mau dimulai. Mbak Sum nyariin Mas. Malah Mas ada disini."
Dasar Darma sudah di tarik kedua lengannya oleh kedua Istrinya, tetap curi-curi kesempatan menoleh sambil mengedipkan mata kepada Marni.
"Gusti! Dosa apa hamba ketemu laki-laki model belatung nangka begitu. Amit-amit jabang bayi." Marni mengetuk kepala dan meja bergantian sebagai buang sial.