Nuri terpaksa menerima perjanjian pernikahan 9 bulan yang ditawarkan Sabda, kerena Dennis, pria yang menghamilinya meninggal dunia. Sabda adalah kakak Dennis dan sudah memiliki istri. 9 bulan itu menjadi masa yang sulit bagi Nuri karena dia selalu mendapatkan intimidasi dari mertuanya dan istri pertama Sabda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7
Sabda menatap Fasya yang sudah terlelap disebelahnya. Dia merasa bersalah pada istrinya tersebut. Karena kebanyakan jika suami istri tak memiliki keturunan, pihak wanitalah yang lebih sering disalahkan.
Biasanya, setelah melakukan ritual suami istri, dia akan langsung mengantuk. Tapi malam ini, entah kenapa matanya sama sekali tak mau terpejam.
Dia kepikiran tentang percakapannya tadi dengan Fasya. Istrinya itu mengajaknya untuk melakukan program bayi tabung, tapi tentu saja, Sabda menolak dengan alasan ingin usaha dengan cara alami dulu.
Sebenarnya dokter juga menyarankan bayi tabung padanya. Kemungkinan berhasil ada, meski sangat kecil. Namun bukan itu masalah utamanya, jika melakukan program tersebut, Sabda takut rahasia tentang dirinya yang mandul akan diketahui oleh Fasya. Dia tak mau istrinya itu sampai tahu dan meninggalkannya.
Sementara ini, Sabda masih mencoba untuk menjalani pengobatan rutin.
Sabda turun dari tempat tidur. Keluar dari kamar untuk merefresh otaknya. Dia berjalan menuju halaman belakang dengan ponsel ditangan. Tapi setibanya dihalaman belakang, dia kaget melihat Nuri yang duduk ditepi kolam dengan kaki terendam air kolam. Sekarang sudah tengah malam, tapi kenapa wanita itu belum tidur?
"Belum tidur?"
Nuri kaget saat mendengar suara seseorang. Jantungnya sampai berdegup kencang karena takut. Dia pikir ada hantu, tapi saat melihat Sabda berjalan kearahnya, dia bernafas lega.
"Apa tidak dingin?" Sabda melihat kearah kaki Nuri yang terendam air.
Nuri tersenyum sambil menggeleng. "Udaranya panas."
"Panas, apa ac dikamar mati?"
Nuri lagi lagi hanya tersenyum, tidak mengatakan jika dia sudah pindah kekamar pembantu yang tidak ada ac nya.
Sabda duduk disebelah Nuri. Mengikuti apa yang dilakukan wanita itu, merendam kedua kakinya di kolam. Seketika, dingin langsung menjalar ketubuhnya.
"Nyamankan?" tanya Nuri.
"Tidak terlalu, tapi lumayan." Sahutnya sambil menoleh kearah Nuri. "Bumil tidak baik begadang. Ini sudah terlalu malam, lebih baik kamu tidur."
"Belum ngantuk."
"Kenapa, kepikiran Dennis?"
Tidak mungkin jika dia tidak kepikiran pria itu sama sekali. Tapi kenangan terakhir mereka bertemu, membuat Nuri tak terlalu meratapi kepergian kekasih tak bertanggung jawabnya itu.
"Kau masih marah padanya?"
Nuri menggeleng. "Aku sudah memaafkannya. Tidak baik menyimpan dendam pada orang yang sudah tiada. Bagaimanapun, adanya anak ini karena kesalahan kami berdua, bukan hanya dia." Nuri menunduk sambil mengusap perutnya yang masih rata.
Sabda bernafas lega. Entah mengapa, dia merasa Nuri adalah gadis yang baik dan polos. Mungkin kepolosannya itu yang dimanfaatkan seorang player seperti Dennis.
"Berapa lama kalian pacaran?"
Nuri merasakan matanya mulai memanas. Pembahasan tentang Dennis membuatnya serasa kembali kemasa lalu. Masa yang saat itu terasa sangat indah, tapi berujung penyesalan pada akhirnya. Kalau, kalau dan kalau, kata itu terus ada dikepalanya, tapi waktu tak bisa diputar kembali. Mau menyesalpun tak ada gunanya, sudah terlanjur ada benih dirahimnya.
"Apa kau menganggapku wanita murahan?" Tanyanya sambil menengadahkan wajah, menatap langit malam yang cerah.
"Kita baru kenal, mana bisa aku langsung menilaimu seperti itu."
"Bukankah gadis yang hamil diluar nikah, sudah pasti akan dicap buruk?"
"Tidak ada pembenaran sama sekali ataupun toleransi untuk hal itu. Sexx sebelum nikah, sudah pasti itu salah. Tapi kembali lagi, manusia tempatnya salah. Tapi bukan berarti tak ada kesempatan untuk memperbaiki sesuatu yang salah bukan? Ujian saja, ada remidi. Aku senang kau tak mengikuti saran Dennis untuk menggugurkan janin itu. Dari kejadian itu, sudah terlihat jika kau merasa bersalah dan ingin memperbaiki, bukan malah membuat semakin salah."
Nuri tersenyum mendengar jawaban bijak tersebut. Dia tak mengira jika Sabda akan sangat berbeda dengan Dennis dalam segi berfikir.
Sabda menoleh kearah Nuri. Menatap wajah cantik yang bersinar karena cahaya bulan. "Aku tak tahu kesimpulanku ini benar atau tidak, tapi menurutku, kamu hanya gadis polos yang terjebak dalam arus pergaulan bebas. Disaat kamu merantau ke kota, kamu tak tahu seperti apa pergaulan disana. Dan seseorang telah memanfaatkan kepolosanmu tersebut."
Nuri membenarkan dalam hati. Dia salah bergaul saat awal kuliah, saat memilih teman hingga akhirya merasa sexx bebas bukanlah sesuatu yang tabu. Tapi teguran dari Tuhan membuatnya sadar jika dia telah salah selama ini.
Sabda menyodorkan ponselnya kearah Nuri. "Simpan nomor ponselku. Jika ada sesuatu atau butuh apapun, kamu bisa menghubungiku."
Nuri meraih ponsel tersebut. Menekan satu persatu nomor teleponnya lalu melakukan panggilan.
"Aku sudah menyimpan nomorku disitu." Ujar Nuri sambil mengembalikan ponsel pada Sabda.
"Aku akan ke Batam selama 3 hari. Apa kau ingin dibelikan sesuatu? Bukankah biasanya wanita hamil muda mengalami yang namanya ngidam?"
Hanya perhatian kecil, tapi Nuri merasa sangat senang. Setidaknya, meski pernikahan mereka hanya sebuah perjanjian, tapi suaminya itu masih mau memberikan sedikit perhatian.
"Terimakasih sudah menawariku. Tapi aku sedang tidak ingin apapun."
"Baiklah, tapi suatu saat jika kau ingin sesuatu, jangan sungkan untuk bilang padaku."
Nuri mengangguk sambil tersenyum. Selama ini, dia pikir Sabda adalah pria yang sangat dingin, tapi ternyata, dia tak sedingin perkiraannya.
"Ayo aku antar kembali ke kamar. Ini sudah malam, kamu harus jaga kesehatan." Sabda menarik kakinya keluar dari air lalu bangkit. Mengulurkan tangan kearah Nuri untuk membantunya berdiri.
Nuri menatap uluran tangan tersebut. Ada rasa sungkan untuk memegang tangan Sabda meski status mereka suami istri. Dia tahu Sabda milik wanita lain. Takut apa yang dia lakukan bisa membuat hati Fasya terluka. Tapi menolak uluran tangan tersebut, takut membuat Sabda tersinggung. Dan akhirnya, dia mengganggam telapak tangan besar itu lalu berdiri.
"Terimakasih," ucap Nuri. Dia melepaskan tangan tersebut setelah berhasil berdiri tegak. "Tak perlu mengantar, aku bisa kembali ke kamar sendiri." Dia tak mau Sabda tahu jika sekarang, dia tidur dikamar pembantu.
"Tidak masalah, ayo aku antar." Karena Sabda memakasa, Nuri terpaksa mengangguk. Mereka berjalan beriringan masuk kedalam rumah. Dirumah ini ada beberapa kamar tamu, Sabda tak tahu Nuri tidur dikamar yang mana. Dia mengikut saja kemana Nuri melangkah. Hingga akhirnya, Nuri berhenti didepan kamar pembantu.
"Kenapa berhenti disini?" Sabda mengernyitkan dahi.
"Emm...aku tidur disini."
Sabda kaget mendengarnya. Jelas jelas hari itu dia menyuruh art mengantar kekamar tamu, tapi kenapa dia pindah kesini?
"Bukan di kamar tamu?"
Nuri menggeleng.
"Tapi kenapa?" lanjut Sabda.
"Aku tak terbiasa dengan ac, jadi lebih nyaman tidur disini," Nuri beralasan. Dia tak mau masalah kamar jadi panjang lebar. Karena jika hal itu terjadi, Yulia pasti akan makin tidak menyukainya.
Sabda berdecak pelan. "Sudah jelas jelas tadi kau bilang tak bisa tidur karena panas. Jadi jangan memberikan alasan tak jelas seperti ini. Katakan, kenapa kau pindah kesini? Siapa yang menyuruh? Ibu, Fasya?"
"Sudahlah, hanya masalah kamar, aku tak masalah. Aku tak mau ada keributan karena aku."
"Katakan, siapa yang melakukannya? Siapa yang menyuruhmu pindah kesini?" tekan Sabda. Dia ingin yang terbaik untuk Nuri agar kandungannya tetap sehat, tapi jika seperti ini, dia jadi takut Nuri tak nyaman dan berujung kandungannya bermasalah.
"Ibu."
Sabda memejamkan matanya mendengar jawaban Nuri. Dia tahu ibunya tak menyukai Nuri, tapi dia tak tahu jika ibunya bertindak seperti ini pada wanita yang sedang mengandung cucunya.
"Tolong jangan diperpanjang. Aku nyaman disini." Nuri membuka pintu kamarnya. "Lihatlah, ini bahkan lebih bagus daripada kamar kosku."
Sabda merasa bersalah. Sudah beberapa hari mereka menikah, tapi baru malam ini dia tahu jika Nuri tinggal dikamar pembantu.
"Besok aku akan bilang pada ibu agar kau pindah kekamar tamu."
Nuri menggeleng. "Tolong jangan lakukan itu. Aku tak mau ibu makin membenciku karena hal ini. Kembalilah ke kamarmu. Kak Fasya pasti akan bingung mencari jika tak menemukanmu dikamar."
Sabda menyentuh puncak kepala Nuri. "Kau gadis yang sangat baik. Tidurlah, aku pergi dulu."