Author menulis cerita ini karena terinspirasi dari sebuah lagu, tentang seseorang yang selalu menunggu cintanya, dan akhirnya bersama.
Pernahkah kalian merasakan dejavu? Perasaan aneh seakan mengalami kejadian yang sama, yang pernah kita alami di masa lalu.
Gita mengalami dejavu, mimpi buruknya yang terus berulang...
"Duarrr..."
Kali ini kulihat mobil hitam yang sama di mimpiku menabrak sisi Nino. Refleks Nino sama seperti di mimpiku, ia refleks memelukku untuk memberikan semacam perlindungan kepadaku.
Sebelum memejamkan mata, aku berdoa kepada Tuhan,
"Tuhan tolong aku berikan aku kesempatan lagi...".
Full of love,
from author 🤎
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mom fien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Roda kehidupan
Kehamilan anak pertamaku, kurang lebih 6 bulan setelah perjalanan kami ke Maldives. Saat ini usia kandunganku sudah mencapai usia 20 minggu. Aku dan Nino sedang memeriksakan kesehatan ke dokter kandungan.
"Git menurut kamu, nanti dokter akan mengatakan anak kita berjenis kelamin apa ya Git?".
"Entahlah No".
"Aku pengennya sih laki-laki Git, tapi apapun nanti yang penting adalah dia sehat Git".
Ternyata harapan Nino terkabul, dokter mengatakan jenis kelamin anak kami adalah laki-laki. Sesuai dengan keinginan Nino dulu, kami menempatkan kamar anak persis disamping kamar kami. Setelah mengetahui jenis kelamin anak kami, aku dan Nino mendekorasi kamar dengan nuansa warna biru dengan kertas dinding bertema luar angkasa.
Raditya, itulah nama yang diberikan Nino pada anak kami. Ia terlahir sempurna dan sehat, pada akhir Maret.
6 Bulan kemudian pada pertengahan September, Marlo melamar kekasihnya yang dulu kami temui pada acara wisuda Marlo di Bandung. Pernikahan Marlo akan diadakan pada awal Juni tahun depan di Bandung.
Disaat hidupku terasa sempurna, cobaan datang lagi menghampiri keluargaku.
"Pak Nino...bu Gita...", mba rumah mengetuk kamar kami.
Aku terbangun karena ketukan itu, dan melihat Nino masih tertidur lelap. Aku melihat jam dinding baru menunjukkan pukul 4 pagi.
"Ada apa mba?", tanyaku setelah membuka pintu kamar.
"Ibu mengeluh dadanya sakit", jawab mbaku dengan muka panik.
Aku berlari turun ke kamar mama. Mama tidak banyak bisa berkata kata, hanya mengeluh sakit di dada. Aku langsung berkata pada mama,
"Ma, kita ke rumah sakit sekarang ya".
"Mba ikut aku ke rumah sakit, tolong mba bantu mama siap siap ya".
Lalu aku segera berlari membangunkan Nino.
"No bangun No...", kataku sambil mengguncangkan badan Nino.
"Kenapa Git?", tanya Nino.
"Mama mengeluh sakit di dada, aku mau membawa mama ke rumah sakit, kamu jaga Radit ya".
"Hah...bentar Git, aku aja yg nyetir jangan kamu, Radit bisa dijaga mba, nanti aku minta mama datang bantu mba jaga Radit".
Aku mengangguk lalu mengganti bajuku dan turun ke kamar mama lagi, sementara Nino masih mengganti bajunya dan mencuci muka agar tidak mengantuk lagi.
"Ma, mama masih bisa jalan?".
"Bisa", jawab mamaku pelan.
Nino dan aku membantu mama untuk naik ke mobil, aku duduk di kursi belakang menemani mama, dan Nino segera membawa kami ke rumah sakit terdekat.
Sesampainya di UGD, dokter mengatakan mama harus segera mendapatkan penanganan khusus karena terkena serangan jantung. Ia segera menghubungi dokter jantung untuk segera menangani mama. Tidak lama dokter jantung datang dan memeriksa mama, beliau mengatakan bahwa mama harus segera dioperasi untuk pemasangan ring karena pembuluh darahnya sudah tersumbat 90%. Aku langsung merasa lemas mendengar kabar itu. Nino mengambil alih pembicaraan dengan dokter dan segera menandatangani dokumen-dokumen yang dibutuhkan untuk tindakan operasi. Aku menunggu di ruang tunggu depan operasi, sambil berdoa memohon agar mama baik-baik saja. Papa Nino dan Marlo datang memberi dukungan untukku, mereka menungguku bersama Nino di depan ruang operasi. Sedangkan mama Nino berada dirumah menjaga anak kami.
Setelah beberapa saat menunggu, dokter keluar dari ruang operasi, aku dan Nino segera bangkit berdiri menghampiri dokter.
"Bagaimana keadaan mama saya dok?", tanyaku cemas.
"Jangan khawatir, operasinya berjalan dengan baik. Untuk sementara saya akan menempatkannya di ruang ICU untuk penanganan yang lebih intensif, setelah keadaan stabil baru kami akan memindahkannya ke ruang perawatan".
"Baik dok terima kasih".
"Nanti anda bisa menjenguk ibu anda setelah beliau siuman, cuma kunjungan hanya boleh maximal 2 orang saja ya".
"Baik dok", ucapku dan Nino secara bersamaan.
Mama dirawat diruang ICU selama 2 hari, kemudian dipindahkan ke ruang perawatan. Selama mama di rumah sakit mama Nino sangat membantuku, beliau akan menjaga Radit dari pagi hingga siang sore. Kemudian saat aku pulang dari rumah sakit sore hari, beliau baru akan menjenguk mama sebentar sebelum kembali ke rumah. Setelah 3 hari diruang perawatan aku membawa kabar baik untuk mama.
"Ma, kata dokter mungkin besok mama sudah bisa pulang ke rumah".
"Syukurlah Git, mama sudah kangen sama Radit".
"Nanti kalau pulang juga tetap jaga makan ya ma, biar sehat terus ma, panjang umur".
"Mama sudah siap kok Git, jika Tuhan memanggil mama".
"Ihhh mama jangan ngomong gitu donk ma", ucapku sedih.
"Gita, disaat mama melihatmu menggunakan gaun pernikahan, mama sudah merasa tugas mama sudah selesai, karena mama tau Nino sangat mencintaimu. Kini melihatmu bahagia bersama Nino dan Radit, sudah tidak ada lagi yang mama inginkan, semuanya sudah Tuhan penuhi Git".
"Mama...tapi mama tetap harus sehat ma, harus panjang umur", kataku sambil berlinang air mata.
Mama kemudian mengulurkan tangannya untuk meraih tanganku, kemudian setelah kami berpegangan tangan, mama hanya mengangguk sambil tersenyum, dengan kondisi mata kami yang sama sama berlinang air mata.
Sesuai dengan rencana, pada awal Juni di tahun berikutnya, Marlo melangsungkan pernikahannya. Dengan tema pesta kebun, pesta diadakan di tempat terbuka dengan hiasan alami berupa taman bunga, pohon pohon yang mengelilingi tempat acara dan permainan lampu, semuanya tampak indah. Kami bersenang-senang di pesta itu. Mama juga turut berbahagia untuk Marlo, segalanya berjalan lancar. Namun sangat disayangkan pesta itu adalah pesta terakhir untuk mama. Sejak saat itu kesehatan mama semakin menurun.
Sekitar 3 bulan kemudian mama menghembuskan nafas terakhirnya. Di hari-hari terakhir mama, kami keluarga sempat berkumpul bersama dan mengucapkan salam perpisahan. Ya mungkin mama telah memiliki firasat, kali ini, sudah waktunya ia kembali ke hadapan Tuhan. Aku berusaha memenuhi segala keinginan mama di hari-hari terakhirnya, namun sebagai anak rasa penyesalan itu selalu ada. Aku tau aku harus tetap bahagia demi mama, demi anakku, Nino dan orang-orang yang menyayangiku, tetapi aku tetap sangat menyesal kenapa aku tidak berusaha lebih untuk menyembuhkan mama. Aku berpikir mungkin jika aku memindahkannya ke rumah sakit yang lebih baik mama bisa sembuh, mungkin jika aku lebih ketat menjaga makanannya mama akan tetap baik-baik saja, mungkin sebaiknya aku lebih memberikan waktuku untuk mama selama 3 bulan ini, terlalu banyak seandainya dalam pikiranku. Nino berkata padaku,
"Sudah waktunya mama pergi Git, ini bukan salahmu".
"Ya aku tau itu, tapi andai aku lebih baik No".
Di hari kepergian mama, rasanya separuh jiwaku ikut pergi bersama mama. Tapi aku tau aku harus melanjutkan hidup, dengan penuh kebahagiaan, mama pasti tidak ingin aku menangis terus, aku tidak mau mama mengkhawatirkanku. Meski kami sudah tidak bersama lagi, aku ingin mama tetap tersenyum saat melihatku, jadi aku juga harus tetap tersenyum.
2 Tahun kemudian aku hamil anak keduaku. Ruby, yang berarti batu mulia berwarna merah. Nino menginginkan huruf depan yang sama untuk anak kami, jadi kami memilih nama Ruby untuk anak perempuan kami.
Sama seperti Raditya, proses kehamilan dan melahirkan Ruby juga lancar. Ruby terlahir sempurna dengan proses melahirkan secara normal.
Saat aku menggendong Ruby untuk pertama kali, yang terlintas dalam pikiranku adalah mama. Apa mama melihatku dari sana? Sayang sekali Ruby tidak akan mengenal sosok mama, bahkan Radit juga mungkin akan melupakan mama, karena ia masih terlalu kecil untuk mengingat mama. Sampai detik ini, aku merasa kekosongan itu masih ada, meski sudah berlalu lama, tapi rasanya masih baru terjadi. Aku masih tetap menahan tangisku tiap kali aku mengingat dan menyebut nama mama dalam hatiku.
Tidak terasa Radit sudah memasuki usia sekolah. Di hari pertama Radit sekolah aku menunggunya di parkiran. Selama aku menunggu Radit, aku berpikir bagaimana waktu bisa berlalu begitu cepat. Mulai dari aku memilih mengikuti pilihan mama untuk bersama Nino, hingga kini anak pertama kami sedang duduk di bangku sekolah dengan linangan air mata saat aku melepaskan pegangan tangannya dan menyerahkannya ke guru kelas tadi pagi. Aku tersenyum memikirkan kembali semua kenangan itu.
"Ma, apa mama hari ini melihat Radit juga? Lucu ya ma Radit, apa aku seperti Radit saat pertama kali masuk sekolah ma?".
Ya kehidupan akan terus berputar bagaikan roda, hari ini aku mengantarkan Radit di hari pertama sekolah, dan tidak terasa mungkin aku akan berada dalam kenangan yang sama saat mengantarkan Ruby pertama kali sekolah nanti. Mungkin juga suatu saat nanti akulah yang akan seperti mama, membantu Radit dan Ruby menemukan cinta mereka. Aku tau jalanku masih panjang ke depan, tidak tau akan ada kerikil dan jalan yang berliku seperti apa di depan nanti. Satu yang pasti adalah aku akan tetap bertahan, berjuang menghadapinya sebaik mungkin. Dengan adanya kenangan tentang masa lalu, disaat aku sedih aku akan mengingatnya untuk membangkitkan semangat berjuangku, disaat aku sedang senang atau terharu, aku juga akan mengingatnya sambil terseyum, seperti yang aku lakukan saat ini.
...----------------...
Semoga kita tetap kita.
Hingga tua.
Hingga usia tak lagi melanjutkan hitungannya.
Terima kasih sudah membuatku bahagia,
terima kasih sudah mengajariku bertahan,
terima kasih sudah membuatku yakin.
-@kopioppi