Terlahir dari orang tua yang membenci dirinya sejak kecil, Embun Sanubari tumbuh menjadi laki-laki yang pendiam. Di balik sifat lembut dan wajah tampannya, tersimpan begitu banyak rasa sakit di hatinya.
Ia tak pernah bisa mengambil pilihannya sendiri sepanjang hidup lantaran belenggu sang ayah. Hingga saat ia memasuki usia dewasa, sang ayah menjodohkannya dengan gadis yang tak pernah ia temui sebelumnya.
Ia tak akan pernah menyangka bahwa Rembulan Saraswati Sanasesa, istrinya yang angkuh dan misterius itu akan memberikan begitu banyak kejutan di sepanjang hidupnya. Embun Sanubari yang sebelumnya menjalani hidup layaknya boneka, mulai merasakan gelenyar perasaan aneh yang dinamakan cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dzataasabrn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Runtuh
Aku menelusuri semua tempat untuk bisa menemukan Sandika. Kantornya, rumahnya, semuanya sudah kudatangi seharian ini, tetapi aku sama sekali tidak bisa menemuinya. Ia memiliki banyak kantor dan juga rumah di seluruh negeri, karyawannya mengatakan bahwa Sandika bisa berada di mana saja saat ini dan tak ada yang bisa mengetahuinya secara pasti selain sekertaris pribadinya. Meski begitu, aku tak kunjung bisa menghubungi sekretarisnya itu sejak pagi. Nomor ponselnya terus sibuk sejak lima jam lalu sehingga aku memutuskan untuk berhenti menghubunginya.
Kali ini kami sedang menuju rumah terakhir. Rumah itu adalah tempat Sanu tinggal sejak ia kecil sampai SMA, sebelum ia akhirnya pindah ke apartemennya di ibukota. Aku mengatupkan kedua tanganku rapat-rapat, berdoa agar setidaknya kali ini aku bisa mendapatkan informasi terkait keberadaannya.
Usai melalui perjalanan yang cukup panjang dengan menggunakan pesawat dan kemudian melanjutkannya lagi dengan menaiki sebuah mobil, kami akhirnya tiba di sebuah pintu masuk perumahan. Perumahan itu tidak sebesar yang kubayangkan. Hanya ada beberapa rumah besar, tetapi rumah besar pada umumnya. Sama sekali tidak mencerminkan sebuah kompleks yang akan ditinggali oleh seorang milyarder sekelas Sandika Adyatama.
Apa selama ini Sanu tinggal dan tumbuh besar di kompleks yang terbilang cukup biasa ini? Apa selama ini ia tidak terlalu bermewah-mewah sebagaimana anak-anak pebisnis lain yang selama ini kukenal?
Aku menghela napas panjang dan menatap keluar jendela mobil, memperhatikan rumah-rumah di sepanjang kompleks yang memang terlihat besar dan mewah tetapi dalam ambang normal. Tidak seperti rumahku yang seperti istana kepresidenan. Yah, walaupun aku selama ini terkurung di kamar lusuh dan mengerikan yang tidak lebih baik dari sebuah gudang, tetapi ayahku adalah tipe orang yang ingin terlihat berpengaruh dan disegani di hadapan orang lain sehingga membeli rumah seharga ratusan milyar yang muat ditinggali oleh ratusan pelayan.
"Sebenarnya, apa yang Nona cari? Sejak tadi kita terus berkeliling untuk menemui Bapak Sandika. Apakah ada sesuatu yang ingin Nona ketahui darinya?" Aku terkesiap saat mendengar suara sopirku.
Memang benar sejak tadi ia terus mengawal dan mengantarku kemanapun. Ia bahkan turut ikut menaiki pesawat untuk ke kota ini meski sudah kularang. Ia seperti tak ingin membiarkan aku sendirian dan terus memaksa untuk menemaniku kemanapun aku pergi.
"Iya Pak. Saya sedang berusaha mencari Sanu. Sudah hampir satu bulan dia tidak kembali ke apartemen. Saya ingin mengetahui keberadaannya," aku berkata lirih sembari menatap tepat ke kedua mata Pak Ruli melalui pantulan kaca yang ada di atas kepalanya itu.
Ia terlihat ingin mengatakan sesuatu, namun ia kembali menutup mulutnya dan hanya mengangguk pelan, "Baiklah Nona."
Aku turut mengangguk dan kembali membuang pandangan ke luar jendela. Semoga kali ini aku bisa mendapatkan informasi tentangmu, Sanu.
Kami berhenti di depan sebuah rumah besar bercat putih yang di depannya tertutup sebuah gerbang besar berwarna cokelat muda.
Aku mengatakan kepada Pak Ruli sopir pribadiku untuk menunggu selagi aku keluar dan memencet bel rumah. Tak begitu lama, seorang wanita paruh baya dengan pakaian selutut berwarna hitam serta renda-renda putih di sekitar lehernya terlihat keluar dari pintu kecil di ujung gerbang dan menanyakan keperluanku.
"Sebelumnya perkenalkan, saya Rembulan Saraswati, istri Sanu. Saya kesini untuk mencari Sanu atau Bapak Sandika." ujarku pelan.
Wanita paruh baya itu nampak terkejut bukan main. Ia menutup mulutnya dengan kedua tangan selama beberapa detik dan menatapku dari ujung kaki hingga ujung kepala sebelum mempersilahkan aku untuk masuk dan membukakan gerbang rumah itu.
Aku memasuki rumah itu, di terasnya terdapat sebuah taman kecil yang ditumbuhi oleh tanaman-tanaman berwarna hijau. Terasnya pun tidak terlalu besar lantaran tergusur oleh lahan parkir yang amat luas. Sesaat sebelum aku masuk ke dalam rumah, mataku melihat seorang gadis dari rumah sebelah yang tengah menatapku dari lantai dua kamarnya.
Wajahnya cukup cantik, ia terlihat seperti seorang gadis timur tengah dengan mata lebar dan hidung mancung. Perutnya terlihat sedikit berisi dan kantung matanya hitam sekali, seolah ia baru saja menangis selama sebulan penuh setiap harinya. Ia menelisikku sama seperti yang dilakukan oleh pelayan tadi. Melihatku dari ujung kaki hingga ujung kepala. Saat mata kamu bertemu, aku memberikan tatapan tajam yang cukup mengintimidasi ke arahnya. Entah kenapa aku merasa kesal melihat orang asik menatapku dengan penuh selidik seperti itu. Ia lantas membuang muka dengan sudut bibir gemetar. Aku tersenyum sekilas sebelum meluncur masuk ke dalam pintu rumah tersebut.
Sesaat setelah aku memasuki rumah, suasananya benar-benar sepi layaknya tak ada kehidupan di sini. Ada beberapa ventilasi cahaya yang membuat di dalam terlihat cukup terang. Ruang tamunya cukup besar dengan sofa-sofa mewah yang aku yakin berharga ratusan juta.
Di tembok ruang tamu, terpajang foto Sandika seorang diri dengan jas berwarna hitam dan dasi berwarna biru. Itu tampaknya foto saat ia masih muda. Sungguh gagah dan rupawan. Tetapi aku sama sekali tidak melihat kemiripan antara ia dan Sanu. Barangkali Sanu lebih mirip ibunya yang sudah pasti aku yakin sangatlah cantik.
"Nona, Bapak Sandika ada di lantai dua. Beliau sudah menunggu Anda." wanita paruh baya itu berujar lirih usai menyampaikan kehadiranku kepada Sandika.
Rupanya benar ia ada di sini.
Aku mengangguk pelan dan mengulas senyum tipis, lantas berjalan ke arah tangga dan naik ke lantai dua. Sepanjang ruangan yang aku datangi, tak ada satupun foto Sanu yang aku temui, ataupun foto keluarga lainnya. Benar-benar hanya satu biji foto besar milik Sandika yang terpajang di ruang tamu.
Usai tiba di lantai dua, terdapat beberapa pintu di sana. Bibi tadi sempat mengatakan untuk masuk ke pintu bercat putih, itu adalah ruang kerja Sandika.
Aku melangkah mantap dan membuka pintu berwarna putih itu dengan pelan. Usai aku berhasil membukanya, nampak sosok Sandika Adyatama yang sedang berdiri di sebelah meja kerjanya seraya bersandar di meja itu. Kedua tangannya sibuk membalik-balikkan dokumen kertas berisikan angka-angka dan tulisan-tulisan kecilmu Kacamata yang dikenakannya melorot hingga ke hidung, membuatnya terlihat nyaris mirip ayahku saat bekerja. Hanya saja bedanya ayahku tidak segagah dan sekeren dia.
"Oh, Saras. Aku terkejut saat pelayanku mengatakan bahwa kau ada di sini. Apa yang begitu penting hingga membuatmu datang kemari?" Ia mendongak menatapku, senyum tipis merekah di bibirnya. Ia meletakkan dokumennya ke meja dan berjalan ke arahku.
Aku membalas senyumnya dengan ragu, "Sebetulnya saya ingin menanyakan keberadaan Sanu. Apakah anda tahu di mana dia berada?"
Mendengar aku menyebut nama Sanu, ekspresi ramah Sandika mendadak berubah. Wajahnya menjadi muram dan terlihat kesal. Rahangnya mengeras sedetik setelah ia melepaskan kacamatanya dan meletakkannya dengan kasar di atas meja.
"Masalah apa lagi yang dia perbuat?" Sandika berujar masam. Nada suaranya benar-benar dingin. Jauh berbeda dari kalimat yang ia ucapkan sebelumnya.
"Ia tidak membuat masalah apapun, sungguh. Hanya saja.... Ia tidak kembali ke apartemen kami selama hampir satu bulan," Sandika terlihat menunduk, mengambil secangkir kopi di mejanya dan menyesapnya dengan santai.
Aku baru saja mengatakan bahwa anaknya tidak pulang selama hampir satu bulan! Tidakkah ia merasa khawatir?
"Lalu, apa yang membuatmu berpikir aku tahu dimana keberadaannya?" Sandika mendongak, menatap tepat di kedua mataku dengan tatapan dingin yang amat sangat datar. Sungguh pria tua yang dingin!
"Tentu saja, anda ayahnya. Kupikir anda mungkin tahu sesuatu," aku berujar lirih. Suaraku terdengar bergetar saat ini. Aku merasa terintimidasi oleh mertuaku sendiri.
"Tidak. Aku tidak tahu dan aku tidak peduli. Dia hilang atau mati, tidak ada kaitannya denganku," Sandika berujar pelan namun memberikan penekanan pada tiap kalimatnya.
Aku terperanjat mendengar ucapannya. Bagaimana bisa Sanu memiliki ayah seperti ini? Ia bahkan lebih buruk dari yang kubayangkan. Air mataku rasanya ingin segera meluncur, tetapi aku berusaha menahannya mati-matian dan mencoba terlihat angkuh.
"Jika anda tidak peduli, biarkan saya bertemu dengan istri anda. Mungkin ibu mertua saya lebih manusiawi dari anda," ujarku dengan nada yang sama dinginnya. Entah darimana kalimat itu berasal, yang pasti aku berhasil meluncurkannya dengan mulus dari bibirku.
Sandika mendongak menatapku, matanya terlihat melotot, ia nampak marah.
"Istriku sudah mati! Dan anak biadab itu penyebabnya! Jika hanya itu yang ingin kau tanyakan, maka sebaiknya kau pergi. Tidak ada tempat untuk anak biadab itu di sini! Akan lebih baik jika dia benar-benar hilang atau mati!"
Sandika membentakku dengan kencang. Membuat air mataku tak dapat kubendung lagi. Aku berjalan cepat meninggalkan ruangan itu seraya mengusap air mataku.
Betapa malangnya suamiku. Betapa malangnya Sanu. Ternyata selama ini hiupnya tak pernah lebih baik dariku. Bahkan mungkin lebih buruk dari apa yang kualami. Ayahnya tak mengharapkan keberadaannya, dan bahkan mengharapkannya untuk mati. Bukan aku yang dibenci, tetapi aku merasakan sakit yang teramat sangat di hatiku. Selama ini ia harus hidup sembari menanggung beban sebagai penyebab kematian ibunya. Ayahnya sendiri membencinya dan tidak sudi dengannya.
Dan setelah semua itu, aku juga ikut bersikap jahat padanya. Aku ikut bersikap dingin padanya dan tidak pernah sekalipun berterima kasih atas kebaikannya padaku. Aku telah menyakitinya selama ini.
Aku terisak hebat. Rasanya tembok itu mulai runtuh. Tembok yang kubangun sedemikian tinggi agar aku tidak peduli dan tidak menyayangi suamiku sendiri kini telah runtuh.
Aku ingin ada untuknya sebagaimana ia selalu ada untukku. Aku ingin bersikap baik padanya sebagaimana ia selalu baik padaku. Bahkan jika tak ada satupun orang yang mengharapkan kami di dunia ini, aku ingin kita berdua saling mengharapkan.
Suara sepatuku bergemeletak dan bergema di seluruh rumah yang amat sepi ini. Aku berjalan cepat menuju mobil dan mengajak sopirku untuk segera pergi. Air mata masih mengalir deras di mataku saat aku masuk dan membanting diri di mobil.
Sopirku yang nampak kebingungan itupun tak banyak bertanya dan segera memacu mobil kami untuk pergi dari rumah itu.
Aku terisak, tubuhku berguncang hebat. Sungguh sangat jahat aku ini. Di tengah isakanku, Pak Ruli menghentikan mobil kami. Ia menyodorkan sekotak tisu kepadaku. Aku meraih tisu itu dari tangannya dan membantingnya di kursi belakang mobil. Menariknya dengan kuat untuk menghapus air mataku serta ingus yang turut menetes.
"Sebenarnya, beberapa waktu lalu Mas Radit meminta saya untuk mengantarkan beberapa barang-barang Mas Sanu ke salah satu rumah sakit di ibukota. Saya tidak tahu untuk apa, yang jelas Mas Radit menyuruh saya tutup mulut dan tidak mengatakan apapun kepada Nona. Tetapi saya tidak tega melihat Nona seperti ini. Jadi, kemungkinan Mas Sanu saat ini ada di rumah sakit itu." Pak Ruli berkata pelan, suaranya bergetar dan intonasinya sangat kecil.
Aku membelalak, mataku yang masih berkaca-kaca dengan genangan air mata bergerak tak karuan.
Rumah sakit?