Maya, seorang wanita muda yang cantik dan sukses dalam karier, hidup dalam hubungan yang penuh dengan kecemburuan dan rasa curiga terhadap kekasihnya, Aldo. Sifat posesif Maya menyembunyikan rahasia gelap yang siap mengubah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aili, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 27. Serangan Panik Yang Semakin Menjadi
Seiring berjalannya waktu, Maya merasa beban semakin berat. Meskipun Aldo telah pulih dari vertigo dan kembali bekerja, jarak dan tekanan pekerjaan mereka membuat Maya semakin cemas. Komunikasi jarak jauh yang dulu berjalan lancar kini terasa kurang memadai untuk menenangkan hatinya. Setiap malam, Maya sering terbangun dengan perasaan cemas yang tak terduga.
Suatu malam, saat Maya sedang bersiap tidur, tiba-tiba dia merasakan dadanya sesak dan napasnya semakin berat. Jantungnya berdebar kencang dan keringat dingin membasahi tubuhnya. Serangan panik yang melanda ini jauh lebih intens dari sebelumnya.
Maya berusaha mengingat teknik pernapasan yang diajarkan Rina, namun kali ini rasa paniknya terasa terlalu kuat. Dengan tangan gemetar, dia meraih ponselnya dan mencoba menghubungi Rina.
"Rina, aku butuh bantuan. Aku merasa sangat panik dan tidak bisa bernapas dengan baik," suara Maya bergetar di telepon.
Rina mendengarkan dengan tenang dan mencoba menenangkan Maya. "Maya, coba fokus pada napasmu. Tarik napas dalam-dalam dan hembuskan perlahan. Aku di sini bersamamu."
Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, Maya perlahan mulai bisa mengatur napasnya kembali. Namun, rasa takut dan cemas masih menghantuinya.
Keesokan harinya, Maya memutuskan untuk menemui Rina di klinik. Ketika Maya tiba, Rina langsung menyadari perubahan yang terjadi pada sahabatnya.
"Maya, kamu terlihat sangat cemas. Apa yang terjadi?" tanya Rina dengan nada lembut.
Maya menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Rina, serangan panikku semakin sering terjadi. Setiap malam aku merasa cemas dan sulit bernapas. Aku tidak tahu harus bagaimana."
Rina mengangguk, mendengarkan dengan seksama. "Aku mengerti kekhawatiranmu, Maya. Serangan panik bisa sangat menakutkan dan mengganggu. Aku merasa sudah saatnya kamu mendapatkan dukungan tambahan."
Maya mengangkat alisnya, bingung. "Dukungan tambahan? Maksudmu?"
Rina tersenyum penuh pengertian. "Maya, aku menyarankan kamu untuk berbicara dengan seorang psikiater. Mereka bisa memberikan pendekatan yang lebih mendalam dan memberikan terapi yang mungkin kamu butuhkan."
Maya terkejut mendengar saran itu. "Psikiater? Apa kamu pikir aku benar-benar perlu bicara dengan mereka?"
Rina mengangguk tegas. "Ya, Maya. Psikiater bisa membantumu menemukan cara yang lebih efektif untuk mengatasi kecemasan dan stres. Ini bukan tentang kelemahan, tapi tentang mendapatkan dukungan yang tepat."
Maya berpikir sejenak, lalu mengangguk perlahan. "Baik, Rina. Aku akan mencoba. Mungkin ini memang yang aku butuhkan."
Rina tersenyum hangat. "Aku akan memberimu referensi psikiater yang baik. Ingat, ini adalah langkah positif untuk dirimu dan keluargamu."
Setelah pertemuan dengan Rina, Maya merasa sedikit lebih lega. Ia tahu bahwa mendapatkan bantuan profesional adalah langkah yang tepat. Sesampainya di rumah, Maya memutuskan untuk memberitahu Aldo tentang rencananya.
Ketika Aldo mengangkat telepon, suaranya penuh perhatian. "Maya, bagaimana kabarmu? Kamu terlihat cemas."
Maya menceritakan percakapannya dengan Rina dan menyampaikan rencana untuk menemui psikiater. "Aldo, Rina menyarankan agar aku menghubungi psikiater untuk mendapatkan dukungan tambahan. Serangan panikku semakin sering dan intens."
Aldo mengangguk setuju."Itu ide yang bagus, Maya. Kesehatan mentalmu sama pentingnya dengan kesehatanku. Aku mendukungmu sepenuhnya."
Maya merasa sedikit lebih tenang mendengar dukungan dari Aldo. "Terima kasih, Aldo. Aku akan membuat janji segera."
Hari berikutnya, Maya menghubungi psikiater yang direkomendasikan Rina dan membuat janji. Ia merasa lega telah mengambil langkah ini, merasa bahwa dia tidak sendirian dalam perjuangan ini.
Sesi pertama dengan psikiater berjalan dengan baik. Maya merasa didengar dan dimengerti.
Pertemuan pertama Maya dengan psikiater, Dr. Rendra, berjalan dengan lancar. Setelah mendengarkan cerita Maya dengan penuh perhatian, Dr. Rendra merasa bahwa obat dapat membantu mengatasi kecemasan dan serangan paniknya.
"Maya, berdasarkan gejala yang kamu ceritakan, saya akan meresepkan obat anti-cemas yang bisa membantu menstabilkan suasana hati dan mengurangi frekuensi serta intensitas serangan panik," kata Dr. Rendra dengan nada lembut.
Maya tampak ragu sejenak. "Apakah ada efek samping dari obat ini, Dokter?"
Dr. Rendra mengangguk, tersenyum untuk menenangkan Maya. "Seperti semua obat, mungkin ada beberapa efek samping seperti kantuk, pusing, atau mulut kering. Namun, banyak pasien yang merasa manfaatnya jauh lebih besar daripada risiko efek samping tersebut. Kita akan memantau perkembanganmu dan menyesuaikan dosis jika diperlukan."
Maya menghela napas lega. "Baik, Dokter. Saya akan mengikuti instruksi Anda."
Selain meresepkan obat, Dr. Rendra juga menyarankan Maya untuk melanjutkan terapi kognitif perilaku. "Terapi ini sangat efektif dalam membantu mengubah pola pikir dan perilaku yang memicu kecemasan. Kita akan bekerja bersama untuk menemukan cara yang lebih sehat dalam menghadapi stres."
Maya merasa lebih optimis setelah sesi tersebut. Sesampainya di rumah, ia mulai mengonsumsi obat yang diresepkan dan terus mempraktikkan teknik pernapasan serta meditasi yang diajarkan oleh Rina.
Beberapa hari kemudian, Maya mulai merasakan perubahan. Serangan panik yang biasanya datang tanpa peringatan kini mulai berkurang intensitasnya. Meskipun masih ada momen kecemasan, obat dan terapi memberikan rasa kendali yang lebih besar.
Suatu malam, setelah memastikan Luna tertidur, Maya memutuskan untuk menghubungi Aldo dan berbagi kabar baik.
"Aldo, aku punya kabar baik," kata Maya dengan nada lega.
Aldo, yang sedang berada di tempat kerja, terdengar senang. "Kabar baik apa, Maya? Ceritakan padaku."
Maya tersenyum, meskipun Aldo tidak bisa melihatnya. "Aku sudah mulai mengonsumsi obat yang diresepkan oleh psikiater. Serangan panikku mulai berkurang, dan aku merasa lebih terkendali. Terapi yang aku jalani juga sangat membantu."
Aldo terdengar lega. "Itu berita yang luar biasa, Maya. Aku sangat senang mendengarnya. Kamu melakukan langkah yang sangat baik untuk dirimu sendiri."
Maya merasakan kehangatan dari kata-kata Aldo. "Terima kasih, Aldo. Dukunganmu sangat berarti bagiku.
Maya juga merasa lebih mampu menghadapi kesehariannya. Di kantor, ia bisa lebih fokus pada pekerjaannya, dan di rumah, ia lebih hadir untuk Luna. Hubungannya dengan Aldo juga semakin erat, meskipun mereka berada jauh secara fisik.
Seiring berjalannya waktu, Maya mulai merasakan perubahan positif dalam dirinya. Kecemasan yang dulu begitu mengganggu perlahan mulai berkurang.
Setelah beberapa minggu, Maya merasakan peningkatan yang signifikan. Obat dan terapi dari Dr. Rendra membantunya mengendalikan kecemasan dan serangan panik. Ia mulai merasa lebih stabil dan mampu menikmati momen-momen kecil dengan Luna.
Suatu sore, Maya sedang duduk di taman bersama Luna ketika Rina menelepon.
“Maya, bagaimana kabarmu? Sudah lama kita tidak bertemu,” suara Rina terdengar hangat.
Maya tersenyum. “Aku merasa jauh lebih baik, Rina. Obat dan terapi dari Dr. Rendra benar-benar membantu. Aku bisa mengendalikan serangan panikku dan merasa lebih tenang.”
Rina senang mendengar kabar tersebut. “Aku tahu kamu bisa melewati ini, Maya. Aku bangga padamu. Jika ada apa-apa, jangan ragu untuk menghubungiku, ya.”
“Terima kasih, Rina. Dukunganmu sangat berarti,” jawab Maya dengan tulus.
Setelah menutup telepon, Maya merasakan kedamaian yang jarang ia rasakan belakangan ini. Melihat Luna yang bermain riang di taman, Maya merasa optimis tentang masa depannya. Dengan dukungan dari Aldo, Rina, dan Dr. Rendra, ia yakin bisa mengatasi segala rintangan.
Malam itu, sebelum tidur, Maya mengirim pesan kepada Aldo: “Aku merindukanmu. Terima kasih sudah selalu ada untukku. Aku merasa lebih kuat sekarang.”
Aldo membalas dengan cepat: “Aku bangga padamu, Maya. Kamu adalah wanita yang luar biasa. Kita akan melewati ini bersama-sama.”
Maya tersenyum, menutup matanya dengan perasaan tenang dan siap menghadapi hari esok.
siapa sebenarnya satria ??
siapa pendukung satria??
klo konseling dg psikolog g mempan, coba dekat diri dg Tuhan. setiap kekhawatiran muncul, mendekatlah dg sang pencipta. semoga dg begitu pikiran kalian bisa lebih tenang. terutama tuk Maya. berawal dr Maya & kini menular ke Aldo