Alika tidak pernah menyangka kehidupannya akan kembali dihadapkan pada dilema yang begitu menyakitkan. Dalam satu malam penuh emosi, Arlan, yang selama ini menjadi tempatnya bersandar, mabuk berat dan terlibat one night stand dengannya.
Terry yang sejak lama mengejar Arlan, memaksa Alika untuk menutup rapat kejadian itu. Terry menekankan, Alika berasal dari kalangan bawah, tak pantas bersanding dengan Arlan, apalagi sejak awal ibu Arlan tidak menyukai Alika.
Pengalaman pahit Alika menikah tanpa restu keluarga di masa lalu membuatnya memilih diam dan memendam rahasia itu sendirian. Ketika Arlan terbangun dari mabuknya, Terry dengan liciknya mengklaim bahwa ia yang tidur dengan Arlan, menciptakan kebohongan yang membuat Alika semakin terpojok.
Di tengah dilema itu, Alika dihadapkan pada dua pilihan sulit: tetap berada di sisi Adriel sebagai ibu asuhnya tanpa mengungkapkan kebenaran, atau mengungkapkan segalanya dengan risiko kehilangan semuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27. Luka dalam Kenangan
Pagi itu, sinar matahari hangat menyelinap masuk melalui jendela dapur kecil mereka. Aroma nasi goreng yang baru saja dimasak memenuhi udara, berpadu dengan suara dentingan sendok garpu saat Arlan dan Adriel menikmati sarapan mereka.
Alika duduk di seberang Arlan, sesekali menyendok makanannya, tetapi pikirannya jelas tidak sepenuhnya ada di meja makan. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, sesuatu yang harus ia sampaikan sebelum ia semakin ragu.
Adriel, yang duduk di kursi kecilnya, mengayunkan kakinya dengan riang, menikmati sarapannya sambil sesekali mencelupkan rotinya ke dalam susu.
Alika menghela napas pelan sebelum akhirnya memberanikan diri untuk berbicara. "Kak… aku ingin pulang ke kampung. Aku ingin meminta restu dari ibu, kakek, dan nenek untuk pernikahan kita."
Arlan, yang sedang menuangkan teh ke dalam cangkirnya, menghentikan gerakannya sesaat. Matanya terangkat, menatap Alika dengan ekspresi yang sulit ditebak. Ia kemudian meletakkan teko dengan tenang, menyandarkan punggungnya ke kursi, dan melipat tangan di depan dada.
Adriel, yang tidak mengerti topik serius orang dewasa, masih sibuk dengan makanannya, meskipun telinganya tetap mencuri dengar.
"Restu?" Arlan mengulang kata itu pelan, seolah mempertimbangkan maksudnya lebih dalam.
Alika mengangguk. "Aku tahu mungkin ini terdengar aneh mengingat hubunganku dengan ibuku tidak baik, tapi… aku ingin mencoba. Aku tidak ingin menikah tanpa setidaknya berusaha meminta restu dari keluarga kandungku."
Arlan tetap menatapnya, ekspresinya sedikit mengeras. "Alika, aku tidak akan melarangmu jika itu yang kau inginkan. Tapi kau sadar, 'kan, bahwa ibumu mungkin orang yang mudah berubah? Kau sudah cukup terluka oleh masa lalu. Apa kau yakin tidak akan kecewa lagi?"
Alika menundukkan kepala, mengusap ujung sendok dengan jemarinya. "Aku tidak tahu, Kak. Mungkin aku akan kecewa, mungkin juga tidak. Tapi ini bukan tentang ibuku saja. Aku juga ingin menemui Kakek dan Nenek. Aku ingin mereka tahu bahwa aku akan menikah, bahwa aku ingin memulai hidup baru dengan baik."
Arlan terdiam beberapa saat, menimbang kata-kata Alika. Lalu, ia menghela napas panjang. "Aku bisa mengerti jika kau ingin meminta restu dari kakek dan nenekmu. Tapi soal ibumu…" Ia menggeleng pelan. "Aku hanya tidak ingin kau berharap terlalu banyak, Alika. Jika dia mengecewakanmu lagi, aku tidak ingin melihatmu terluka."
Alika tersenyum tipis, menghargai perhatian Arlan. "Aku tidak berharap apa pun darinya, Kak. Aku hanya ingin melakukan bagianku sebagai anak. Jika dia tetap menolakku, setidaknya aku sudah mencoba."
Arlan menatapnya lama, lalu akhirnya mengangguk pelan. "Baiklah. Jika itu yang kau inginkan, aku akan menemanimu."
Alika menatapnya kaget. "Kau ingin ikut?"
"Tentu saja," jawab Arlan tanpa ragu. "Aku tidak akan membiarkanmu pergi sendiri, apalagi bertemu ibumu yang pernah menyakitimu. Jika ada sesuatu yang terjadi, aku ingin berada di sana bersamamu."
Alika terdiam, hatinya menghangat. Ia tidak menyangka Arlan akan begitu mendukungnya.
Adriel yang sejak tadi mendengarkan dengan mata berbinar langsung berseru riang, "Adriel juga ikut! Adriel mau ketemu Kakek dan Nenek!"
Alika dan Arlan saling bertatapan, lalu tertawa kecil.
"Baiklah," kata Arlan akhirnya. "Kita akan pergi bersama."
Alika mengangguk, merasa lebih tenang. Apapun yang terjadi nanti, ia tahu bahwa ia tidak sendirian.
***
Mobil Arlan melaju dengan kecepatan stabil di sepanjang jalan yang mulai berubah dari aspal kota menjadi jalanan desa yang lebih sederhana. Pepohonan rindang di sisi jalan seakan menyambut mereka, memberikan bayangan sejuk di tengah terik matahari siang itu. Namun, semakin mereka mendekati gerbang desa, suasana di dalam mobil perlahan berubah.
Alika menatap keluar jendela, melihat pemandangan yang dulu begitu akrab baginya. Rumah-rumah sederhana, ladang yang terbentang luas, dan jalan setapak yang dulu sering ia lalui saat kecil. Namun, bukannya merasa nyaman, dadanya justru terasa sesak.
Ini adalah tempat di mana ia tumbuh, tetapi juga tempat yang menyimpan begitu banyak luka. Kenangan indah saat berpacaran dengan mantan suaminya kini berubah menjadi luka yang tak terhapuskan.
Dulu, demi membuktikan cinta mereka, ia dan pria itu nekat melakukan sesuatu yang di luar nalar, melanggar batas, sengaja mencari kontroversi agar dipaksa menikah, berharap dapat melawan restu yang tak pernah mereka dapatkan.
Mereka yakin cinta mereka cukup kuat untuk menghadapi segalanya, bahwa pernikahan yang diperjuangkan dengan segala cara akan membawa kebahagiaan.
Namun kenyataan berkata lain, pria yang ia nikahi dengan penuh pengorbanan justru mengkhianatinya dengan cara yang paling menyakitkan, berselingkuh dengan ibu kandungnya sendiri.
Tanpa sadar, tangannya mengepal di atas pangkuan. Arlan yang duduk di sampingnya melirik ke arahnya, menyadari perubahan ekspresi Alika. Dengan lembut, ia meraih tangan Alika, menggenggamnya erat seolah ingin mengatakan bahwa ia ada di sini bersamanya. Adriel berada di pangkuan Arlan, melihat pemandangan di luar melalui jendela mobil.
Sementara itu, di kursi depan, Arya menatap lurus ke depan dengan tatapan yang sulit diartikan. Tangannya sedikit mengencangkan genggaman di atas pahanya. Baginya, kembali ke desa ini adalah seperti membuka kembali luka lama yang sudah berusaha ia kubur.
Ia bisa melihat dengan jelas jalan kecil menuju rumah lamanya, rumah yang dulu penuh dengan, kehangatan sebelum segalanya hancur. Ia masih ingat hari di mana ia menyaksikan sendiri bagaimana Maya mengkhianatinya sekaligus mengkhianati putri mereka. Rasa malu, kecewa, dan amarah yang membakar hatinya saat itu masih terasa begitu nyata, seakan-akan luka itu baru saja terjadi.
Arya menghela napas dalam diam, perasaan campur aduk memenuhi pikirannya. "Aku menyesal menikah tanpa cinta dan hanya berdasarkan kompromi..." Namun saat menatap Alika, putrinya yang kini tumbuh menjadi wanita kuat dan mandiri, ada secercah kelegaan di hatinya. "Tapi jika bukan karena pernikahan itu, aku tidak akan memiliki Alika. Dan untuk itu, aku bersyukur."
Dulu, ia tak pernah membayangkan akan menikahi Maya, gadis yang merupakan putri sahabatnya sendiri, Mulya. Usia mereka terpaut jauh, dan ia sama sekali tidak memiliki perasaan cinta terhadap Maya. Namun, keadaan memaksanya.
Mulya datang kepadanya dalam keadaan terpuruk, bersimpuh di hadapannya, memohon agar Arya menyelamatkan putrinya. Jika tidak, Maya akan dijual kepada rentenir sebagai pelunasan utang Mulya.
Arya yang saat itu dikenal sebagai pria terpandang, tampan, dan mapan di desa sebenarnya enggan menikah. Bukan karena ia tak mampu, tetapi karena penyakit asmanya membuatnya merasa tidak percaya diri. Ia takut tidak bisa memberikan nafkah batin yang layak bagi istrinya.
Namun, di bawah desakan Mulya dan keadaan yang mendesak, ia akhirnya setuju. Pernikahan itu terjadi bukan karena cinta, melainkan sebagai bentuk pengorbanan dan tanggung jawab.
Sayangnya, kehidupan pernikahan mereka jauh dari kata bahagia. Perbedaan usia yang mencolok, kurangnya rasa cinta, dan kondisi kesehatannya menjadi jurang pemisah yang semakin lama semakin lebar. Maya merasa terkekang, kesepian, dan pada akhirnya mencari kebahagiaan di tempat lain, di pelukan pria yang lebih muda, pria yang tak lain adalah suami dari putri mereka sendiri.
Sebuah ironi pahit yang hingga kini masih menyisakan luka di hati Arya.
Arya menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Ia tahu ini akan sulit, tetapi demi Alika, demi perjalanannya menuju masa depan yang lebih baik, ia harus menghadapi semua ini.
Mobil mewah Arlan perlahan melintasi gerbang desa, membawa mereka kembali ke tempat yang menyimpan banyak kenangan, baik manis maupun pahit. Di dalam mobil, Adriel yang baru saja memakan kue tiba-tiba merengek ingin minum. Ia meraih botol minumnya dengan tangan kecilnya, tetapi tanpa sengaja malah menumpahkan air ke bajunya sendiri.
"Aduh, basah!" Adriel merengek, bibir mungilnya mengerucut. "Mau minum lagi, Mama!"
Alika mengusap bajunya yang basah dengan tisu, mencoba menenangkan putranya yang mulai gelisah.
"Tenang, Sayang. Kita beli air di warung, ya," kata Arlan, lalu menoleh ke sopirnya. "Berhenti di warung terdekat."
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
sungguh aku sangat-sangat terkesan.....
TOP MARKOTOP BUAT AUTHOR
semoga rejeki nya berlimpah.......
tetap semangat kak ...meski gak dapat reward yakinlah ada rezeki yang lain yang menggantikan .
sehat slalu dan rejeki lancar berkah barokah . aamiin 🤲
ditunggu karya selanjutnya kak Nana .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
di tunggu karya terbaru nya 🥰❤️❤️❤️❤️
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍