NovelToon NovelToon
Serious? I'M Not A Hero!

Serious? I'M Not A Hero!

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Sistem / Mengubah Takdir
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: ex

Kim Tae-min, seorang maniak game MMORPG, telah mencapai puncak kekuatan dalam dunia virtual dengan level maksimal 9999 dan perlengkapan legendaris. Namun, hidupnya di dunia nyata biasa saja sebagai pegawai kantoran. Ketika dunia tiba-tiba berubah akibat fenomena awakening, sebagian besar manusia memperoleh kekuatan supranatural. Tae-min yang mengalami awakening terlambat menemukan bahwa status, level, dan item dari game-nya tersinkronisasi dengan tubuhnya di dunia nyata, membuatnya menjadi makhluk yang overpower. Dengan status dewa dan kekuatan yang tersembunyi berkat Pendant of Concealment, Tae-min harus menyembunyikan kekuatannya dari dunia agar tidak menimbulkan kecurigaan.

Di tengah kekacauan dan ancaman baru yang muncul, Tae-min dihadapkan pada pilihan sulit: bertindak untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran, atau terus hidup dalam bayang-bayang sebagai pegawai kantoran biasa. Sementara organisasi-organisasi kuat mulai bergerak.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ex, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

monster moncrot

Makhluk itu menatapku dengan kebengisan di matanya, tubuh raksasanya bergerak maju, cakarnya yang besar siap mengoyak. Sebelum sempat bereaksi lebih jauh, aku kena hajar telak, membuat tubuhku terlempar jauh ke belakang. Rasanya seperti dilempar oleh eks di masa lalu, yang membuatku terhempas menabrak tembok sampai berlubang besar.

"Aduh, keras banget... ya ampun, kayak dihajar hutang sebulan," kataku sambil berusaha berdiri, meringis. Aku mengusap bahu, lalu memutar-mutar leher yang sedikit kaku akibat benturan itu. "Kamu serius? Ini serius, nih? Pakai mukul segala…”

Makhluk itu, tampak kaget aku masih bisa berdiri, lalu menyeringai seolah dia merasa menang. Aku melambaikan tangan, mengisyaratkan dia mendekat. "Ayo, mau main-main lagi? Jangan nanggung kalau niat mau habisin aku."

Dia maju dengan gigi yang mengepal dan cakar yang siap menghantam. Aku berjongkok, siap menghadangnya dengan tangan kosong. Aku menghindari cakar yang melesat, lalu memanfaatkan kesempatan itu untuk mendaratkan satu pukulan tepat di wajahnya.

Dugg!

Wajahnya terhantam ke samping, membuatnya terpental beberapa langkah ke belakang. Tanpa menunggu, aku menambahkan serangkaian pukulan cepat seperti mesin jahit. Setiap kali tubuhnya terpental, aku sudah berada di sisi lain, menunggu untuk menambah pukulan berikutnya. Setiap hantaman datang dengan suara keras, dan darah mulai berceceran.

“Wah, mukanya makin nggak enak dipandang!” Aku berhenti sebentar, memandang wajahnya yang kini penuh luka, darah bercucuran. "Kalau disuruh milih, aku mending liat mukanya debt collector daripada ini."

Makhluk itu merangkak bangkit, dengan napas tersengal-sengal. Kali ini dia tampak marah sungguhan, melotot seperti sedang menahan malu. Aku hanya tersenyum kecil, lalu melangkah ke arah makhluk itu dengan santai.

“Tunggu, tunggu, sebentar!” Kataku dengan nada bercanda sambil mengangkat tangan. “Aku lagi ingat-ingat, kamu ini monster, atau aktor figuran yang ketemu jalan buntu?”

Dia meraung marah, kali ini dengan penuh kekuatan dia menyerang. Aku menepuk kedua tanganku, berjongkok sambil menunggu. Ketika cakarnya datang, aku melompat ke samping, menghindar, lalu memberikan pukulan di pinggangnya. Tiba-tiba dia terhuyung, aku sudah berada di sisi lain, memukul kepalanya dengan cepat.

Plak! Plak!

Dia terpental, lalu bangkit lagi, kali ini tampak lebih marah dari sebelumnya. Aku hanya menyeringai dan menyentil keringat di dahi, mengangkat bahu.

“Ayo, masih ada tenaga? Masa gitu doang capek? Aku nggak capek, nih, kalau mau lanjut.”

Makhluk itu mengayunkan cakarnya dengan liar, mencoba meraih tubuhku. Aku melompat ke atasnya, dan dengan segenap tenaga, menendang kepalanya hingga dia terjerembab ke tanah. Saat dia terhuyung, aku mengambil kesempatan untuk memberikan pukulan bertubi-tubi pada tubuhnya yang besar. Dia meraung keras, darah semakin mengalir dari sisi-sisi tubuhnya.

"Nggak sakit, kan? Eh, jangan nangis, dong. Nanti aku dikira bully," aku mengejek sambil memukulnya lagi dengan lebih keras. Setiap pukulan membuat tubuhnya terpental dan memantul seperti bola voli.

Makhluk itu akhirnya bangkit kembali, matanya membara oleh kemarahan setelah berkali-kali menerima pukulan. Dengan gerakan yang tidak terduga, dia mengayunkan cakarnya tepat ke arahku. Aku terlambat menghindar, dan pukulan itu menghantam tubuhku dengan kekuatan penuh, membuatku terlempar jauh ke belakang hingga menabrak tembok batu dengan keras.

BRUK!

"Aduh, beneran kenceng, ya," aku bergumam sambil menggeliat dari tumpukan batu yang kini mengelilingiku. Debu berterbangan, dan beberapa potongan tembok masih runtuh di sekitar tubuhku yang setengah terkubur. Rasanya seperti digebuk tagihan kartu kredit pas akhir bulan. Tapi, tentu saja, aku hanya menyeringai lebar.

Aku bangkit, menepuk-nepuk debu di pakaian dan menatap makhluk itu dengan tatapan nakal. "Oh, jadi masih kuat, ya? Serius nih? Kukira kamu sudah KO tadi," ucapku sambil melompat-lompat kecil, menggerakkan bahuku yang kaku, siap melancarkan serangan terakhir. "Kalau begitu, ayo kita buat ini jadi tontonan yang benar-benar seru!"

Dalam sekejap, aku melesat ke arah makhluk itu dengan kecepatan yang lebih cepat dari sebelumnya. Menghindari cakarnya yang melesat ke arahku, aku sudah berada di sisi kirinya. Tanpa pikir panjang, aku melayangkan siku langsung ke arah dadanya dengan segenap tenaga.

BOOM!

Sikutku menghantam tubuhnya dengan kekuatan penuh, tepat di jantungnya. Ledakan besar terdengar, dan tubuh makhluk itu meledak seketika, seakan-akan dia terpecah berkeping-keping. Darah, daging, dan organ-organnya berceceran, beterbangan ke segala arah, menghiasi tembok-tembok di sekitar dengan nuansa merah gelap.

Aku berhenti, mengusap debu di wajah sambil tersenyum puas. "Nah, begini kan baru puas," gumamku santai, lalu mengibaskan tangan yang masih penuh bercak darah.

"Ada yang mau membereskan ini?" tanyaku, seolah-olah berbicara pada siapapun yang kebetulan memperhatikan. "Aku? Yaelah, masa iya sih aktor utama harus bersihin sendiri? Mana asyik."

Dengan langkah santai, aku berjalan menjauh, meninggalkan sisa-sisa pertarungan yang terlihat seperti adegan thriller paling berdarah di layar kaca.

Aku berjalan perlahan menghampiri Min-Jae, Dae-Su, dan Ji-Ah yang sudah duduk terengah-engah. Napas mereka tersengal, wajah penuh peluh, dan ekspresi capek di wajah mereka sudah lebih dari cukup menjelaskan betapa berat pertarungan ini buat mereka.

Aku melipat tangan di depan dada, menyunggingkan senyum jahil. “Wah, wah, udah pada lelah semua, ya? Kukira kalian mau tunjukin aksi keren... ternyata baru gini aja udah ngos-ngosan.”

Min-Jae melirikku tajam sambil mengusap darah di pipinya. "Kamu nggak ada capeknya, ya? Padahal kita bertarung sama monster itu bersama-sama."

Dae-Su yang terduduk dengan napas terengah-engah mengangkat tangan, menyalurkan energi untuk menyembuhkan luka di lengannya. "Lah, kamu sih yang datang-datang bikin monster itu jadi makin brutal. Kita ini kerja keras sampe nafas setengah nyangkut, dan kamu malah bersenang-senang kayak main bola voli."

Aku terkekeh sambil melayangkan tangan seolah menyuruh mereka tenang. “Yah, kan kalian bertiga yang kerja keras, jadi biar aku yang main-main sedikit. Masa kalian mau ambil semua kesenangan buat sendiri?”

Ji-Ah memelototiku dengan mata menyipit, jelas-jelas capek sekaligus jengkel. “Kesenangan? Itu lebih ke pembantaian satu sisi, tahu nggak?”

Aku hanya tertawa, semakin membuat mereka sebal. "Ayo, jangan kebanyakan ngeluh. Ingat, kan? Ini tugas buat para petarung profesional kayak kalian. Kalau nggak, gimana kalian mau dibayar mahal?"

Ji-Ah menghela napas, mengibaskan rambutnya yang berantakan. “Ya ampun, kau benar-benar membuatku bertanya-tanya kenapa kita biarkan kamu ikut.”

Aku mengangkat bahu. "Soalnya aku yang paling kuat di sini, mungkin? Lagipula, aku kan bikin kalian punya tontonan seru."

Aku menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara yang dingin dan penuh debu masuk ke paru-paru. Rasanya kayak bonus episode di anime yang budgetnya pas-pasan, cuma kali ini yang remuk bukan properti murahan tapi aku sendiri. Ah, untungnya aku masih hidup. Poin ekstra buat penulis yang ngasih aku regenerasi super.

Min-Jae, yang masih memelototiku, akhirnya bangkit berdiri dengan langkah berat.

"Jadi... apa rencanamu sekarang, Kim Tae-min?" dia bertanya, menahan suara yang entah kenapa terdengar seperti paman-paman di kantor yang habis dikejar deadline.

Aku memutar mata. "Rencanaku? Kayaknya... buat mengingatkan semua orang di sini bahwa aku karakter utama yang nggak akan mudah dibikin mati. Lagi pula, kan, kalau aku mati, kalian semua bakal kena efek samping novel di cancel, ya kan?”

Min-Jae menatapku dengan tatapan kosong. “Kau… nggak bisa serius walau sebentar, ya?”

Aku mendekat ke arahnya, menyeringai. “Serius itu overrated, Min-Jae. Yang penting, aku tetap hidup, dan penulis akan selalu bikin plot twist biar aku nggak bosan." Aku menepuk bahunya seperti guru bijak yang sedang memberi wejangan.

Ji-Ah menyela dengan suara ketus. "Plot twist? Jangan-jangan kamu sebenarnya sengaja buat kita yang susah payah lawan monster, terus kamu cuma datang buat terlihat keren di bagian akhir?"

Aku terkikik, lalu memberi mereka anggukan penuh penghargaan.

“Astaga, akhirnya ada yang ngerti juga!” Aku memasukkan tangan ke saku, memandang mereka dengan pandangan sok prihatin. “Aku kan harus menjaga citra protagonis yang penuh misteri. Kalau kalian tahu segalanya, nanti pembaca nggak bakal tertarik lagi. Drama, suspense, misteri harus seimbang!”

Dae-Su yang sedari tadi sibuk dengan lukanya kini mendesah keras. "Tolong, bisa nggak kamu berhenti bicara kayak lagi di reality show? Kita lagi di gate yang penuh monster, ingat?"

Aku nyengir, merasa lebih puas karena akhirnya bisa bikin mereka semua makin kesal.

"Oke, baiklah, serius sedikit. Kita harus segera cari tempat berlindung sebelum... Ah, benar juga. Sebelum penulis ini merasa aku terlalu santai dan menurunkan monster level atas lagi buat ganggu kita.”

Min-Jae melipat tangan di dada.

“Jadi, ini semua salah penulis-mu?”

Aku mengangkat bahu dan mengedikkan kepala.

“Ya. Pikirkanlah. Semua kejadian absurd ini... Pasti ada yang nge-set kita semua. Sudah jelas, kita diatur buat ngalamin satu cobaan berbahaya ke cobaan lain, tanpa kesempatan buat napas. Coba, ada yang tahu kenapa kita ini selalu berakhir di lokasi-lokasi aneh yang dipenuhi monster raksasa?”

Ji-Ah akhirnya tersenyum kecil, mungkin pertama kalinya aku melihat dia sedikit mengerti humorku atau setidaknya, pura-pura paham.

“Jadi, siapa yang akan jadi ‘penyokong’ kita berikutnya, menurutmu?”

Aku melebarkan senyum. “Entah, tapi aku harap bukan mantan monster itu. Mukanya bikin aku trauma secara visual.” Aku melirik ke tubuh monster yang sekarang sudah terkapar, bercampur daging dan darah yang mengering. “Tapi, hei, ini bukti kuat kalau nggak ada monster yang nggak bisa aku kalahkan.”

Tiba-tiba, terdengar suara gemuruh dari arah barat. Tanah di bawah kaki kami bergetar perlahan, dan pepohonan di sekitarnya mulai bergoyang hebat. Oh, serius? Aku belum selesai menikmati break time ku.

“Ah, lihat kan? Plot baru mulai,” aku mendesah, melambaikan tangan ke arah suara gemuruh itu. “Siapa yang mau taruhan kalau yang datang kali ini adalah sesuatu yang jauh lebih absurd dari sebelumnya?”

Dae-Su menatapku dengan ekspresi frustasi yang terpancar jelas.

“Apa nggak ada satu pun di dalam novel ini yang kamu anggap serius, Tae-min?”

Aku tertawa kecil, menepuk bahunya. “Dengar, Dae-Su. Kalau aku serius terus, aku nggak bakal ada sampai bab dua. Lagi pula, kalau hidup di novel ini nggak konyol, aku mungkin udah resign dari dunia fiksi ini dan jadi pegawai biasa lagi. Tapi, gimana ya, aku suka kerjaan sampingan ini. Dan, jujur, bayarannya nggak terlalu buruk.”

Ji-Ah menatap kami berdua dengan wajah putus asa. “Ya sudah, kalau mau kabur, ayo sekarang. Kalau tidak, kita akan dimakan monster baru lagi.”

Aku tertawa, lalu mulai berjalan mengikuti mereka. “Tenang aja, kalian. Aku di sini. Dengan buff main character, kita bakalan aman!”

1
RYN
MC tentu op, okelah sebenernya, tapi kenapa kudu di sembunyi? saran sih, alur ceritanya jadi misteri aja. Menceritakan MC mencari tahu asal kekuatan nya, op karena alasan yang jelas lebih di sukai pembaca.

dah gitu aja.
Hanya Seekor Lalat: diawala doang, itu bab 9 kedepan udah gak nyembunyiiin lagi cmiwww
total 1 replies
RYN
kayaknya udah pernah ngomong gitu? ngulang kah?
Hanya Seekor Lalat: cuma penjelasan aja
total 1 replies
RYN
gak habis pikir sih ni karakter udah 4D, tau aja dia di dalam novel/Facepalm/
アディ
ntah lah aku ngerasa kayak, terlalu ber tele tele
アディ: iya sih toh mcnya terlalu op
Hanya Seekor Lalat: maaf ya, itu buat kebutuhan cerita, kalo gebuk gebuk end, kayak kurang enak buat dibaca
total 2 replies
Roditya
komen ya Thor. kayak baca narasi. terus dia nyembunyikan kekuatannya ini nggak jelas gitu alurnya kalo cuma takut jadi bahan percobaan. ya kan dia sudah paling kuat, kenapa takut.

kecuali.

dia punya musuh tersembunyi. demi nemuin musuhnya ini dia tetep low profile gitu. atau di atas kekuatan dia masih ada lagi yang lebih kuat yang membuat dunianya berubah makannya untuk nemuin harus tetep low profile dan itu di jelasin di bab awal. jadi ada nilai jualnya.
Hanya Seekor Lalat: siap, itu cuma di awal cerita aja dari mulai bab 6 kalo gak salah udah gak ada
Fendi Kurnia Anggara: thor cuman saran, kata author nya di hilangin aja biar lebih enak baca nga
total 9 replies
Leviathan
yu bruh, 3 like mendarat untuk mu, jgn lupa mampir juga di chat story ane dan tinggalkan like
Teh Oolong
colossal titan malah jadi shaitan
Andri Suwanto
kntl kata² setiap bab pasti di sebut 10 kali author apa coba kaga jelas
Raja Semut
malas dah
Hanya Seekor Lalat: malas kenapa?
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!