Banyak wanita muda yang menghilang secara misterius. Ditambah lagi, sudah tiga mayat ditemukan dengan kondisi mengenaskan.
Selidik punya selidik, ternyata semuanya bermula dari sebuah aplikasi kencan.
Parahnya, aparat penegak hukum menutup mata. Seolah melindungi tersangka.
Bella, detektif yang dimutasi dan pindah tugas ke kota tersebut sebagai kapten, segera menyelidiki kasus tersebut.
Dengan tim baru nya, Bella bertekad akan meringkus pelaku.
Dapatkah Bella dan anggotanya menguak segala kebenaran dan menangkap telak sang pelaku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DYD34
Berkat laporan dari Danu, Harun memerintahkan Agam untuk menjemput paksa Edwin dari tempat persembunyiannya.
Pesuruh Dirham yang ditugaskan untuk melenyapkan Danu, dibekuk habis oleh para anggota Agam dan berujung digelandang ke jeruji besi. Mereka ditetapkan sebagai saksi sekaligus tersangka.
Sedangkan Edwin, pria dalam kondisi tak sadarkan diri itu dibawa Agam menuju tempat persembunyian baru, yang tak lain merupakan rumah Harun. Rumah yang cukup megah nan mewah itu, tentunya dijaga dengan sangat ketat. Bahkan, Bella pun wajib menunjukkan kartu identitas saat masuk ke rumah sang ayah.
"Aku pulang ...." Sapa Bella kepada sang Ayah yang tengah fokus memeriksa berkas-berkas di ruangan kerja nya.
Harun lekas meletakkan berkas-berkas dalam genggaman ke atas meja. Ia beranjak dari kursi dan memeluk Bella erat.
"Apa tabungan mu sudah cukup banyak untuk membawaku healing ke Amerika?" Harun melepaskan dekapannya. "Ayah tidak mau dibiayai melalui pay later ataupun pinjol ya. Males banget kalau sampai dihubungi sama para debt collector."
"Jangan menggoda ku, Yah. Kepala ku sudah nyaris meledak menangani kasus ini."
"Ayah tidak sedang menggoda mu, Bell. Ayah tengah membahas taruhan kita, ini tentang bisnis."
Netra Bella menyipit sinis. "Jadi, apa yang ingin Ayah tunjukkan pada ku? Aku sudah jauh-jauh datang kemari, awas saja kalau tidak ada yang penting."
Manik Harun pun ikut menyipit. "Kau kira, Ayah tidak tau? Kau jauh-jauh datang kemari juga pasti memiliki maksud dan tujuan lain 'kan? Mustahil murni karena Ayah meminta mu datang."
Bella tersenyum licik. "Ternyata, kita memang benar-benar Ayah dan anak ya?"
Keduanya serentak tertawa.
Harun tersenyum hangat ketika Bella menggandeng lembut lengannya. Pria separuh baya itu lantas membawa Bella menuju garasi mobil rumah mereka yang cukup luas. Agam turut menemani keduanya dari belakang.
"Buka semuanya, Gam." Harun memerintah sang pengawal untuk membuka beberapa pintu belakang mobil box yang terparkir di dalam sana.
Begitu pintu terbuka, sontak pupil Bella melebar. Mulutnya menganga lebar.
"Wuaaaaah! Ini 'kan?!" Bella membekap mulutnya. Raut senang tak bisa lagi ia sembunyikan. "Bagaimana bisa?!"
"Tentu saja bisa, kau meremehkan kemampuan ku? Ingat lah, sebelum menjabat sebagai ketua MA, Ayahmu ini dulunya juga seorang detektif. Ayah sudah melewati masa-masa yang kau alami sekarang ini. Sebelum Dirham mengatur rencana membakar ruang penyimpanan barang bukti, Ayah sudah terlebih dahulu membawa kabur barang bukti yang didapatkan dari hasil kerja kerasmu." Harun mendongak sombong.
Bella menghamburkan pelukannya pada sang ayah. Lalu memastikan kelengkapan dari semua barang-barang bukti yang ada di dalam mobil-mobil box tersebut. Begitu memastikan semuanya tak kurang satupun, Bella baru bisa menghembuskan napas lega. Seolah-olah, beban besar terangkat dari kedua pundaknya.
"Dengan semua bukti-bukti ini, Dirham tak dapat meloloskan diri dari persidangan. Segera kau ajukan berkasnya ke kejaksaan, Ayah akan memantau kasusnya agar tak dapat dimanipulasi lagi oleh iblis itu dan para anteknya!" titah Harun tegas.
"Baik, Yah." Bella mengangguk. Lantas ia dan sang ayah kembali ke ruangan kerja. Sedangkan Agam menunggu di depan pintu ruangan itu.
Bella mengeluarkan sebuah flashdisk dari dalam tas, lalu meletakkan benda bewarna merah itu ke atas meja kerja sang ayah.
"Ini bukti kejahatan lain yang dilakukan Dirham, Yah. Tapi, Iblis itu melaksanakan aksinya saat dia berada di kota lain."
"Lalu?" Harun menaikan kacamata yang melorot di hidung, ke tempat semula. Ia sudah bisa menebak apa yang akan dikatakan sang putri selanjutnya.
"Begini ... apa bisa ... Ayah membantu ku? -- Aku ingin kasus ini dilimpahkan di bawah wewenang ku." Bella menarik napas dalam-dalam. "Apa bisa, Yah?"
Harun mengusap-usap dagunya, seolah-olah menimbang-nimbang untuk mengabulkan permintaan sang putri.
"Ayah pinginnya nanti di Amerika, nginapnya di hotel bintang lima." Tiba-tiba saja Harun mengajukan negosiasi.
Bella memutar malas bola matanya, "baiklah ... baiklah ...!"
Bibir yang tak pernah tersentuh rokok itu, mengulas senyum kemenangan.
"Oh, ya. Ayah hampir lupa, Ayah membawa pria itu kemari."
"Siapa?"
"Siapa? Pria yang menculik mu lah!"
"Menculik ku? Maksud Ayah ... Edwin?!"
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Di dalam sel, Dirham sudah uring-uringan karena tidak diizinkan menghubungi pengacara. Sedari tadi, ia menggigit kuku-kukunya hingga patah dan berdarah-darah.
Sedangkan Handoko yang berada di sel sebelah, sibuk beradu otot dengan para mahluk mungil penghisap darah.
"Auuuuch! Banyak sekali nyamuk di ruangan ini! -- Heh, Sapto! Kemari kamu!" panggilnya pada salah satu anggota yang tengah berjaga. Namun, yang dipanggil enggan menghiraukan.
"Beraninya cecunguk seperti mu mengabaikan ku?! Kau sudah tak sabar menjadi pengangguran, hah?!" Handoko berkacak pinggang di dalam sana. "Aku akan membuatmu menyesal begitu keluar dari dalam sini!"
"Minimal keluar dulu, Pak. Baru berisik," sahut Sapto akhirnya.
"Apa kau bilang?! Ohoooy, berani sekali mulut sampah seperti--"
"Cecunguk, sampah, bukannya kata-kata itu lebih pantas untuk anda, Pak? Menerima suap dari para mafia tanah, menjadi antek dari orang-orang haus darah. Gara-gara orang seperti anda ... saya yang datang jauh-jauh dari kampung demi mengabdi kepada negara, terpaksa kena imbasnya. Saya yang tak pernah ikut terlibat dalam bisnis gelap yang anda geluti, habis jadi bulan-bulanan warga," Sapto terlihat murka. Sedangkan Handoko, sudah mendesis layaknya ular.
"Baru digigit nyamuk sudah merengek, apalagi kalau diberi hukuman mati?" sindir Sapto dengan senyuman remeh.
"Kau!" pekik Handoko keras.
Rahang pria penggila uang itu mengetat geram. Ia menggebrak jeruji besi yang menghalangi nya. Tangannya menjulur keluar dari celah, menggapai-gapai ingin mencengkram kerah sang bawahan.
"Apa kalian bisa tenang? Kalian ... sangat berisik," gumam Dirham tak senang. Ekspresi dingin bak serpihan es, sejenak membuat keduanya terdiam.
Handoko melirik sinis pada Dirham yang duduk bercakung di sebelah sel nya. Bibirnya menyunggingkan senyuman remeh.
"Cih, sepertinya kau belum sadar diri ya, Dirham? Sekarang, kau tidak pantas mengatur dan memerintah diriku semau mu. Lihatlah posisi mu sekarang, Dirham. Kau, sudah seperti singa ompong yang tak lagi memiliki kuasa. Jangan kekuasaan, sekedar rencana pun pasti kau tak punya kan? Haha ... yang tersisa di dalam dirimu itu, sepertinya hanya tinggal omong kosong belaka," Handoko tertawa.
Dirham menatap Handoko dengan raut tenang, "tak memiliki rencana?"
Pria itu berdiri, lalu melangkah mendekati sel Handoko. "Mendekat lah, kau ingin dengar rencana ku, bukan? -- Kemari lah, agar kau tak menyesal karena sudah berani lancang padaku."
Handoko menelisik wajah Dirham, ia menerka-nerka apa yang akan di katakan pria itu padanya. Langkah kaki Handoko berjalan malas, wajahnya tampak ogah-ogahan. Tetapi, rasa penasaran sudah membawa pria itu berdiri tepat di depan Dirham. Telinga nya sudah menempel di celah-celah jeruji besi.
Bibir Dirham mendekati daun telinga Handoko. Ia berbisik ....
"Manusia yang selama ini mengisi perutnya dengan mengutip serpihan-serpihan emas dari gunung-gunung harta ku, sekarang sudah berani merendahkan aku?"
KRAUK!
ARGGHHH!
Noda merah berasal dari telinga Handoko yang putus, memenuhi wajah Dirham.
PUIH!
Dirham membuang daun telinga pria tua itu ke atas lantai. Jeritan Handoko memenuhi seisi ruangan.
Sapto bergidik ngeri ketika menyaksikan adegan tak terduga itu. Ia meninggalkan Dirham yang tertawa terbahak-bahak, pria itu berlari kencang memanggil beberapa petugas lainnya.
"Ahahahaha ... hahaha ... kalian lucu sekali!" Ujung lidah Dirham menjilati darah di area sekitar bibirnya, lalu meneguk nya dengan nikmat.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Bell, Will you marry me?" Edwin berucap dengan santai. Padahal kulit wajah seputih susu itu sudah habis dilahap rona merah.
Mendengar pertanyaan Edwin, Bella memasang wajah datar demi menyembunyikan gugupnya. Ia mendekati pria itu, seraya menelan ludah susah payah. Wanita itu kebingungan sendiri akan degup jantungnya yang begitu kencang.
'Sepertinya, besok aku harus memeriksa kesehatan ke spesialis jantung. Pasti ini efek stress karena pekerjaan yang menumpuk. Aku tidak mau mati muda, sakit jantung pula,' gerutu wanita itu di dalam hati.
Di atas ranjang, Edwin tak berkedip sedetik pun, bibirnya tersenyum lebar kala Bella semakin mendekat. Euforia seolah menyelimuti pria yang terlihat bagai tawanan.
"Come on, Baby! Kemarilah." Edwin tak sabar melihat langkah Bella yang semakin lambat bak adegan slow motion. Degup jantungnya kian cepat saat tatapan mereka bersibobrok.
Bella melempar pandangan ketika sudah berdiri di sisi ranjang, lalu kembali menatap teman masa kecilnya.
"Edwin ...." tutur Bella.
"Hmm? Kenapa? -- Kau ingin mencium bibirku?" Pria itu tersenyum mesum. "Ini, ciumlah!"
Wajah Bella sontak memerah ketika disuguhkan bibir seksi yang sesaat merusak kewarasannya. Cepat-cepat ia memejamkan mata. "Berhentilah berbicara konyol!"
Edwin tergelak, ia menikmati melihat Bella berusaha meredam gugup.
Bella menghela napas pelan, lalu membuka mata. Ia menatap Edwin serius, tak ada lagi gugup di wajah tegasnya.
"Selain menyelamatkan nyawamu, kau pasti tau kan ... alasan ayahku membawamu kemari?" tanya Bella serius.
Edwin mengangguk-anggukkan kepalanya seraya tersenyum aneh. "Aku bersedia."
"Meskipun kau tau, kalau kemungkinan besar kau akan menerima hukuman mati?" raut wajah Bella berubah muram. Terlebih lagi, Edwin kembali mengangguk.
Sesaat, suasana menjadi hening. Mereka sibuk dengan perasaan masing-masing.
Bella dilema dengan apa yang kemungkinan akan menimpa Edwin nantinya, pria itu jelas bersalah. Jika menilik kasusnya, jelas Edwin akan mendapatkan hukuman mati. Sebagai petugas, Bella seharusnya senang akan hukuman setimpal yang didapatkan sang pelaku. Namun, kenapa perasaannya jadi seperti ini? Ia tak berharap kematian sang teman.
Edwin juga tak kalah dilema. Kenapa ia harus bertemu Bella, saat kematiannya sebentar lagi akan tiba di depan mata? Jika waktu bisa di ulang, ia tak ingin bertemu wanita itu sebagai penjahat.
Pria itu menghembuskan napas pelan, dadanya sedikit sesak. Ia kembali menatap Bella. Ajaibnya, perasaannya kembali tenang.
"Bell, apa kau mau mendengar lebih banyak kisah ku? Barangkali, ada hal-hal yang belum sempat kau tau sebelumnya." Edwin menatap Bella dengan bola mata bundar.
"Ceritalah, aku mendengarkan," sahut Bella.
"Tapi, ini tidak gratis, kau harus membayarnya secara khusus." Edwin menyeringai mesum.
"Maksudmu?" Bella menelan kasar ludahnya.
Dengan gerakan cepat bagai kilat, Edwin sudah berlutut di tepian ranjang. Kedua tangannya yang terikat tali, sudah melingkar di belakang leher Bella. Wanita itu sontak tersentak, matanya mengerjap panik.
Tanpa izin dari yang punya, Edwin melahap habis bibir Bella. Napas wanita itu terengah-engah, kedua tangannya memukul-mukul dada pria bertubuh tegap yang mendekapnya.
Edwin semakin melu-mat bibir Bella. Suasana menjadi hening, hanya terdengar deru napas bersahut-sahutan.
*
*
*
semangat Thor! 👍
Amit-amit banget ma lakik modelan seperti dia, udah kebanyakan teori, eh sekarang mau mendapatkan Bella dengan cara kotor🤢
Bisa-bisanya oon bener🤣