Samuel, pria berusia 38 tahun, memilih hidup melajang bertahun-tahun hanya demi satu tujuan—menjadikan Angelina, gadis 19 tahun yang selama ini ia nantikan, sebagai pendamping hidupnya. Setelah lama menunggu, kini waktu yang dinantikannya tiba. Namun, harapan Samuel hancur saat Angelina menolak cintanya mentah-mentah, merasa Samuel terlalu tua baginya. Tak terima dengan penolakan itu, Samuel mengambil jalan pintas. Diam-diam, ia menyogok orang tua Angelina untuk menikahkannya dengan paksa pada gadis itu. Kini, Angelina terperangkap dalam pernikahan yang tak diinginkannya, sementara Samuel terus berusaha memenangkan hatinya dengan segala cara. Tapi, dapatkah cinta tumbuh dari paksaaan, atau justru perasaan Angelina akan tetap beku terhadap Samuel selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kak Rinn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
jatuh cintanya Angelina pada Samuel
Samuel kembali ke ruang tamu sambil membawa nampan berisi tiga gelas teh hangat dan beberapa camilan. Angelina berdiri, berniat membantunya, tapi Samuel langsung menolak dengan senyum lembut.
"Jangan, sayangku. Lebih baik kau duduk saja dan nikmati asinan yang kau pesan," ucap Samuel sambil menaruh teh dan camilan di meja.
Angelina tersenyum kecil dan kembali duduk. Samuel pun duduk di sebelahnya, memperhatikannya dengan pandangan penuh kasih. Sementara itu, Aldrich yang duduk di hadapan mereka hanya mengamati, sesekali mencuri pandang ke arah Angelina, seakan ingin mencari tahu lebih dalam tentang hubungan di antara mereka.
Samuel menangkap tatapan diam-diam Aldrich, tetapi ia memilih untuk tetap tenang dan optimis. "Silakan dinikmati hidangannya," ujarnya sambil menyunggingkan senyum ramah.
Angelina mulai membuka mangkuk berisi asinan yang sudah disiapkan Samuel, sedangkan Aldrich menatapnya dengan rasa penasaran yang tak tersembunyi.
"Sudah berapa bulan kandungan istrimu?" tanya Aldrich dengan nada yang dibuat seolah-olah santai, namun sarat dengan maksud tertentu.
Samuel tersenyum dan menoleh ke arah Angelina dengan lembut. "Baru setengah bulan ini," jawabnya singkat, lalu menepuk tangan Angelina dengan penuh kasih, berharap kehadiran buah hati bisa menjadi awal yang baik bagi mereka.
Aldrich mengangguk pelan sambil mengambil segelas teh hangat. Ia menghirup aroma khas teh hijau yang begitu kaya sebelum menyesapnya perlahan, lalu menaruh kembali cangkir itu di meja. Tatapannya kembali tertuju pada Samuel dan Angelina.
"Jadi, bagaimana dengan perusahaanmu? Kalau sering kau tinggalkan, apa kau tidak khawatir karyawan-karyawanmu jadi mengeluh atau bahkan ada yang berpikir untuk resign?"
Samuel tersenyum tipis, lalu menyandarkan diri di sofa, mencoba memberi alasan yang belum sepenuhnya benar, "Perusahaan sudah kutinggalkan di tangan yang tepat, aku percaya mereka bisa menjalankan semuanya tanpa harus selalu kupantau. Lagipula, sekarang prioritas utamaku adalah Angelina dan calon anak kami."
Angelina menatap Samuel sejenak, merasakan ketulusan dalam kata-katanya. Di balik wajah cueknya, hatinya mulai merasa nyaman dengan perhatian Samuel yang begitu besar.
Ia kemudian tersenyum tipis sambil menyuap asinan mangga ke mulutnya, dia pikir dia telah jatuh cinta pada Samuel.
Aldrich mengangguk lagi, ia bersandar di sofa dan menyilangkan satu kakinya bertumpu dengan kaki lain.
"Apa kau sudah benar-benar menemukan orang yang tepat? Kenapa kau tidak menyerahkan semua perusahaanmu padaku saja? Aku kan sahabat lamamu juga,dan aku berpengalaman untuk menjadi pemimpin."
Keheningan terjadi beberapa detik sebelum Samuel angkat bicara.
"Aku memang mempercayaimu sebagai sahabat, Aldrich, tapi menyerahkan seluruh perusahaan itu masalah yang besar. Aku sudah punya tim yang setia dan tahu bagaimana perusahaan ini bekerja dari bawah."
Angelina menunduk, seakan memahami ada ketegangan samar antara dua sahabat itu. Ia perlahan-lahan menyuap asinan lagi, mencoba menikmati rasa asam-manis yang menyegarkan, meski pikirannya terusik oleh pembicaraan mereka.
Aldrich tertawa kecil, seakan menepis ketegangan. "Ah, aku hanya bercanda, Sam. Tentu saja aku tahu perusahaanmu adalah tanggung jawab besar. Tapi, kalau kau butuh bantuan... kau tahu aku selalu siap, kan?"
Samuel mengangguk perlahan, senyumnya kembali menghangat. "Aku hargai tawaranmu, Aldrich. Tapi untuk sekarang, keluarga ini yang jadi prioritasku."
Keheningan kembali menyelimuti ruang tamu itu. Aldrich segera menghela napas, suara napasnya memecahkan keheningan, ia kemudian tersenyum dan berkata, "Baiklah, kurasa aku harus pulang, aku juga memiliki kesibukan lain."
Samuel tersenyum senang, ia juga tak sabar ingin segera menghabiskan waktu berdua bersama Angelina, "Tentu saja, jangan lupa untuk datang kembali ya, rumah selalu terbuka untukmu."
Aldrich mengangguk lalu ia berdiri dan menyusun jaket di bahunya. "Terima kasih, Samuel. Aku akan ingat itu," katanya dengan senyum tipis, kemudian melangkah menuju pintu.
Angelina hanya tersenyum singkat, meskipun dalam hati ada sedikit perasaan cemas yang tak bisa ia ungkapkan. Ia memandang Aldrich yang berjalan menuju pintu, kemudian mengalihkan pandangan ke Samuel, yang sepertinya sudah tak sabar untuk berbicara lebih banyak dengannya.
Begitu pintu tertutup, keheningan kembali menyelimuti ruang tamu. Samuel yang berada di samping Angelina segera merangkulnya dan mencium dahinya.
"Gimana, sayang, asinan mangganya enak gak?" tanyanya sambil tersenyum lembut.
Angelina tersenyum, ia merasa hatinya yang dingin perlahan telah mencair oleh perlakuan hangat Samuel yang tak pernah menyerah menyayanginya.
"Enak, terimakasih Samuel, selama ini kau telah banyak bersabar menghadapiku" ungkapnya tulus.
Samuel terdiam dengan ekspresi terkejut yang haru, apakah Angelina benar-benar berubah kali ini? Dan apakah ia berhasil membuat Angelina jatuh cinta?
Tanpa berpikir panjang, Samuel menarik Angelina lebih dekat. "Angelina..." Suaranya hampir berbisik sebelum ia mengecup bibir Angelina dengan penuh hasrat, membuat Angelina terkejut. Mangkuk asinan di tangannya tergelincir dan tumpah, namun Samuel tak memperdulikan itu, seolah dunia hanya milik mereka berdua saat itu.
"Samuel... nghh..."erangan Angelina.
Ia berusaha untuk menarik diri, namun Samuel begitu erat memeluknya tanpa bisa menghindar, tubuhnya terjatuh ke belakang, terbaring di sofa dengan Samuel masih di atasnya, mencium bibirnya dengan dalam dan cinta yang besar.
Mata Samuel terpejam, meresapi momen itu, sementara Angelina terdiam terkejut namun tak bisa menepis perasaan yang mulai menghangat di dalam hatinya. Perlahan ia ikut menutup mata dan langsung memeluk punggung Samuel membiarkan Samuel terus menciumnya.
Beberapa saat kemudian, Samuel memutuskan untuk melepaskan ciumannya. Benang saliva mereka terputus, dan Samuel terkekeh kecil, melihat ekspresi terengah-engah di wajah Angelina yang tampak kewalahan.
"Maaf, aku terlalu bahagia," katanya, suaranya lembut namun penuh kehangatan, sambil mencium dahi Angelina dengan penuh perhatian.
Angelina merasakan wajahnya memerah kesal namun entah kenapa di sisi lain ia mulai menikmati perlakuan Samuel yang seperti ini. Atau mungkin, ia hanya sudah terbiasa dengan perhatian itu.
"Turun! Kau berat! Jangan diam terus di atasku!" Ejek Angelina, mengusir Samuel.
Samuel terkejut mendengar kata-kata Angela yang mulai lebih santai dengannya, "Ah, berat ya? "
Lalu ia mendekati kuping Angelina suaranya menjadi lebih menggoda, "Bagaimana kalau kita bermain lagi siang ini?"
Mata Angelina terbelalak. Ia segera menggelengkan kepalanya dengan keras, "Tidak! Tidak, tidak! Semalam kita sudah melakukannya bukan? apa kau tidak puas?"
Semuel tersenyum nakal, "Aku tak pernah cukup denganmu. Kau adalah istriku, canduku."
Kemudian Ia pun mulai menggelitik dan menciumi wajah Angelina, sementara Angela hanya bisa berteriak ketika Samuel terus melaju dengan godaannya ciuman demi ciuman yang diberikan pada istrinya. Tangannya yang terus menggelitik tanpa henti. Ruangan dipenuhi oleh tawa dan canda mereka, meskipun suasananya semakin intens dan sedikit menggairahkan.
Momen itu adalah momen yang sangat bahagia bagi Samuel!