Seorang pria membangun perusahaannya dengan tujuan mengumpulkan kekayaan sebanyak mungkin. Namun, semakin banyak uang yang dimilikinya, semakin tinggi kesombongannya. Pada akhirnya, kesombongannya menjadi kehancurannya. Ia dijatuhkan oleh perusahaan lain dan kehilangan segalanya.
Namun. Ia bereinkarnasi ke dunia kultivasi sebagai seorang Summoner, dengan kemampuan memanggil makhluk-makhluk luar biasa. Di dunia baru ini, ia didampingi oleh seorang Dewi yang setia di sisinya.
Sekarang, dengan segala kekuatan dan kesempatan yang dimilikinya, apa yang akan menjadi tujuannya? Apakah ia akan kembali mengejar kekayaan, mencari kedamaian, atau menebus kesalahan dari kehidupan sebelumnya?
Up suka-suka Author!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chizella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kota Bao
Sudah empat hari sejak kami melarikan diri dari Sekte Naga Hitam dan Sekte Pedang Emas.
Aku dan Nona Qingzhu singgah di sebuah kota bernama Kota Bao, seperti yang tertulis di gerbang masuknya.
Selama empat hari ini, Sekte Naga Hitam dan Sekte Pedang Emas tampaknya tak mencari kami. Mungkin mereka terluka cukup parah akibat serangan Prajurit Bayangan. Meski tak cukup untuk membunuh mereka, setidaknya itu memberikan luka yang serius.
Kekuatan tiga orang di ranah Nirwana memang tidak bisa diremehkan.
Memasuki gerbang kota, Nona Qingzhu masih terlihat murung. Aku menariknya masuk lebih dalam ke kota.
Kota ini terlihat ramai. Wajah-wajah penduduknya ceria, dan tak ada tangisan yang terdengar.
Aku dan Nona Qingzhu menuju penginapan untuk bermalam.
"Satu kamar," kataku pada penjaga penginapan.
"Baik, satu koin perak," jawabnya.
Setelah koin kuberikan, kami langsung masuk ke kamar yang dipesan. Aku hanya memesan satu kamar, bukan karena niat buruk, tapi jika ingin berkultivasi, aku harus memastikan kami aman.
Dengan adanya Nona Qingzhu di dekatku, setidaknya risiko serangan mendadak bisa diminimalkan. Meskipun, jujur saja, aku masih belum sepenuhnya yakin apakah dia bisa dipercaya.
Setelah dua jam berkultivasi, matahari mulai tenggelam, digantikan oleh sinar bulan.
Nona Qingzhu hanya duduk di ranjang dengan wajah murung.
"Nona Qingzhu, apa yang akan kau lakukan setelah ini?" tanyaku.
"Aku tidak tahu... aku sudah tidak memiliki tujuan hidup," jawabnya.
"Apakah kau ingin mati? Kalau begitu, aku bisa membunuhmu sekarang."
"Aku menginginkannya, tapi aku tidak punya keberanian untuk mati. Aku terlalu takut..."
"Kalau begitu, maukah kau mengikutiku? Aku sedang membangun klan di suatu tempat, dan klan itu masih membutuhkan orang-orang hebat. Bagaimana menurutmu?"
"Aku rasa aku tidak layak untuk itu. Kultivasiku sangat buruk."
"Kalau begitu, aku bisa mengajarimu cara berkultivasi."
"Be-benarkah? Kau mau mengajariku?" Wajahnya tiba-tiba mendekat. Terlalu dekat.
Aku mendorong wajahnya mundur. "Tentu. Sebelumnya aku juga lemah, tapi aku punya cara tersendiri untuk menjadi lebih kuat."
"Kalau begitu, mohon bantu aku, Wang Yun!"
"Jangan panggil aku dengan nama itu. Itu hanyalah nama samaran."
"Nama samaran? Lalu, siapa namamu yang sebenarnya?"
"Yun Huang, dari Klan Yun."
"Yun Huang? Nama yang bagus..."
Kami mengobrol semalaman, membahas banyak hal. Sedikit demi sedikit, aku mengajarinya cara berkultivasi yang benar.
Kultivasinya memang buruk. Aku menduga itu adalah rencana dari kedua sekte untuk mencegah Nona Qingzhu menjadi lebih kuat, sehingga mereka lebih mudah menjadikannya tumbal.
Hari semakin larut, dan akhirnya kami tertidur di ranjang yang sama.
...
Terbangun dari tidur, aku mendapati Nona Qingzhu masih tertidur di sebelahku. Bulu matanya mulai bergetar, lalu matanya terbuka.
"Se-selamat pagi," sapanya.
"Ya, selamat pagi."
Dari raut wajahnya, ia tampak jauh lebih ceria dibandingkan semalam. Ia bahkan tersenyum manis.
Keluar dari penginapan, kami berencana melihat sekeliling kota. Lagi pula, sangat membosankan jika terus berada di dalam kamar.
Saat sedang berjalan-jalan, seorang pria bertubuh kekar tiba-tiba muncul, menghalangi jalan kami.
Aku menghela napas panjang. "Apa yang kau inginkan?" tanyaku dengan nada datar.
"Heh, sudah jelas. Serahkan gadis di sebelahmu itu. Kalau tidak, kau akan—"
"Akan apa? Sebaiknya kau pergi. Jangan mengganggu kami."
"Kau berani bicara begitu padaku?!" Pria itu melompat ke belakang, memberi sinyal bahwa ia ingin bertarung.
"Kalau begitu, maju sini!" teriakku sambil mengangkat jari tengah.
"Tinju Lao, Api Hitam!" Seru pria itu.
Tangan kanannya mulai mengeluarkan api hitam yang sangat panas. Ia kemudian melesat cepat ke arahku, siap meninju dengan kekuatan penuh.
Aku tetap berdiri tenang, tidak bergerak sedikit pun.
Melihatku diam saja, pria itu tertawa. "Ha ha ha! Apa kau sudah menyerah? Tapi jangan harap aku akan mengampunimu!"
Dalam sekejap, kepalan tangannya menghantam tubuhku.
Duarr!
Pria itu terlempar jauh ke belakang, batuk darah, lalu menatapku dengan campuran kebencian, kemarahan, dan ketakutan.
"Apa-apaan ini? Saat aku menghantam tubuhnya, aku malah terlempar oleh gelombang aneh... Sepertinya aku harus lebih berhati-hati," gumamnya.
Belum, belum, siap-siap aja kulabrak bentar lagi