SEKUEL TERPAKSA MENIKAHI PEMBANTU
Giana yang sejak kecil kehilangan figur seorang ayah merasa bahagia saat ada seorang laki-laki yang merupakan mahasiswa KKN memberikan perhatian padanya. Siapa sangka karena kesalahpahaman warga, mereka pun dinikahkan.
Giana pikir ia bisa mendapatkan kebahagiaan yang hilang setelah menikah, namun siapa sangka, yang ia dapatkan hanyalah kebencian dan caci maki. Giana yang tidak ingin ibunya hancur mengetahui penderitaannya pun merahasiakan segala pahit getir yang ia terima. Namun, sampai kapankah ia sanggup bertahan apalagi setelah mengetahui sang suami sudah MENDUA.
Bertahan atau menyerah, manakah yang harus Giana pilih?
Yuk ikuti ceritanya!
Please, yang gak benar-benar baca nggak usah kasi ulasan semaunya!
Dan tolong, jangan boom like atau lompat-lompat bacanya karena itu bisa merusak retensi. Terima kasih atas perhatiannya dan selamat membaca. ♥️♥️♥️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SSM 26
Entah sudah berapa kali, Herdan mendatangi cafe untuk berbicara dengan Giana, tetapi Giana selalu menghindar. Apalagi setelah teman-teman di cafe tahu siapa Herdan, mereka pun selalu siap siaga membantu Giana menghindari Herdan.
"Gi, jangan keluar! Sini biar aku aja yang antar," sergah Meta.
"Kenapa?" tanya Giana heran.
"Ada kecoak buntung tuh di luar," ujar Meta sambil menggestur ke arah luar dengan dagunya.
"Kecoak buntung? Maksudnya?"
Desti yang gemas pun mencubit pipi Giana yang semakin chubby.
"Mantan kamu, Gia. Kecoak buntung itu mantan suami kamu," ujar Desti sambil terkekeh.
"Apa? Datang lagi? Apa nggak bosen-bosen dia datang ke mari?" decak Giana kesal.
"Gi," panggil Asrul.
"Eh, iya, Pak?" sahut Giana. Meta pun segera mengambil alih tray di tangan Giana dan membawanya keluar.
"Bapak boleh saran?"
"Em, saran apa ya, Pak?" tanya Giana bingung.
"Begini, Bapak tau kalau kamu sudah pisah sama mantan suami kamu itu. Tapi ada baiknya, kamu temui dia. Tanya baik-baik apa maksud dan tujuan kedatangan dia. Terlebih kamu sedang hamil, Gi. Meskipun mungkin kamu benci banget sama dia, tapi dia tetap memiliki hak dan kewajiban atas anak kamu. Mau dia menerima apa nggak, menafkahi atau nggak, itu urusan nanti. Yang penting, kalau bisa menyelesaikan masalah kamu baik-baik, kenapa nggak. Kamu hanya perlu temui dan tanyakan tujuan kedatangannya. Nggak perlu keluar untuk bicara sama dia. Cukup di sini aja untuk antisipasi hal-hal yang bisa saja terjadi. Itu saran Bapak sih. Mau kamu dengar, Alhamdulillah. Nggak juga, ya nggak papa. Kamu punya hak untuk menerima atau menolak saran Bapak ini," ujar Asrul yang ingin masalah Giana dan Herdan tidak berlarut-larut. Melihat kegigihan Herdan yang terus berupaya menemui Giana, bisa ia lihat, ada sesuatu yang penting yang ingin Ia sampaikan.
Giana tampak menimbang. Setelah beberapa saat, barulah ia mengangguk tanda menerima saran Asrul.
"Giana, akhirnya kamu mau menemui Mas juga," ucap Herdan sumringah. Meskipun kesal karena beberapa hari ini tak kunjung bisa menemui Giana, tetapi setelah melihat sosok itu, entah kenapa hati Herdan senang sekali. Apalagi sosok Giana kini terlihat lebih berisi dengan perutnya yang semakin lama semakin membulat. Sepercik kehangatan tumbuh di dalam hati. Ia tidak menyangka, mantan istri yang sudah diceraikannya justru hamil di saat status mereka sudah menjadi mantan.
Giana diam, tak merespon. Dengan wajah datar, ia duduk di depan Herdan.
"Cepat katakan, apa maksud dan tujuan Mas ke mari! Tak perlu banyak basa-basi karena aku nggak butuh itu," ucap Giana tanpa ekspresi sama sekali.
Herdan menelan ludah. Giana-nya sudah benar-benar berubah. Bahkan untuk berbicara dengan nada santai pun ia tak mau.
"Gi, kamu masih marah sama Mas?"
"Menurut Mas?" balas Giana bertanya balik.
"Oke, Mas tau, Mas selama ini sudah sangat bersalah dan sering banget nyakitin kamu, tolong maafin, Mas, ya. Kamu mau 'kan?" ucap Herdan lembut.
"Perasaan belum lebaran deh, kok udah minta saling maaf memaafkan aja?" cibir Giana.
"Gi, tiadakah pintu maaf untuk Mas?".
"Mas, lebih baik langsung bicara ke intinya aja. Nggak perlu berbasa-basi meminta maaf karena jujur aja, aku belum bisa memaafkan kamu. Bukan sehari dua hari kamu dan keluarga kamu nyakitin aku, tapi bertahun-tahun. Mikir aja, apa satu kata maaf bisa menyembuhkan semua luka yang sudah kamu dan keluarga kamu torehkan? Nggak. Aku bukan nabi, bukan rasul, yang bisa dengan mudah memberikan maaf. Nggak. Aku nggak sebaik itu. Aku pernah jadi orang yang sangat baik untuk kalian, tapi apa balasan yang aku dapat? Hanya kesakitan. Jadi, berhenti meminta maaf karena mau kau bersimpuh di kakiku pun belum tentu aku bisa memberikan maaf," ujar Giana dengan mata berkaca-kaca.
Giana masih mengingat jelas apa yang sudah Herdan dan keluarganya lakukan padanya. Setiap hari setiap saat, hanya ada kesakitan dan kepahitan. Ditambah perselingkuhan yang Herdan lakukan membuatnya benar-benar mati rasa. Jangankan untuk mencinta, untuk memaafkan saja ia tak bisa. Tidak bermaksud mendendam, hanya saja dia manusia biasa. Luka hatinya masih begitu menganga, lantas bagaimana ia bisa memberikan maafnya?
"Gi ...."
"Cukup, Mas, cepat katakan saja apa maksud dan tujuan kedatanganmu. Apa yang ingin kau katakan? Cepatlah. Ini masih jam kerja."
Herdan menelan ludah untuk kesekian kalinya. Ia melihat sikap Giana yang jelas-jelas menolak kehadirannya.
"Mengapa rasanya sakit sekali, ya?"
"Oke. Maaf kalau aku mengganggu waktu kerjamu sebab aku tidak memiliki cara lain. Setiap pulang kerja, aku tak pernah mendapatimu. Jadi aku sengaja datang di jam kerja berharap kau mau memberikan kesempatan untuk bicara padaku." Giana diam, menunggu Herdan melanjutkan kata-katanya.
"Gi, maksud dan tujuan kedatanganku ini sebenarnya untuk menanyakan sesuatu. Gi, apa kau mengandung anakku?" tanya Herdan pada akhirnya. Meskipun sudah bisa menebak kalau sewaktu-waktu bisa saja Herdan menanyakan perihal kehamilannya, tetapi tetap saja Giana cukup terkejut atas pertanyaan itu.
"Bukan," jawab Giana tegas. "Bukankah kau dan keluargamu mengatakan aku mandul jadi aku nggak mungkin mengandung anakmu, bukan?"
"Gi ...," lirih Herdan. Sakit sekali rasanya saat Giana mengucapkan kalau anak yang ia kandung bukanlah anaknya. Apalagi Giana mengatakannya dengan begitu tegas.
"Maaf, Mas, waktumu sudah habis. Aku harus kembali bekerja." Usai mengucapkan itu, Giana pun segera beranjak dari tempat duduknya. Herdan hanya bisa menatap kepergian Giana dengan nelangsa.
"Gi ...."
...***...
"Dan, bagaimana? Kamu berhasil bicara dengan Giana?" tolong Rahma tak sabaran. Ia bertanya sambil celingak-celinguk, khawatir Angel mencuri dengar pembicaraan mereka.
Herdan mengangguk lesu sambil menghembuskan nafas berat.
"Jadi bagaimana? Dia bersedia rujuk?" cecar Rahma penuh harap. Ratih yang muncul pun ikut mendengarkan.
Herdan menggeleng. "Aku belum sempat meminta rujuk, Ma."
"Hah! Kamu gimana sih, Dan? Jadi kamu tadi bicara apa aja?"
"Aku mau minta maaf dulu dengan Gia siapa tau kan dengan begitu dia langsung bersedia saat aku minta rujuk. Tapi jangankan rujuk, memaafkan aku aja dia nggak mau. Dia juga bilang kalau anak yang dia kandung bukanlah anakku," ucap Herdan lesu.
Rahma dan Ratih terdiam. Sedikit banyak, ia paham alasan Giana tak mau memaafkan Herdan. Tak lain itu karena sikap dan perlakuan mereka selama ini. Terlebih Herdan yang sudah menikah lagi pasti membuat Giana semakin tak mau memaafkan mereka.
"Nanti Mama coba menemuinya. Siapa tau kalau Mama yang meminta, dia mau kembali rujuk sama kamu."
"Benarkah?"
Rahma mengangguk.
"Aku yang akan menemani Mama. Semoga aja Mbak Giana mau kembali sama Kakak."
"Terima kasih, Ma, Tih. Semoga saja bisa, ya. Aku sudah tak sabar ingin melihat anakku. Kenapa Giana harus hamil setelah berpisah? Huh, seandainya Angel segera hamil, mungkin aku nggak akan sampai begitu mengharapkan anak itu," ucap Herdan sambil berlalu masuk ke dalam rumah.
...***...
...Happy reading 🥰 🤩 🤩 ...
untung saja giana hamil setelah berpisah denganmu, karena anak gia pun males tinggal bersama keluarga toxic 🤪
baik hanya karena ada mau nya saja..
😠😠😠😠🤬🤬🤬🤬