Terdengar Musik yang terus di putar dengan kencang di sebuah bar hotel, disertai dengan banyaknya wanita cantik yang menikmati serta berjoget dengan riang. Malam yang penuh dengan kegembiraan, yang tak lain adalah sebuah pesta bujang seorang gadis yang akan segera menikah dengan pujaan hatinya. Ia bernama Dara Adrianna Fauza, gadis cantik dan manis, anak sulung seorang pengusaha sukses.
"Dar, gue ngak nyangka banget Lo bakalan nikah. Selamat ya bestie?" Ucap salah seorang gadis yang merupakan teman SMA dara.
"Iya. Makasih yah bestie. Gue doain semoga Lo cepet nyusul yah? Biar gantian, gue yang di undang." Ucap Dara sambil tersenyum.
Dara yang merasa haus pun segera mengambil sebuah jus untuk di minum, ia pun meminumnya.
Pesta terus berjalan dengan lancar, semua teman dara menikmati pesta dengan bahagia. Seketika dara yang sedang bersama dengan teman-temannya pun menjadi pusing. Mata menjadi sangat berat, pandangannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon megawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab
" Jadi, kamu datang ke sini hanya untuk bilang kalau kamu tidak bisa datang di acara pernikahan Aldo? Kamu...!" Ucap Jasmine menggertakkan gigi dan ingin memukul adiknya, tetapi dia harus menjaga martabat di hadapan para pelayan keluarga Meyson yang berdiri di sekeliling ruangan.
"Aku ingin sekali menghadiri pernikahan keponakanku. Karena itu, bisakah pernikahan mereka di percepat?" Ucap Brama memicingkan mata dengan senyuman samar.
"Apa?! Aku tidak bisa seenaknya mengganti tanggal yang sudah disepakati oleh suamiku dan calon besan!" Ucap Jasmine.
Brama menghela napas panjang, serta memamerkan tampang sendu.
"Kakak, aku ingin datang ke acara pernikahan Aldo." Ucap Brama.
Jasmine tergerak ketika mendengar Brama memanggilnya kakak. Sejak menikah dengan ayah Aldo dua puluh enam tahun yang lalu, Brama selalu menjaga jarak darinya.
Hubungan kakak-beradik yang tadinya sangat dekat pun menjadi kaku dan canggung. Terlebih lagi, Brama terus memanggil Jasmine dengan sebutan Nyonya Meyson.
Ya. Brama tak menyukai Jasmine menikah dengan Edwin Meyson. Dia yang waktu itu masih remaja, merasa jika Edwin telah merebut kakak kesayangannya. Dan sampai sekarang pun, Brama tetap enggan mengakrabkan diri dengan suami sang kakak.
Setelah lama menimbang dalam benaknya, Jasmine kemudian menjawab.
"Baiklah. Aku akan mengusahakan agar pernikahan Aldo dapat di percepat." Ucap Jasmine yang juga ingin Brama ada ditengah kebahagiaan keluarganya.
"Kakak! Tiga hari. Nikahkan mereka tiga hari lagi." Ucap Brama final.
"Apa?! Tidak mungkin bisa kalau tiga hari lagi! Kamu belum pernah menikah, jadi tidak tahu apa saja yang harus dipersiapkan sebelum pernikahan!" Tolak Jasmine tegas.
Mana bisa Jasmine menikahkan Aldo dan Ayra dalam waktu sesingkat itu!
Lagi pula, Jasmine sempat meragu ketika Arman Fauza memberikan putri keduanya untuk menikah dengan Aldo. Jasmine jelas lebih menyukai Dara dari pada adik tirinya. Dia pun sebenarnya tak ingin cepat-cepat menikahkan Aldo dan Ayra jika bukan karena desakan suami dan teman baiknya.
"Ya sudah. Aku akan pulang sekarang." Ucap Brama berdiri dengan lesu dan sedih.
Jasmine menjadi tak tega karena melihat sikap yang ditunjukkan Brama. Selama ini, Jasmine selalu merasa bersalah karena meninggalkan adiknya, serta sibuk mengurusi Aldo sehingga tak punya banyak waktu bertemu dengan Brama.
"Tunggu dulu!" Seru Jasmine memanggil Brama ketika pria itu sudah hampir mencapai pintu.
"Aku akan mencoba bicara dengan suami aku nanti. Paling lama mungkin satu Minggu. Tapi kamu benar-benar harus datang!" Ucap Jasmine.
"Tentu saja! Semoga berhasil. Aku tidak akan datang kalau kamu gagal membujuk suamimu." Ucap Brama.
Brama tersenyum samar ketika keluar dari kediaman Meyson. Senyuman itu masih sedikit terlihat tatkala kakinya telah menapak di depan pintu kamar Dara.
"Dara Pranaja!" Ucap Brama membuka pintu lebar dan berjalan menuju tempat Dara berada.
Dara yang baru mengunyah makanan hanya menatap kedatangan Brama tanpa berkata-kata. Brama lantas duduk di samping Dara untuk memberi tahu tanggal pernikahan mereka.
"Setelah ini, kamu harus mengukur gaun pengantin. Mantan tunangan kamu akan menikah tiga hari lagi. Jadi, kita bisa segera mengadakan pesta pernikahan Minggu depan." Ucap Brama.
Dara sangat terkejut oleh berita pernikahan Aldo hingga tak sengaja menyemburkan makanan dari mulutnya sambil terbatuk-batuk. Jas mahal yang baru dipakai sekali oleh Brama itu terkena potongan-potongan kecil makanan dari mulut Dara.
Dara melirik ke arah wajah Brama dengan perasaan takut. Pria itu sedang melotot padanya dengan aura kemarahan hingga wajahnya memerah.
""Kamu...!" Ucap Brama kehabisan kata-kata, bukan karena perbuatan Dara yang mengotori jasnya, tetapi karena setetes air mata terjatuh di pipi gadis yang akan menjadi istrinya sebentar lagi.
"Apa kamu sedang menangisi pria lain dihadapan aku?" Geram Brama.
Tidak! Bukan itu yang membuat Dara menangis!
Dara menepuk-nepuk lengan Brama dan menunjuk ke arah gelas minuman. Brama yang paham segera membantu Dara meminumkan air itu untuk Dara.
"Sekarang jawab pertanyaan aku! Kamu menangisi pernikahan mantan tunangan kamu, hemm? Kamu masih menyukai dia?" Desak Brama dengan murka.
Dara memang terkejut karena Aldo akan menikah lebih cepat dari yang seharusnya. Namun, dia sudah merelakannya. Aldo tidak di takdirkan untuk bersatu dengannya.
Selain itu, Dara juga semakin kaget karena Brama mempercepat resepsi pernikahan mereka. Padahal, Dara sebelumnya sudah merasa lega karena akan menikah secara tertutup.
Dia masih memiliki banyak waktu untuk berpikir. Alasan apa yang sebaiknya dia katakan jika Arman atau Aldo bertanya padanya, sebelum Brama mengumumkan pernikahan mereka.
Tetapi, apa sekarang? Brama seenaknya sendiri mengubah lagi ucapannya dan ingin mempercepat resepsi pernikahan mereka!
Arman dan Aldo akan segera tahu jika Dara mengandung anak Brama Pranaja. Mereka pasti bisa menebak bahwa Brama yang telah menghabiskan malam dengannya.
Dua hal itulah yang membuat Dara sangat terkejut sampai tersedak makanan.
"Saya tersedak, Tuan. Mata saya berair sendiri, bukan menangisi siapa-siapa," jawab Dara sambil menggosok lehernya yang masih terasa gatal.
"Maaf...! Baju Anda-" ucap Dara seraya melihat jas Brama yang kotor karena dirinya.
Brama tidak peduli sama sekali dengan jasnya yang kotor. Dia hanya sibuk membicarakan tentang Dara yang harus bisa melanjutkan hidup dan jangan terus menerus mengingat Aldo.
"Bagus!" Ucap Brama memberi pujian dengan menepuk-nepuk kepala Dara seperti anak kecil.
"Ingat, Dara Pranaja, kamu hanya milikku. Tidak ada pria lain yang boleh singgah di hati kamu. Hanya ada aku di kehidupan kamu, paham?" Ucap Brama lagi.
Dara mengangguk dengan cepat agar Brama segera pergi dari hadapannya. Berada di depan pria itu selalu membuat Dara resah. Tetapi, Brama enggan beranjak dari tempatnya.
"Sebentar lagi, ada perancang busana yang akan datang ke sini untuk mengukur gaun pengantin dan gaun pesta untuk menghadiri pernikahan keponakan kita," ucap Brama.
Dara yang tadinya menunduk, sontak melihat wajah Brama.
"S-saya juga harus datang? Tapi, saya tidak-" ucap Dara terhenti.
Untuk kesekian kalinya, Brama memotong ucapan Dara.
"Tenang saja. Sebelum kita resmi mengumumkan pernikahan kita, kamu tetap akan menjadi sekretaris aku di luar sana." Ucap Brama.
Tetap saja, apakah dirinya sanggup menghadiri pernikahan mantan tunangan dan adik tirinya?
Bagaimana nanti kalau dia malah menangis di depan banyak orang? Apa yang akan dikatakan Arman ketika melihat dirinya datang tanpa diundang?
Memikirkan Arman membuat Dara bertambah sedih. Sampai detik ini, ayah kandungnya itu tak pernah berusaha menghubungi dirinya sama sekali.
Apakah Arman benar-benar tak mau menganggap Dara sebagai anak untuk selamanya? Lalu siapa yang akan menemani Dara ketika menikah nanti?
"Apa yang sedang kamu pikirkan?" Tanya Brama yang kembali menduga bahwa Dara sedang memikirkan Aldo.
"Tidak ada, Tuan," jawab Dara singkat.
Brama mengapit dagu Dara dengan telunjuk dan ibu jari, kemudian mengangkat hingga menatap wajahnya. Dia ingin melihat mata Dara ketika bicara dengannya, tetapi Dara selalu menghindari tatapan matanya.
"Kamu tidak mau menjawab? Artinya, aku harus mencari tahu sendiri, bukan?" Kecam Brama.
Manik mata Dara turun melihat ke bawah. Dia tak sanggup berlama-lama melihat Brama.
"Lihat aku! Kamu tidak suka melihat suami kamu?" Tanya Brama.
"Suami? Sejak kapan kita sudah menikah?" Protes Dara dalam hati.
"Saya sedang memikirkan nasib Kakak teman saya, Tuan." Ucap Dara setengah berbohong.
Dia memang berencana untuk membicarakan masalah perjodohan Rangga dengan keponakan Brama. Dara hanya takut untuk mulai bicara lebih dulu.
Brama melepaskan dagu Dara. Dia memutar badan dan merebahkan punggung di sandaran sofa.
"Katakan," titah Brama.
Dara menghirup udara sebanyak-banyaknya dan menghembuskan perlahan. Dia harus mencari kalimat yang tepat agar tak terkesan menuduh Brama sebagai dalang perjodohan itu karena dia pun masih hanya menebaknya.
"Saya mohon, bantulah kak Rangga untuk membatalkan perjodohan dengan Jeniffer Pranaja, keponakan Anda, Tuan. Keluarga Rawal telah banyak membantu saya selama ini. Saya tidak ingin kak Rangga kehilangan kebebasannya untuk bisa bersama wanita pilihannya sendiri." Ucap Dara.
Brama tersenyum tanggung. Apa Dara tak dapat melihat bahwa pria yang bernama Rangga itu menyukainya?
"Baiklah. Apalagi yang kamu inginkan?" Tanya Brama.
"K-kalung...," ucap Dara lirih seraya melirik pada kalung ibunya yang sudah menggantung di leher Brama.
"Baiklah," jawab Brama santai.
Dara menunggu cukup lama setelah Brama berkata mau mengembalikan kalungnya miliknya. Namun, Brama tetap diam pada posisinya, tanpa bergerak melepas kalung tersebut.
Brama justru menyandarkan kepala menghadap ke atas dengan mata terpejam. Satu tangannya bersandar di punggung sofa di belakang Dara.
"T-Tuan," panggil Dara ragu-ragu.
"Hem?" Ucap Brama enggan membuka mulutnya.
"Kalungnya..." Ucap Dara.
"Ambil sendiri. Bukankah kamu sendiri yang menginginkan kalung ini?" Ucap Brama tanpa membuka matanya.
Tangan Dara bergerak maju mundur ingin meraih kalung di leher Brama. Lengan brama yang terbuka membuat Dara merasa gerah saat dia berusaha mendekati pria itu.
Fokus Dara yang tadinya tertuju pada kalung, berubah haluan ke wajah Brama. Mengamati bibirnya yang setengah basah, serta rambut tipis di atas dan bawah mulutnya.
Dara menelan ludah susah payah saat terbayang pria pemilik wajah tegas itulah yang pernah menjamah tubuhnya.
Dara kembali menatap leher Brama. Akan tetapi, pemandangan di bawah liontin mengalihkan pandangannya.
Dua kancing atas kemeja Brama sengaja di biarkan terbuka. Dara pun dapat melihat sedikit pahatan otot dada pria itu yang tampak keras.
Dara bertanya-tanya, kenapa dia tak bisa mengingat kejadian malam itu? Benarkah dirinya pernah bertukar peluh dengan pria gagah di depannya? Dan kenapa Dara tiba-tiba tergoda pada tubuh Brama? Perutnya pun ikut berdesir hanya karena melihat pria itu dari dekat.
"Kamu tidak jadi mengambil kalungmu?" Tanya Brama tanpa membuka mata.
"Apa yang sedang aku pikirkan?!" Batin Dara yang tersentak dari lamunannya. Dia tak habis pikir dengan pikirannya sendiri.
"Bisa, bisakah Anda melepaskan kalung itu, Tuan?" Pinta Dara.
"Aku masih ingin memakainya. Kalau kamu menginginkan kalung ini, kamu harus mengambilnya sendiri." Ucap Brama yang kini sudah membuka matanya dan menatap Dara.
Dengan mata Brama yang terpejam saja, tangan Dara gemetaran saat ingin mengambil kalungnya. Apalagi, saat di tatap pria itu secara langsung!
Brama tiba-tiba menarik pinggang Dara hingga mendekat padanya. Dua tangannya memegang kedua pergelangan tangan Dara.
"Tuan..." Ucap Dara gugup.
Brama menggerakkan tangan Dara melingkar di lehernya. Hingga mencapai bagian belakang kalung tersebut yang melekat di tengkuk Brama.
Wajah Dara dan Brama kini hanya berjarak beberapa senti. Bahkan, Dara dapat menghirup dengan jelas aroma kulit bercampur parfum mahal yang digunakan Brama.
"Ambil," perintah Brama dengan suara rendah dan dalam.
Hembusan napas hangat brama menerpa keningnya. Wajah Dara pun semakin merah padam. Kedua tangannya yang melingkar di leher Brama begitu kaku sampai dia tak sanggup menariknya.
"Kenapa diam saja?" Tanya Brama yang fokus menatap bibir merah muda yang membuat darahnya berdesir hebat.
(Makin so sweet aja pasangan ini. Walaupun terpaut beda usia, semoga mereka menjadi pasangan sehidup semati. Apakah pernikahan mereka akan terjadi? Apakah ke depannya hubungan mereka akan mendapatkan halangan dan cobaan? Yang penasaran, tunggu next partnya ya...)