NovelToon NovelToon
Sisi Gelap Sebuah Klinik

Sisi Gelap Sebuah Klinik

Status: sedang berlangsung
Genre:Rumahhantu / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: LiliPuy

Doni, seorang anak yang menitipkan hidupnya di sebuah klinik, namun ternyata klinik tersebut menyimpan sejuta rahasia penting, terutama untuk hidupnya

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LiliPuy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

tekad dr.smith

Di sebuah ruangan dengan dinding yang dicat dalam nuansa pastel dan aroma obat-obatan yang menyengat, Dr. Smith memandangi berkas dokumen di mejanya. Raut wajahnya menunjukkan ketegangan, seolah bayangan masa lalu menempel kuat di pikirannya. Ia menghempaskan satu berkas dengan frustrasi, lalu menjawab panggilan teleponnya dengan nada datar.

“Ya,” jawabnya.

Suara di ujung telepon menjelaskan hal yang tak terduga. “Dok, kita harus bertindak segera. Ada yang mencurigakan tentang Doni.”

Dr. Smith mengerutkan kening, mengerutkan bibirnya. “Beri tahu anak buahmu untuk menemui wanita itu. Pastikan dia tidak bicara tentang apa yang dia tahu.”

“Siap, Dok. Kami akan pantau.”

Ia meletakkan telepon dan menatap keluarnya. Nafasnya dalam dan bergetar. Batas antara ketenangan dan bahaya semakin menyusut.

---

Doni duduk di sudut klinik, menatap layar ponsel yang membiru. Ara menghampiri, nampak bersemangat. “Ada berita dari Maya?” tanyanya sambil menyentuh bahu Doni.

“Belum,” jawab Doni, menggaruk tengkuknya. “Tapi aku merasa sesuatu terjadi.”

“Seperti apa?” Ara mencondongkan badan, penuh perhatian.

“Seseorang dari luar mengawasi klinik.” Nadanya merendah seolah menguji pernyataannya sendiri.

“Pasti hanya perasaanmu.” Ara tersenyum, mencoba menenangkan.

Namun Doni tidak bisa begitu saja mengabaikannya. “Tidak, benar. Aku melihat seseorang berkeliling, mencurigakan.”

Ara mengedipkan mata, memancing. “Kalau kita berpura-pura jadi detektif? Kita harus mencari tahu lebih dalam.”

“Tapi bagaimana?” Doni merasa ragu.

“Kita ikuti orang itu. Tahu apa yang dia cari. Mungkin dia punya jawaban atas semua ini.” Ara mengencangkan kecepatannya, mata berbinar.

Doni mengangguk, tak berdaya melawan semangat Ara. “Baiklah, kita lakukan.”

---

Dari luar, mereka mengawasi klinik. Pintu sekali lagi terbuka, dan seorang pria bertubuh tegap melangkah keluar. Doni menyipitkan matanya. “Itu dia.”

“Mari kita ikuti,” Ara berbisik, matanya tak terlepas dari sosok itu.

Langkah demi langkah mereka mengendap di balik tembok. Pria itu menghilang di balik belokan, dan Ara menarik tangan Doni. “Ayo!”

Satu persatu, mereka menyelinap ke jalan yang sibuk. Didorong ketegangan, mereka tak berani bersuara. Pria itu menghilang ke dalam gang sempit, dan keduanya berhenti sejenak, terengah-engah.

“Apa kita harus masuk?” tanya Doni, suaranya cemas.

Ara mengangguk, berbisik, “Ya. Tidak ada pilihan lain.”

Mereka melangkah ke dalam gang yang seolah menelan suara sekitar. Dinding lembap memisahkan mereka dari keriuhan kota. Aroma basi tercium mencolok.

“Dia pergi ke mana?” Doni bertanya, matanya berkeliling.

“Aku tidak tahu. Ayo maju sedikit.” Ara melangkah lebih dekat.

Sekonyong-konyong, mereka mendengar percakapan samar dari dalam sebuah rumah tua. Suara pria itu bergema, mengancam. “Kau harus ingat. Jangan katakan apa-apa tentang 18 tahun lalu!”

Panjang leher Doni merinding. “Apa yang mereka bicarakan?”

Ara memusatkan perhatian, mendekati dinding, telinga menempel. “Tunggu. Kita harus dengar lebih lanjut.”

“Aku tidak tahu, apa yang bisa terjadi jika kita ketahuan?” Doni berbisik, ketakutan menerpa.

“Tidak ada pilihan. Kita harus tahu,” desak Ara.

Bercak-bercak suara teredam, lalu terdengar satu nada lebih dalam. “Kau tahu apa yang harus kau lakukan jika dia bertanya. Jangan sekali-kali melibatkan dirimu.”

Kontrol diri Doni mulai memudar. “Ara, ini tidak aman.”

“Shh!” Ara melanjutkan, menegakkan tubuhnya. “Kita bisa pergi kapan saja. Tapi kita butuh lebih banyak informasi.”

Malam semakin larut, dan dengan berani, mereka bergerak lebih dekat. Tiba-tiba, suara wanita paruh baya bergema, “Dia tidak akan mendengarkan. Aku sudah melihat apa yang terjadi.”

“Diam!” pria itu menggertak, ditimpali bunyi objek berat yang dijatuhkan.

Merasa terancam, Doni merasakan hembusan angin dari pintu terbuka yang berkelok. “Kita harus pergi sekarang!” Ia menarik tangan Ara, berusaha menjauhi tempat berbahaya itu.

“Sebentar! Kita hampir dapat sesuatu yang berharga,” Ara menolak, tetapi suara di dalam rumah menguat.

“Kau berani berpikir dia tidak akan mencari tahu?” Pria itu berteriak, lidahnya tampak menggigit.

Pada titik itu, impulsivitas tak terduga melanda Doni. Ia meraih ponselnya dan mulai merekam, berharap bisa membawa bukti.

“Doni, jangan!” Ara mendesis, tetapi sudah terlambat.

***

Desakan hati membuat Doni terus merekam sambil mencuri dengar percakapan. Rasa penasarannya mengalahkan rasa takutnya. Tiba-tiba, pria itu menghentikan suara, seolah menyadari adanya pendengar baru.

“Siapa di luar?” Suara pria itu pecah dengan ketidakpuasan, dan keduanya tercekik dalam ketegangan.

Doni bergegas menarik Ara menjauh dari pintu, berlari sekuat tenaga ke arah jalan. Debur jantungnya mengalahkan rasa lega. Ketika mereka berhenti, mereka terengah-engah.

“Apa yang kau lakukan?” Ara menatapnya tajam. “Kita terjebak, Doni!”

“Maaf,” jawabnya, napas masih tersengal. “Aku hanya ingin tahu.”

Ara menggelengkan kepala, menatap jalan sepi di malam hari. “Kita perlu kembali. Tapi kali ini kita cari tahu lebih dalam. Kita tidak bisa biarkan ini menakut-nakuti kita.”

Doni mengangguk. “Kita harus beri tahu Maya. Dia harus tahu.”

Namun, ketika pemikiran itu melintas, rasa was-was mulai menggerogoti jiwanya. “Tapi Dr. Smith… dia pasti akan melindungi sesuatu.”

“Dan kita harus lebih cerdas. Dia tidak bisa menghadapi kita berdua,” Ara menggenggam tangan Doni, semangatnya membara.

Dengan tekad baru, mereka berjalan selangkah lebih dekat menuju kebenaran yang sangat dibutuhkan. Kegelapan malam penuh ancaman juga ketidakpastian, tetapi di dalamnya tersimpan harapan.

Doni dan Ara melangkah menjauh dari gang sempit, melewati jalanan kosong yang dipenuhi cahaya temaram. Suara derap langkah mereka membelah keheningan malam.

“Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi,” ujar Doni, menatap lurus ke depan. “Bukan hanya tentang ibuku, tapi tentang semua ini.”

“Dan Dr. Smith,” Ara menambahkan, langkahnya mantap. “Dia menyimpan banyak rahasia.”

Mereka tiba di taman kecil di pinggir jalan, lampu jalan berpendar dengan redup. Di sana, saat mereka duduk di bangku, ketegangan di antara mereka mereda sedikit.

“Jadi, apa rencanamu?” tanya Ara, tatapannya penuh penantian.

Doni menghela nafas dalam, mengumpulkan pikiran. “Maya tahu banyak tentang klinik. Mungkin dia bisa membantu kita menemukan informasi tentang wanita di desa itu.”

“Baiklah, tapi kita harus berhati-hati. Dr. Smith pasti memperhatikan Maya, dan kita tidak bisa menempatkannya dalam bahaya,” Ara berkata, suara lembut namun tegas.

Doni mengangguk. “Kita harus menyusun rencana. Kita temui Maya secara sembunyi-sembunyi, lalu kita tanya dia tentang dokumennya.”

Ara tersenyum membangkitkan semangat. “Itu ide yang bagus. Kita bisa ajak dia kerjasama.”

Mereka pulang, hatinya berdebar menghadapi rencana yang lebih besar dari yang dibayangkan. Dalam benaknya, bayang-bayang masa lalu menghantui. Ibu yang tidak dikenal, rahasia yang terpendam, entah apa yang menanti di depan.

Beralih ke hari berikutnya, Doni mengatur pertemuan dengan Maya. Mereka bertemu di sebuah warung kopi kecil tak jauh dari klinik, terlindung dari pengawasan Dr. Smith. Hembusan angin menghilangkan ketegangan, membiarkan mereka berbagi keraguan.

Maya tiba sedikit terlambat, terlihat gelisah, tetapi wajahnya seakan mendingin saat melihat Doni dan Ara. Ia duduk, menyentuh cangkir kopi dengan tangan bergetar.

“Ada apa? Kenapa kalian memanggilku?” tanya Maya, melirik ke sekeliling.

Doni memperhatikan, ada bayang penyesalan di wajahnya. “Kami butuh bantuanmu, Maya. Tentang klinik, tentang dokumen yang pernah kau lihat.”

“Dokumen?” Maya mengerutkan kening. “Itu sangat riskan. Dr. Smith tidak ingin ada yang tahu tentang itu.”

“Aku tahu, tapi ini penting. Tentang pasien-pasien yang pernah ada, bisa jadi ini tentang ibuku,” suara Doni semakin mendalam.

Maya tampak berpikir sejenak. “Ada hal-hal yang lebih dalam dari itu. Ada alasan kenapa aku dipecat.” Suaranya lirih.

“Dr. Smith menyimpan banyak rahasia, dan kita butuh informasi darimu. Apa kau bisa memberitahuku?” Ara menggenggam tangannya, menatap penuh harapan.

1
anggita
like👍+☝iklan. moga novelnya sukses.
anggita
Doni.. Ara,,,
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!