"Ayo kita pacaran!" Ryan melontarkan kata-kata tak pernah kusangka.
"A-apa?" Aku tersentak kaget bukan main.
"Pacaran." Dengan santainya, dia mengulangi kata itu.
"Kita berdua?"
Ryan mengangguk sambil tersenyum padaku. Mimpi apa aku barusan? Ditembak oleh Ryan, murid terpopuler di sekolah ini. Dia adalah sosok laki-laki dambaan semua murid yang memiliki rupa setampan pangeran negeri dongeng. Rasanya aku mau melayang ke angkasa.
Padahal aku adalah seorang gadis biasa yang memiliki paras sangat buruk, tidak pandai merawat diri. Aku juga tidak menarik sama sekali di mata orang lain dan sering menjadi korban bully di sekolah. Bagaimana Ryan bisa tertarik padaku?
Tidak! Aku akan menolaknya dengan keras!!!
[update setiap hari 1-2 bab/hari]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adzalziaah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27 | Nara
Setelah Ryan pergi, aku tetap duduk di sana, memegang buku paket yang dia berikan. Jemariku bermain di sudut halaman buku, sementara pikiranku melayang entah ke mana. Suasana kelas yang sepi hanya menambah berat perasaan yang kurasakan. Aku sendiri di sini, dengan pertanyaan-pertanyaan yang menggantung di udara, tak berani kutanyakan bahkan pada diriku sendiri.
Aku mencoba fokus pada tugas dari Pak Khalid. Deretan soal yang terasa seperti monster kecil menertawaiku. Kuteguk napas dalam-dalam sebelum membuka halaman buku yang diberi pembatas. Lembar itu terasa lebih berat dari biasanya, seolah menanti untuk mengungkap sesuatu.
Dan ternyata benar. Saat aku membuka halaman itu, mataku terpaku. Semua soal di sana sudah ada jawabannya. Bukan hanya sekadar jawaban, tapi tulisan kecil-kecil dengan pensil tipis yang rapi. Aku mengenali tulisan itu. Itu tulisan Ryan.
Aku terdiam. Detik itu juga, perasaan aneh muncul di dadaku. Kenapa dia repot-repot melakukan ini? Dia bahkan tidak satu kelompok tugas denganku. Apa dia memang sebaik itu? Atau... ada sesuatu yang lain? Entah kenapa pikiranku jadi terlalu banyak berasumsi. Aku menggigit ujung pulpen, mencoba menahan senyum kecil yang tiba-tiba muncul tanpa izin.
“Ryan, aku tidak tahu apa yang ada di pikiranmu,” gumamku pelan, suaraku nyaris tenggelam di antara kesunyian kelas.
Dengan hati-hati, aku mulai menyalin semua jawaban itu ke buku tulisku. Namun, saat tanganku sibuk menulis, tiba-tiba suara berderit pelan membuatku terhenyak.
Krek...
Aku langsung menoleh. Suara pintu kelas terbuka, sedikit mengejutkanku. Aku mengira sedang benar-benar sendiri di sini. Tapi ternyata, Kaila, teman sekelasku, muncul dengan langkah tergesa-gesa. Napasnya tampak sedikit terengah-engah seperti habis berlari kecil.
Dia menuju bangkunya, menarik tas dengan gerakan cepat. Aku menatapnya dari sudut mataku sambil mencoba tetap terlihat sibuk. Kaila tampak mencari sesuatu di dalam tasnya, lalu akhirnya mengeluarkan botol minum. Tapi yang aneh, dia meninggalkan tasnya terbuka begitu saja. Sisi tas itu terlipat, memperlihatkan beberapa barang yang sepertinya keluar dari tempatnya.
Aku kembali memusatkan perhatian pada tugasku. Peduli apa aku pada anak itu? Kaila selalu begitu, tergesa-gesa dan kadang ceroboh. Mungkin dia lupa kalau aku juga ada di kelas ini, atau mungkin dia memang tidak peduli. Aku menghela napas, mencoba menepis rasa ingin tahu yang mulai muncul. Lagi pula, Kaila tidak pernah benar-benar akrab denganku. Kami hanya berbicara kalau ada perlu saja. Itu pun jarang.
Tapi entah kenapa, hari ini ada sesuatu yang membuatku merasa berbeda. Kaila tetap berdiri di sana, menyesap air dari botol minumnya sambil memandang kosong ke arah papan tulis. Aku bisa merasakan kehadirannya, walau dia tak berkata apa-apa.
“Hey,” katanya tiba-tiba, suaranya datar.
Aku terkejut, tapi cepat-cepat mengendalikan ekspresiku. Aku menoleh perlahan, mencoba terlihat biasa saja.
“Iya?” jawabku singkat. Aku tidak ingin membuka percakapan yang panjang.
“Sendiri?” tanyanya, matanya sekilas menatap buku di depanku. Aku mengangguk.
“Hmm, iya. Memang kenapa?” tanyaku balik, berusaha tidak terlalu terlihat penasaran.
Kaila mengangkat bahu, tapi ekspresinya tetap aneh. Ada sesuatu di matanya yang sulit kujelaskan. Dia menatapku seolah sedang mencoba membaca pikiranku, seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu. Setelah beberapa detik yang terasa lama, dia akhirnya tersenyum tipis. Senyum yang tidak terlalu meyakinkan, malah lebih terlihat seperti menyembunyikan sesuatu.
“Enggak, cuma mau bilang aja, mending kamu ikut ke lapangan. Satu kelas bisa nuduh kamu lagi kalau ada barang yang hilang,” nadanya terdengar santai, tapi kata-katanya menusuk seperti duri kecil yang menyakitkan.
Aku menatapnya, tak mampu berkata apa-apa. Sebelum aku sempat merespons, Kaila sudah merapikan barang-barangnya dan melangkah keluar kelas.
Kata-katanya terus terngiang di pikiranku. Dituduh mencuri?. Sebuah kenangan pahit tiba-tiba menyeruak. Insiden hari itu saat uang kas tiba-tiba menghilang dan aku menjadi tersangka utama hanya karena kebetulan aku sedang berada di kelas sendirian.
“Mungkin benar apa yang dia bilang,” gumamku lirih.
Aku menghela napas berat. Jika aku terus berada di kelas sendirian, ada kemungkinan aku bakal dituduh lagi. Tapi, di sisi lain, aku juga tidak punya keberanian untuk bergabung dengan teman-teman sekelasku di lapangan. Aku tahu apa yang menunggu di sana: tatapan dingin, bisik-bisik di belakangku, dan rasa tidak nyaman yang selalu menemaniku sejak insiden itu.
“Ya, sudahlah,” aku berbisik pada diriku sendiri, mencoba meyakinkan hatiku.
Akhirnya, aku memutuskan untuk keluar dari kelas. Bukan menuju lapangan yang panas dan penuh dengan sorotan mata, tapi ke taman di belakang sekolah. Tempat itu selalu menjadi pelarianku. Teduh, tenang, dan jauh dari keramaian. Aku bisa menyelesaikan tugasku di sana dengan lebih damai daripada di kelas sendirian.
...»»——⍟——««...
“Aura!”
Aku terkejut, langkahku terhenti. Aku menoleh ke arah suara itu. Nara? Aku mengerutkan dahi, bingung melihat dia berdiri di sana, tersenyum lebar seperti tidak terjadi apa-apa.
“Nara?” tanyaku heran. “Ngapain kamu di sini?”
“Hehehe...” Dia mendekatiku dengan langkah santai. Saat jaraknya cukup dekat, dia mencondongkan tubuhnya sedikit, lalu berbisik, “Aku bolos pelajaran matematika.”
“Hah?!” tanyaku kaget, hampir saja suaraku terlalu keras.
“Syut! Jangan bilang siapa-siapa, ya?” Dia menaruh jari telunjuk di bibirnya, memberi isyarat agar aku tetap diam.
“I-iya,” jawabku gugup.
Aku menundukkan kepala, tidak ingin tahu lebih jauh. Tapi diam-diam, aku merasa ada sedikit rasa iri. Nara selalu terlihat begitu bebas, seperti tidak pernah peduli apa yang orang lain pikirkan tentang dirinya.
“Kamu mau ke mana, Aura?” tanyanya, suaranya terdengar ringan.
“Aku mau ke taman. Mau mengerjakan tugas olahraga di sana,” jawabku sambil menunjukkan buku yang kubawa.
“Ya udah,” katanya tiba-tiba. “Aku temenin deh. Mumpung aku lagi bosen juga.”
Aku menatapnya, bingung. “Enggak usah, Nara. Kamu bakal bosen di sana.”
Dia hanya mengangkat bahu santai. “Daripada balik ke kelas dengerin Pak Wahyu ngomong panjang lebar soal geometri, mending aku nongkrong di taman bareng kamu.”
Aku hanya menghela napas pelan. Dia memang keras kepala. Tapi di sisi lain, aku merasa lega juga ada yang mau menemaniku. Setidaknya, aku tidak benar-benar sendiri kali ini.
Kami berjalan bersama menuju taman. Nara, seperti biasa, mulai bercerita tentang hal-hal kecil yang dia alami hari itu. Aku hanya mendengarkan, sesekali mengangguk, dan kadang tersenyum kecil. Kehadirannya yang ceria sedikit menghangatkan suasana hatiku.
Saat tiba di taman, aku memilih bangku panjang di bawah pohon yang rindang. Aku duduk, membuka bukuku, dan mulai melanjutkan tugasku. Nara duduk di sebelahku, memainkan daun yang jatuh di pangkuannya.
“Kenapa kamu nggak bareng teman-temanmu ke lapangan tadi?” tanyanya tiba-tiba.
...»»——⍟——««...