Tegar adalah seorang ayah dari dua anak lelakinya, Anam si sulung yang berusia 10 tahun dan Zayan 6 tahun.
Mereka hidup di tengah kota tapi minim solidaritas antar sekitarnya. Hidup dengan kesederhanaan karena mereka juga bukan dari kalangan berada.
Namun, sebuah peristiwa pilu membawa Tegar terjerat masuk ke dalam masalah besar. Membuat dirinya berubah jadi seorang pesakitan! Hidup terpisah dengan kedua anaknya.
Apakah yang sebenarnya terjadi? Bisakah Anam dan Zayan melalui jalan hidup yang penuh liku ini? Jawabannya ada di 'Surat Terakhir Ayah'
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dfe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dia siapa?
Pulang sekolah Anam dan Zayan pun dijemput oleh supir pribadi, rasanya bertolak belakang dengan kehidupan mereka dulu-dulu. Jangankan sekedar naik mobil bagus seperti ini, bisa ikut bekerja bapaknya dan naik truk sepanjang hari mengikuti aktivitas Tegar mengirim bahan bangunan ke pembeli saja mereka senangnya bukan main.
"Bang, tadi seru deh bang.. Di kelas temen-temen ku banyak. Mereka baik-baik, Bu guru juga baik. Kami diajari nyanyi-nyanyi, mewarnai, sama diajak main nyusun balok sesuai bentuk sama warna, bang."
Zayan terdengar antusias kala membicarakan tentang kegiatannya tadi di sekolah. Anam tersenyum menanggapi celotehan adiknya.
"Tapi, tadi kasihan Lusi bang.. Dia kayak sedih banget. Di kelas nangis mulu, giliran berhenti nangis, dia malah diem mulu.." Lanjut Zayan berbagi cerita.
"Mungkin dia kepikiran ayahnya." Kata Anam.
Zayan mengangguk saja. Bocah itu tidak tahu kejadian sebelum masuk kelas, Lusi mendapat tindakan kasar dari ibunya sendiri. Hal itu lah yang membuat Lusi bersedih sepanjang mengikuti kegiatan belajar mengajar. Ibunya berubah, dulu Marpuah memang cerewet tapi tidak pernah sekalipun main kasar pada Lusi, apalagi memarahi Lusi di depan umum seperti tadi pagi.
Sekarang ini, Anam dan Zayan ada di halaman depan rumah Abut. Mereka duduk santai sambil mengerjakan tugas sekolah masing-masing. Fokus mereka teralihkan dengan kedatangan mobil yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya.
"Papa ada di rumah pak?"
Seorang wanita turun dari mobil. Dia bertanya pada tukang kebun yang membantu membukakan gerbang agar mobilnya bisa masuk.
"Ada non." Jawab tukang kebun itu singkat.
Ketika akan masuk ke dalam rumah, pandangan mata wanita itu bertabrakan dengan netra Anam, wanita itu menatap tajam, berhenti sesaat lalu pergi begitu saja. Tanpa bicara sepatah katapun.
"Siapa bang?" Tanya Zayan penasaran.
"Nggak tau."
Seperti Zayan, Anam juga baru pertama kali melihat wanita yang menatapnya dengan pandangan sulit diartikan tadi, tapi bisa-bisanya Zayan bertanya tentang siapa wanita tersebut pada abangnya.
Dengan menggunakan dress warna biru muda selutut, tas kecil di pundak, dan high heels yang cukup tinggi, wanita itu berjalan menghampiri keberadaan Abut yang sedang bersantai di kursi goyangnya.
"Pa." Wanita itu tersenyum manis ke arah Abut.
"Ah, baru inget punya orang tua masih hidup ya?" Cetus Abut menghilangkan senyuman itu dari wajah anaknya, ya.. Wanita itu adalah anak sulung Abut.
"Nggak usah drama deh pa. Tau sendiri suami Alin itu pengusaha yang super sibuk, mana sempat Alin datang ke sini. Ini aja tadi Alin curi-curi waktu, baru bisa ke sini." Sentak Alin, nama wanita bermata sipit itu.
"Yang pengusaha itu suami mu Lin. Bukan kamu. Kalau kamu ke sini karena terpaksa, tuh.. Itu pintu keluarnya.. Pulang sana!" Ketus Abut tak peduli pada raut terkejut yang ditunjukkan Alin karena perkataan Abut barusan cukup menyakiti perasaannya.
"Pa! Alin baru dateng tapi kayak gini sambutan papa? Oh.. Oke! Bukan ini yang mau Alin bicarakan, tapi mereka yang ada di luar itu! Siapa mereka pa? Alin denger papa ngadopsi anak-anak kampung buat nerusin bisnis papa? Apa papa nggak mandang aku, ada Aluna dan juga Alea yang mampu meneruskan bisnis papa! Nggak usah lah papa cari orang buat dijadiin penerusnya papa? Kayak papa nggak punya anak aja, bisa-bisanya kepikiran mungut anak tapi nggak ngasih tau Alin dulu!" Marah sekali Alin dibuatnya.
"Hahahahaaa..." Abut tertawa lebar.
Alin jadi mengerutkan keningnya, dia bingung kenapa papanya jadi sebahagia ini atau mungkin orang tuanya ini sedang mengejeknya?
"Apa yang lucu sih pa?" Alin geram.
"Apa saat suamimu bisnis jual beli berlian, otakmu juga ikut di jual olehnya? Kenapa ucapan mu semua terdengar seperti omong kosong tanpa ada isinya sama sekali!" Masih saja Abut tertawa geli.
"Papa!"
"Diam! Jangan berteriak padaku! Aku bukan pembantumu, bukan babu mu, bukan jongosmu! Turunkan nada suara mu saat bicara denganku!! Mungkin kamu lupa siapa aku, tapi selama aku hidup aku tidak akan lupa jika pernah membesarkan putri seperti dirimu."
"Kamu bertanya siapa mereka kan? Seperti informasi yang kamu dapatkan, mereka adalah anak-anakku! Mereka lah yang akan memegang semua bisnisku nantinya! Kenapa bukan kamu, Aluna atau Alea saja yang meneruskan bisnis kecil ku di sini, ya kan? Itu yang ingin kamu tau kan? Sekarang.. Berkacalah! Itu jawabannya."
Tanpa mau menggubris keberadaan Alin, Abut melangkah ke luar rumah. Wajahnya yang tadi sempat tegang oleh kekesalannya terhadap putri sulungnya kini berubah ceria lagi saat kedua anak angkatnya datang menghampiri dirinya.
"Main apa kalian?" Tanya Abut penuh kelembutan.
"Kami lagi belajar Kong. Abang ngerjain PR dari Bu guru, aku juga!" Jawab Zayan antusias.
"Bagus. Belajar yang rajin ya. Udah sore, mandi sana. Abis mandi makan. Nanti kita pergi jalan-jalan. Mau?" Abut mengusap pucuk kepala Zayan.
"Kong, kami boleh berkunjung ke makam bapak?" Tanya Anam penuh pengharapan.
"Siapa yang melarang kalian pergi ke sana memangnya? Iya.. Kita akan ke sana bersama-sama. Aku juga ingin bertemu langsung dengan bapak kalian." Jawab Abut berganti mengusap kepala Anam.
"Dasar penjilat!"
Suara Alin membuat ketiga orang yang ada di ambang pintu menoleh ke arahnya.
"Apa itu penjilat, bang?" Zayan bertanya pada Anam. Anam diam saja.
"Jaga bicaramu. Mereka cucu-cucu ku, tidak ada seorangpun yang boleh merendahkan mereka, termasuk kamu!" Abut tak peduli pada raut wajah memerah pertanda amarah yang memuncak pada diri putrinya.
"Papa akan menyesal! Lihat saja nanti!"
Alin pergi begitu saja. Tapi tangannya dengan sengaja mendorong Anam hingga bocah itu terhuyung ke belakang. Untung tidak jatuh.
"Eh, bang!" Zayan sigap menarik tangan Anam agar tidak jatuh.
"Ayo masuk. Tidak usah pedulikan Mak lampir macam dia tadi. Mungkin ke depannya, akan ada mak lampir lain yang datang ngusilin kalian, tapi kalian jangan takut! Jangan tunduk, lawan kalau perlu. Engkong akan selalu ada di samping kalian, kalian juga harus terus menemani engkong ya.." Harapan kecil dari seorang laki-laki tua yang di masa tua nya sangat kesepian.
"Iya kong! Kami pasti temani engkong terus. Ya bang?!" Zayan berkata dengan hati tulus. Tanpa ada keraguan.
"Kami sayang engkong, engkong adalah keluarga kami satu-satunya sekarang.." Anam memeluk tubuh renta itu dengan khidmat.
"Hahaha.. Kalian sangat manis. Ayo kita masuk. Tutup pintunya, takut ada Mak lampir lain yang datang nantinya." Abut menggandeng kedua bocah itu masuk ke dalam rumah.
Pemandangan itu memicu kekesalan di hati Alin. Ya, Alin belum beranjak dari rumah papanya, dia masih ada di dalam mobil. Melihat interaksi antara papanya dengan kedua bocah kecil yang sudah dia tandai sebagai musuh!
"Nggak akan aku biarin kalian menikmati harta papa ku seenaknya! Selama aku masih hidup, aku pastikan hidup kalian menderita!" Alin sampai memukul kemudi mobilnya dengan kasar.
arogan bener jadi manusia, udah kek Fir'aun bae
bukan nyari muka
seperti kata kong abut berubah lebih baik untuk kalian sendiri
bulu apa ini 🤔🤔🤔