Dirga sangat mencintai Maya. Ia tidak ingin bercerai meski Maya menginginkannya. Ia selalu memaklumi Maya yang bertingkah seenaknya sejak Dirga kehilangan pekerjaan dan membuat keluarga mereka terpuruk.
Tapi suara desahan Maya di ponsel saat ia menghubunginya merubah segalanya.
Apa mereka akan tetap bercerai atau -lagi lagi- Dirga memaafkan Maya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Herliana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Dedi tersenyum senang melihat reaksi Dirga. Ia tidak mengetahui kebenarannya, kenapa Dirga akhirnya mau menurutinya untuk bercerai dengan Maya?
"Kita kemana dulu, Pak?" Dedi semakin melebarkan senyumnya.
"Kita ke Lestari. Ibu sama anak - anak udah nunggu di sana."
"Anak - anak?"
"Ya. Ibu yang jemput ke sekolah. Minta ijin pulang sebelum waktunya." Dirga tertawa.
"Udah di rencanain dengan terstruktur ya, Pak?" Dedi mengacungkan jempolnya.
Mobil berbelok ke kanan, menderu membelah jalan, menuju Rumah Makan langganan mereka, RM Lestari.
Maya masih berdiri di tempat mobil Dirga meninggalkannya. Ia terpaku seperti orang bingung. Ponselnya berdering tapi ia tak menyadarinya.
"Bu, ponselnya bunyi terus, tuh." tegur ibu - ibu yang baru turun dari mobilnya.
"Oh," Maya tersadar dan segera meraih ponselnya.
"Gerry." kabut di wajah Maya bergeser, terganti oleh senyuman yang langsung terbit di bibirnya.
"Hallo?" sapanya singkat tapi begitu manis terdengar di telinga Gerry.
"Bagaimana, Sayang?" bukannya menjawab, Maya langsung bertanya,
"Kamu di mana, Ger?"
"Jawab dulu, dong. Bagaimana, Sayang? Apa udah Kamu lepasin manusia nggak berguna itu?"
Maya berkeras, alih - alih menjawab, ia mengulangi pertanyaannya.
"Kamu di mana, Gerry?" Gerry tertawa. Ia menyadari sikap keras kepala Maya.
"Masih di kantor, dong. Kenapa?"
"Jemput Aku. Sekarang!" Gerry merasa tenggorokannya langsung kering.
"Nggak bisa, Sayang. Siang ini Aku ada meeting." keluhnya, berharap Maya mau mengerti.
Tapi bukan Maya kalau ia tidak memaksa.
"Hari ini Aku mau pindah. Aku mau Kamu bantuin Aku." Gerry menggaruk kepalanya. Bagaimana cara menjelaskan pada Maya kalau meeting siang ini tidak bisa ditunda lagi?
"May, Sayangku." suara Gerry terdengar merayu.
"Meeting ini sangat penting, Sayang. Sepuluh menit lagi Aku akan berangkat."
"Terus ngapain tadi Kamu telpon Aku?" teriak Maya marah.
"Aku kan mau tahu.."
"Simpan aja dulu rasa ingin taumu itu!" potong Maya gemas.
"May, Sayang.." Gerry kebingungan. Ia tidak tahu lagi apa yang harus ia katakan.
Maya menghela nafas. Kesadarannya kembali dengan sendirinya. Ia sudah kehilangan Dirga, ia juga tidak mau kehilangan Gerry.
"Baiklah. Sepuluh menit lagi, kan? Ya udah. Berangkat sana." ucap Maya melunak.
"Tapi, May.."
"Aku nggak papa. Hubungi Aku lagi kalau Kamu udah senggang, ya?" Maya benar - benar sudah tidak marah. Gerry menghela nafas lega.
"Ok. Aku berangkat dulu, ya?"
"Ya."
"May?"
"Apalagi?"
"Bilang Sayang, dong?" kembali Maya menghela nafas. Gerry ini seringkali terdengar kekanakkan. Mungkin karena usianya yang jauh lebih muda.
Maya menempelkan bibirnya di ponselnya karena ia tidak mau orang di luaran sana mendengarnya. Itupun dengan berbisik,
"Bye - bye, Sayaang..!"
"Gitu, dong." terdengar tawa renyah Gerrry. Ia lalu memutusan panggilannya.
Maya berpikir. Apa yang sebaiknya ia lakukan sekarang. Ia sudah mendapat rumah kontrakan tidak jauh dari rumahnya, rumah Dirga, tepatnya.
Maya tidak mau meninggalkan pelanggannya, juga tidak mau terlalu jauh dari anak - anaknya.
"Sebaiknya Aku bilang pada Dirga kalau Aku baru bisa pindah minggu depan." dengan ponsel yang masih dalam genggamannya Maya merangkai kata demi kata untuk dikirimkan pada Dirga.
Tittit tittit!
Dirga melihat layar ponselnya yang ia letakkan di meja.
"Siapa?" tanya Juwita karena Dirga tidak segera mengangkatnya.
Rania ikut menatap papanya.
"Mama, ya?" tebaknya langsung. Tepat mengenai sasaran.
Dirga mengangguk dan menoleh pada Raka untuk melihat reaksinya.
****************
Dan benar saja.
"Mama mau apa, Pa?" tanya Raka mendengar Rania menyebut kata mama.
Dirga menggelang - geleng.
"Kan belum Papa baca." elaknya. Ia bersikap tidak peduli. Mulutnya terus mengunyah, berharap Raka dan Rania tidak bertanya lagi. Tapi tidak,
"Baca dong, Pa. Barangkali urgent." ucapan polos Raka membuat mereka tertawa.
"Apa itu urgent?" ledek Dedi, sang Eyang. Darimana Raka mengenal kata itu? Apa ia mengerti?
"Urgent itu.. Bahaya, kan? Betul, Eyang?"
Mereka kembali tertawa. Ternyata Raka memang tidak mengerti.
"Siapa yang bilang begitu?" tanya Juwita lembut.
"Mama. Kalau Mama bilang urgent, Papa selalu panik. Berarti kan bahaya."
Dirga berusaha menenangkan dirinya dengan meminum jus jeruk pesanannya.
Urgent kata Maya adalah peringatan untuk Dirga. Ia harus dapat mencari uang meski dengan cara meminjam untuk memenuhi permintaan Maya yang menurutnya urgent.
"Kok nggak dibaca, Pa?" ulang Raka. Alisnya terangkat. Sepertinya ia ingin mengetahui tulisan Mamanya. Selama ini Maya tidak pernah menemui mereka. Apa sekarang ia menanyakannya pada sang Papa?
Dirga mengangkat kedua tangannya yang kotor karena ayam bekakak dan sambal.
"Papa kan lagi makan. Nanti aja kalau selesai makan." jelasnya.
Dirga merasa lega melihat Raka mengangguk dan meneruskan makannya. Untuk sementara ia dapat menghindari percakapan mengenai Maya.
Juwita dan Dedi kini menatapnya dengan iba. Begitu tertekankah Dirga selama ini?
Saat mereka menikmati kebersamaannya, Maya tetap berdiri di sana, di bawah matahari yang mulai terik memancarkan sinarnya.
Tidak ada dua centang biru. Itu membuat Maya kembali kesal.
"Apa capeknya sih, membaca pesanku? Emang dasarnya Kamu itu nyebelin banget, Dirga!" omelnya sebal. Sudah hampir 1 jam ia berdiri di sini setelah Dirga menyuruhnya minggir.
Panas matahari mulai terasa membakar kulitnya.
"Bu, ojek?" teguran tukang ojek semakin membuatnya panas.
"Apa Aku keliatan suka naik ojek?!" sentaknya galak. Membuat tukang ojek itu menyesal sudah bertanya. Ia seakan melihat ada asap mengebul keluar dari telinga Maya. Hiiy!
"Saya kan cuma nawarin, Bu? Ibu abis makan naga? Tuh, mulutnya sampai keluar api!" balas tukang ojek itu sambil berlalu dengan deruman keras.
"Sialan!" sungut Maya. Ia lalu berjalan ke depan jalan. Menunggu taxi.
Tukang ojek yang kembali ke pangkalannya ditertawakan oleh teman - temannya yang lain.
"Kenapa, Ki? Didamprat, ya?" tempat Maya berdiri dan pangkalan ojek hanya berseberangan jalan.
Jaki melihat Maya berdiri cukup lama di sana hingga ia tergerak untuk menghampiri sekaligus menawarkan jasa.
"Emang samberan geledek! Galak banget tuh, Ibu - ibu! Belagu!" semburnya kesal.
"Kalau Dia mau naik ojek pasti Dia ngeliatin kemari. Seenggaknya melambai - lambai." tegur temannya.
"Liat aja tampilannya. Mana mau orang kayak gitu naik ojek?" sambungnya lagi.
Jaki mengangguk.
"Emang itu yang Dia bilang. Apa Aku suka keliatan naik ojek?" Jaki meniru gaya Maya berbicara ditambahi dengan menjebikkan bibirnya.
"Emang apes! Dari pagi belum dapat tumpangan, malah kena damprat orang. Aku doain Ibu - ibu itu biar bercerai dari suaminya!" rutuk Jaki asal.
"Lah, kok begitu nyumpahinnya?" tawa teman - temannya yang lain.
"Kali aja Dia emang abis bercerai dari suaminya, makanya sensi gitu!" sergah Gugun, teman seperjuangannya itu.
"Iya kali, ya?" Jaki mengangkat topinya. Disisirinya rambut dengan tangannya lalu topi kembali ia kenakan.
"Ada lagi, tuh!" Jaki bergegas naik ke atas motornya.
"Helm, Ki! Helm!" tegur yang lain.
"Nanti aja pakainya kalau udah beneran jadi." katanya sambil melajukan motornya.
"Jadi apanya?!" teriak Gugun.
"Jadi penumpang, lah!" Jaki balas berteriak. Ia begitu bersemangat menjemput rezeki.
********************