Sisi Gelap Sebuah Klinik

Sisi Gelap Sebuah Klinik

kenanganlah

Doni sedang merapikan area resepsionis Klinik saat bunyi bel di pintu membuatnya menoleh. Jantungnya berdebar, berusaha menebak siapa yang datang. Saat melihat sosok yang keluar dari bayangan, senyumannya merekah.

“Ara!” teriaknya, melupakan pekerjaan sejenak.

Ara melangkah masuk, menyalakan ruangan dingin dengan kehadirannya. Dia tampak lelah, lingkaran hitam menghiasi matanya, tetapi senyumnya tetap membahana.

“Kamu tak perlu berlebihan, Doni. Aku hanya mampir untuk berobat,” ujarnya sambil melambai ringan.

Doni mengamati langkahnya yang ringan walaupun tubuhnya tampak menegang saat duduk di kursi tunggu. Dia berinisiatif membuka pembicaraan.

“Apa kabar?” tanyanya, berusaha menyelami lebih dalam.

“Kurang baik, sebenarnya. Sejak seminggu lalu, ada yang… aneh,” Ara menggoreskan telunjuknya pada ujung lengan yang dilipat.

“Maksudmu?” Doni merasakan ketegangan itu, terlihat dari cara Ara meraih ujung lengan bajunya.

“Rasa sakitnya… seperti mendorongku dari dalam,” Ara menghela napas, menurunkan pandangannya ke lantai klinik yang bersih.

Doni menggenggam tangannya. “Berapa lama kamu merasakannya?”

“Setiap hari semakin buruk. Kadang, aku seperti tidak bisa bernafas,” jawabnya, suara bergetar.

Doni meresapi kalimat itu, bayangan cerita kelam datang ke benaknya. “Kita harus bicara tentang ini. Mungkin aku bisa membantu.”

Ara tertawa, meski datar. “Apa yang bisa kamu lakukan? Mengusir rasa sakit dengan cerita masa kecil kita?”

Doni mengedipkan matanya, wajahnya berusaha ceria. “Kau ingat Kuburan Exora? Kita berani masuk hanya demi melihat hantu? Kita bisa seharian disana bercerita hingga tertawa.”

“Kau masih ingat semua itu?” Ara mengalihkan pikiran sejenak, matanya menyala.

“Bagaimana bisa lupa? Kita selalu berkelakar soal hantu yang melompat-lompat,” Doni tersenyum, berharap momen itu bisa mengalihkan perhatiannya dari rasa takut yang menggerogoti.

Tapi ekspresi Ara kembali suram, wajahnya membeku. “Apa kau pernah berpikir tentang apa yang bisa terjadi di sini, Doni?”

“Apa maksudmu?” Suara Doni terdengar serak, gelisah.

“Aku takut untuk pemeriksaan ini. Apa kalau ternyata...” Dia menggigit bibir, ragu melanjutkan.

Doni menghampirinya, meraih tangan Ara. “Kita hadapi ini bersama. Di luar apa yang terjadi, kamu tidak sendirian. Ingat, kita berjanji untuk saling mendukung.”

Ara mengangguk pelan, masih terhimpit antara harapan dan kekhawatiran. Ucapannya terselip dalam keraguan. “Tapi Klinik ini…”

Belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, seorang suster masuk, suara langkahnya memecahkan keheningan. “Ara, sekarang giliranmu untuk pemeriksaan.”

Keduanya terdiam, udara terasa menyesakkan antara mereka. Suster itu tersenyum lembut, memberi sinyal untuk Ara maju.

“Saatnya,” suara Doni nyaring, meski hatinya berdebar.

Ara bangkit, terlihat bergetar. Meskipun keberaniannya tampak diragukan, dia mencoba tersenyum. “Aku cuma perlu waktu sebentar.”

“Bernapas lah. Lakukan apapun yang perlu kamu lakukan,” ucap Doni sambil mengangguk, berusaha memberi keberanian.

Saat Ara melangkah menuju ruang pemeriksaan, raut wajahnya memancarkan campur aduk. Doni melihatnya dengan penuh khawatir, detak jantungnya berdentang tidak karuan.

Jam berdetik perlahan. Doni berdiri, kemudian berjalan mondar-mandir di ruang klinik yang steril, merasakan hawa dingin menyeruak tulang belakangnya. Dalam benak, cerita-cerita kelam melintas; kisah pasien yang sering tiba-tiba kehilangan harapan.

Waktu berlalu, suasana semakin syahdu. Setiap detik seperti mengingatkan dia pada kesuraman Klinik ini. Ia duduk kembali di resepsi, memandangi berkas pasien yang berserakan. Tangan sulit untuk tidak menyentuhnya, ingin tahu apa yang tersembunyi di balik angka-angka itu.

Satu demi satu file dibuka. Istilah medis terukir di setiap halaman, tetapi di antara kata-kata itu, ada kisah-kisah yang lebih mencekam—malpraktek yang terabaikan, pasien yang sirna tanpa jejak, dan berkas yang ditutup rapat.

Sejenak, bayangan Ara melintas di benaknya. Dia tidak ingin kehilangan sahabat sepertinya. Ketakutan menyergapnya.

“Aku harus percaya…” gumamnya.

Silence menyergap ruangan. Kecemasan mulai mencekik.

Dia menilik jam dinding. Berharap waktu lebih ramah.

Sedetik kemudian, suara langkah kaki dari ruang pemeriksaan mengalihkan perhatian.

Doni menegakkan tubuhnya, napasnya tercekat.

Pintu terbuka, dan Ara muncul, tampak pucat. Matanya membesar, seperti sedang menyiapkan kata-kata.

“Doni…” suaranya berbisik, terbata.

Doni melangkah cepat menghampiri. “Bagaimana? Apa yang dokter katakan?”

Ara menggigit bibirnya, tampak berjuang untuk berbicara. “Belum ada hasil… Tapi…” Dia berhenti sejenak, wajahnya lemas. “Mereka ingin melakukan beberapa tes lagi. Kenapa tidak ada yang mengatakan tentang ini sebelumnya…”

Doni merasakan seberkas dingin menyusup di hatinya. Dia tahu kalimat Ara lebih dari sekadar pernyataan.

“Aku akan menemanimu. Jika perlu, kita akan hubungi orang-orang dekat…,” suaranya tenang, tetapi dalam hatinya semua berputar.

Tiba-tiba, ponsel Ara berbunyi memecah ketegangan. Dia meraih ponsel, membaca pesan, dan mengerutkan dahi.

“Kau tidak akan percaya siapa ini…” Ara menatap Doni, keraguan merayap di wajahnya.

“Siapa?” Doni mendesak, merasakan aliran emosi yang tak terduga.

“Ini… Nina.” Air mata mulai menggenang di pelupuknya.

Doni menahannya dalam pelukan. “Kita bisa melewati ini, Ara. Bersama-sama.”

Saat mereka berdiri berpelukan, Doni tahu bahwa apa pun yang akan terjadi, mereka

akan menghadapinya bersama. Dia merasakan getaran lembut Ara di dalam pelukannya, kekuatannya terurai menjadi ketidakpastian.

“Dia bilang dia mau bertemu,” Ara menyeka air mata dengan lengan baju. “Setelah waktu yang lama.”

Kejutan meletus di dalam diri Doni. “Nina? Dari sekolah dasar yang pergi tanpa kabar?”

Ara mengangguk, perasaannya campur aduk. “Dia muncul entah dari mana. Semua pesan ini…” Suaranya tenggelam.

Doni menggaruk belakang lehernya. “Kau ingin bertemu dengannya? Di saat seperti ini?”

“Aku tidak tahu,” Ara menatap lurus ke depan. Mata itu mencari kedamaian, tetapi kesedihan tetap merangkak ke dalam pikiran. “Dia adalah bagian dari masa laluku. Tapi juga satu-satunya yang bisa aku buat… untuk melupakan semua ini. Rasa sakitku.”

Klinik itu kembali mendadak dingin dan sepi. Atmosfer ruangan mengguncang, memaksanya bergumul dengan keputusan itu. “Apa kau punya waktu untuk ini? Apa kau yakin?” Tanya Doni, rasa cemas mulai merayap.

Ara menggigit bibirnya, terlihat bingung. “Aku hanya ingin merasakan hidup… sejenak. Seperti kita kecil. Lari dari semua ini.”

Doni berpikir sejenak, memastikan dirinya mendukung keputusan Ara. “Baiklah. Tapi kita pergi berdua. Aku tidak ingin kamu sendirian.”

“Benar-benar percaya padaku?” Ara senyum tipis, meski tampak ragu.

“Selalu. Dari sejak hantu Kuburan Exora, bukan?” Doni tersenyum sedikit, berusaha membawa semangat.

Akhirnya, mereka berdiri di depan pintu keluar Klinik. Saat melangkah keluar, udara kehidupan malam membalikkan detak hari ini. Langit gelap bintang-bintang bersinar kecil, kelap-kelip yang seakan mengingatkan mereka tentang keajaiban di luar ketakutan.

Ara berhenti sejenak di tengah jalan. “Doni, jika ada sesuatu yang terungkap… tentang hasil tes, tentang Nina, apakah kita masih bisa bersama?”

“Dengar, apapun yang terjadi, aku akan di sampingmu. Kita hadapi semua ini seperti kita menghadapi cerita-cerita hantu di masa kecil kita. Cukup percaya.”

Dia menganggukkan kepala, tampak lebih berani. Dengan langkah mantap, mereka melanjutkan perjalanan menuju pertemuan yang mungkin mengubah segalanya.

***

Kafe sederhana di sudut jalan mengundang mereka dengan cahaya hangat. Doni memegang pintu untuk Ara, menunjukkan keramahtamahan yang selalu ada dalam dirinya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!