Masih belajar, jangan dibuli 🤌
Kisah ini bermula saat aku mengetahui bahwa kekasihku bukan manusia. Makhluk penghisap darah itu menyeretku ke dalam masalah antara kaumnya dan manusia serigala.
Aku yang tidak tahu apa-apa, terpaksa untuk mempelajari ilmu sihir agar bisa menakhlukkan semua masalah yang ada.
Tapi itu semua tidak segampang yang kutulia saat ini. Karena sekarang para Vampir dan Manusia Serigala mengincarku. Sedangkan aku tidak tahu apa tujuan mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BellaBiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27
“Lalu, apa yang terjadi setelah itu?” tanya pemimpin dengan nada serius.
“Setelah itu, semuanya berubah. Adiknya marah besar sama aku, juga marah ke kakaknya. Suatu hari, dia ngomong dengan suara keras, penuh amarah, karena dia tahu kalau aku nggak mencintainya. Dia sadar bahwa aku lebih suka kakaknya. Dan yang paling parah, ayahku mendengar semuanya.”
“Lalu, apa yang terjadi?” pemimpinnya melanjutkan pertanyaannya.
“Ayahku marah besar, dia memukuliku dengan kejam sambil melontarkan kata-kata yang menyakitkan, seperti yang sering diucapkan untuk wanita-wanita yang dianggap jahat. Setelah itu, aku nggak boleh keluar dari kamarku lagi. Beberapa hari kemudian, kakak laki-laki itu datang menemuiku. Tapi, aku melihat pelayan-pelayan ayahku memukulinya dengan brutal. Aku berteriak minta mereka berhenti, tapi aku nggak bisa berbuat apa-apa,” kataku, air mata mulai mengalir di pipiku.
“Apa yang terjadi setelah itu?” tanya pemimpin itu lagi.
“Aku merasa sangat bersalah. Aku menyakiti hati adiknya dan juga tubuh kakaknya. Aku merasa begitu hancur, sampai aku berharap mati saja. Ayahku bahkan memutuskan untuk mempercepat tanggal pernikahanku dengan lelaki yang sebelumnya sudah memperlakukanku dengan buruk.”
“Bagaimana hidupmu setelah kamu nggak bisa keluar dari kamarmu lagi?” tanya pemimpinnya.
“Aku semakin tenggelam dalam kesedihan. Aku nggak bisa makan, setiap makanan yang mereka kasih selalu keluar lagi. Aku sering pura-pura makan, lalu diam-diam membuang semuanya. Aku hanya duduk berjam-jam, menatap ke luar jendela, berharap bisa melihat temanku dan meminta maaf. Tapi, mereka nggak pernah muncul. Udara di luar sangat dingin, meskipun tulangku sakit, aku tetap duduk di jendela selama berjam-jam hanya untuk berharap bisa bicara sama mereka.”
“Kamu nggak pernah melihat mereka lagi?” tanya pemimpinnya.
“Nggak. Setelah sekian lama terkunci di kamar, aku kehilangan hitungan hari. Aku nggak pernah melihat mereka lagi. Harapan mulai hilang. Aku mulai berpikir mereka mungkin membenciku. Lalu, aku tahu bahwa pria yang akan menikahiku akan segera membawaku pergi. Aku pun memohon kepada Tuhan agar mengambil nyawaku. Dan saat itu aku mulai jatuh sakit.”
“Apa yang terjadi saat kamu sakit?” tanya pemimpinnya.
“Aku nggak mau bangun. Aku nggak mau menikah dengan orang yang nggak aku cintai. Dan setiap hari, penyakitku semakin parah.”
“Kamu bisa sembuh dari penyakit itu?” tanya pemimpinnya, suaranya lembut.
“Nggak. Suatu hari, aku meninggalkan rumah itu. Aku meninggalkan kamar itu dan nggak pernah kembali.”
“Apakah kamu punya kenangan lain tentang desa itu?” tanya pemimpinnya.
“Nggak, aku meninggalkan dunia ini,” jawabku lirih.
“Siapa namamu saat kamu tinggal di sana?” tanya pemimpinnya.
“Anna,” jawabku singkat.
“Apa yang terjadi setelah kamu meninggalkan dunia ini?” tanya pemimpinnya.
“Ada semacam pintu bercahaya yang memanggilku tanpa berkata apa-apa. Tapi, aku nggak ingin masuk ke sana. Aku memilih tetap tinggal di tempatku, di mana nggak ada apa-apa selain kegelapan. Tapi aku masih bisa mendengar suara teman-temanku. Aku nggak tahu berapa lama aku dikelilingi kegelapan itu. Aku merasa sangat bersalah karena nggak pernah minta maaf pada mereka. Kadang-kadang, aku masih bisa mendengar mereka menangis atau memanggilku. Tapi, aku cuma bisa mendengar suara mereka. Lama-kelamaan, aku bahkan nggak bisa melihat mereka lagi. Aku juga nggak bisa melihat diriku sendiri. Aku hanya tahu mereka ada di sana."
"Apakah kamu ingat momen tertentu sebelum kembali ke dunia ini?" tanya pemimpinnya dengan lembut.
“Ada suara yang memberitahuku bahwa aku bisa kembali ke dunia ini, tapi aku harus menebus penderitaan yang pernah aku sebabkan, meskipun tanpa sengaja. Suara itu bilang hidupku akan sangat sulit, penuh rasa sakit, kesepian, dan kesedihan. Tapi, aku akan punya kesempatan untuk bertemu kembali dengan kedua sahabatku, dan akhirnya berdamai dengan mereka,” jawabku dengan suara serak, mengingat jelas pesan itu.
"Apa yang kamu putuskan?" tanya pemimpinnya.
“Aku merasa sangat lelah merasakan begitu banyak kesedihan. Mendengar teman-temanku menangis karena merindukanku dan mengingatku, juga suara kakak yang terus memanggilku meski dia nggak bisa mendengarku membalas. Akhirnya, aku memutuskan untuk kembali. Aku harus meminta maaf, supaya mereka bisa memaafkan dan berhenti bersedih,” kataku, suaraku penuh keyakinan.
"Saat kamu kembali, ingat siapa orang tuamu?" pemimpinnya melanjutkan.
“Ibuku sangat cantik, menawan, dan ayahku sangat mencintainya,” jawabku, senyum tipis terbentuk di bibirku saat mengingat mereka.
"Apa yang kamu ingat dari hidupmu bersama mereka?" tanyanya.
“Mereka sangat ketakutan, mereka melarikan diri dari sesuatu. Beberapa orang jahat membunuh mereka, dan aku ditinggalkan sendirian...” suaraku memelan, kenangan itu masih terasa menyakitkan.
"Jam berapa kamu melihatnya?" tanya pemimpinnya lagi.
“Sekarang, waktunya sekarang,” jawabku, mataku terbuka perlahan, kembali ke masa kini.
"Apakah kamu bisa menemukan dua teman yang sangat kamu rindukan itu?" tanya pemimpinnya dengan penuh perhatian.
"Ya," jawabku singkat, perasaanku bercampur antara kelegaan dan penyesalan.
Setelah itu, mereka perlahan membawaku keluar dari keadaan trance. Aku kembali ke dunia nyata dengan perasaan yang berat. Semua yang aku lihat dan rasakan selama sesi itu membuat kesedihan yang pernah kurasakan dulu hidup lagi di hatiku. Memang benar, aku dulu menjalani hidup yang pendek dan sangat menyedihkan. Aku benar-benar meninggal karena patah hati, tapi masih ada hutang yang harus kutanggung, akibat dari rasa sakit yang tanpa sadar aku tularkan pada orang-orang di sekitarku.
Aku kini paham, semua penderitaan yang kujalani dalam hidup ini adalah bentuk karma. Kalen dan Aleister telah menderita bertahun-tahun karena kesalahanku. Egoku menutupi perasaanku terhadap Kalen. Aku terlalu sibuk menikmati perhatian dan pemberian yang dia berikan, tanpa memikirkan perasaannya. Sementara Aleister nggak pantas mendapatkan pemukulan kejam yang dia alami, karena dia nggak tahu bahwa ayahku sudah menjodohkanku dengan orang lain.
Aku adalah satu-satunya yang harus disalahkan atas rasa sakit yang mereka alami. Dan aku tahu sekarang, aku harus memberi tahu Kalen kebenaran ini. Dia harus tahu agar keraguan dan kemarahannya terhadap Aleister bisa hilang. Mungkin, hanya dengan begitu, kesedihan mereka bisa berakhir.
Karena nggak ada kebahagiaan sejati yang bisa datang dari penderitaan orang lain.
awak yang sudah seru bagi ku yang membaca kak