Menjalani kehidupan rumah tangga yang bahagia adalah idaman semua pasangan suami istri. Hal itu juga yang sangat diimpikan oleh Syarifa Hanna.
Menikah dengan pria yang juga mencintainya, Wildan Gustian. Awalnya, pernikahan keduanya berjalan sangat harmonis.
Namun, suatu hari tiba-tiba saja dia mendapat kabar bahwa sang suami yang telah mendampinginya selama dua tahun, kini menikah dengan wanita lain.
Semua harapan dan mimpi indah yang ingin dia rajut, hancur saat itu juga. Mampukah, Hanna menjalani kehidupan barunya dengan berbagi suami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Velza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27. Welcome Baby Sean
Setibanya di rumah sakit, Hanna langsung bergegas ke ruangan di mana kakaknya berada, bahkan dia keluar dari mobil tanpa berpamitan pada Frans sekadar basa-basi.
"Segitu khawatir dan sayangnya kamu dengan kakakmu, Han. Sampai aku pun kamu abaikan gitu aja," gumam Frans seraya tersenyum tipis melihat langkah Hanna hingga tak terlihat lagi.
Mobil yang dikendarai Frans perlahan meninggalkan area rumah sakit, sedangkan Hanna sudah berada di ruangan Atika. Di dalam ruang bersalin, Hanna terlihat sangat panik dan khawatir ketika melihat kakaknya yang menahan sakit akibat kontraksi.
"Kak, kenapa nggak caesar aja, biar nggak ngerasain sakit kayak gini?" tanya Hanna.
Atika mengulas senyuman sembari menahan kontraksi yang semakin terasa. "Justru inilah nikmatnya, Han. Nggak semua wanita bisa merasakan lahiran secara normal, sakitnya memang nggak bisa ditahan, tapi semua itu akan terbayar lunas saat bayinya sudah lahir."
Hanna yang membayangkan lantas meringis ngilu, dia memang belum pernah merasakan melahirkan, tetapi melihat sang kakak kesakitan justru membuatnya tak tega.
Setelah beberapa jam merasakan kontraksi yang tak ada jeda, kini pembukaan jalan lahir sudah lengkap. Atika diarahkan agar mengikuti aba-aba dari dokter, sedangkan Hanna menunggu di luar karena Andrean sudah di dalam menemani sang istri.
Tak hentinya mulut Hanna merapalkan doa, meminta agar kakak dan keponakannya selamat tanpa kurang suatu apa pun. "Kamu bisa, Kak. Kamu kuat, sebentar lagi kebahagiaan kalian akan bertambah setelah lahirnya buah hati di antara kalian."
Menunggu di depan ruang bersalin dengan perasaan tak menentu, hingga tak berselang lama terdengar suara tangisan bayi yang cukup kencang. Hanna yang semula menundukkan kepala, seketika beranjak berdiri memastikan jika itu bukanlah mimpi.
"Alhamdulillah. Terima kasih, Ya Allah," ucap Hanna penuh syukur.
Beberapa saat setelah tangisan bayi terdengar, Andrean pun keluar dari ruang bersalin dengan wajah semringah dan tetesan air mata yang masih membasahi kedua pipinya.
"Gimana keadaan Kak Atika dan bayinya, Kak?" tanya Hanna seraya menghampiri Andrean yang menutup pintu ruangan.
"Alhamdulillah, semuanya baik-baik saja, Han."
Hanna semakin tenang mendengarnya, ketika kakak dan keponakannya dalam kondisi yang baik. Dia pun tak sabar ingin bertemu sang kakak dan keponakan barunya itu.
"Aku udah nggak sabar pengen ketemu anak kalian, Kak," celetuk Hanna.
Andrean tersenyum tipis mendapati keantusiasan Hanna menyambut buah hatinya dengan Atika. "Sabar, Han. Nanti juga ketemu, kok. Ibu dan bayinya masih dibersihkan dulu, baru setelah itu dipindah ke ruang rawat biasa."
"Iya, Kak."
Setelah ibu dan bayinya dibersihkan, mereka pun langsung dipindah ke ruang rawat biasa pasca persalinan. Hanna dan Andrean pun turut mengikuti di belakangnya.
Setibanya di ruang rawat, Atika masih terlihat lemas setelah berjuang bertaruh nyawa untuk melahirkan buah hatinya dengan Andrean.
"Selamat, ya, Kak. Akhirnya, kebahagiaan kalian sekarang sudah lengkap dengan hadirnya anak di antara kalian," ucap Hanna seraya mengecup kening sang kakak.
"Makasih, Han. Kakak juga berdoa semoga kelak kamu bisa merasakan apa yang kakak rasakan saat ini."
"Aamiin."
Sebagai seorang kakak dan sesama perempuan, Atika tahu betul apa yang dirasakan adiknya saat ini. Di usia yang terbilang sudah cukup untuk menimang seorang buah hati, sang adik justru harus menelan kenyataan pahit karena dipoligami oleh suami hanya karena tak kunjung hamil.
Mungkin Tuhan tahu dan telah menyiapkan hal terbaik untuk adiknya. Atika pun tak hentinya memanjatkan doa untuk kebahagiaan sang adik.
"Tampan sekali," puji Hanna di samping box bayi Atika dan Andrean seraya menyentuh pelan pipi sang bayi.
"Kakak udah siapin nama untuk dia belum?" tanya Hanna sambil menatap Atika dan Andrean bergantian.
"Sudah, Han, tapi kalau kamu mau sumbang nama juga boleh," jawab Andrean.
Hanna tampak berpikir seraya menatap si bayi. "Aku mau kasih nama Sean."
"Nama yang bagus," kata Atika.
"Kalau begitu, kita kasih dia nama Shandika Sean Azkara. Panggilannya Sean," timpal Andrean.
Hanna pun mencoba menggendong sang bayi lalu mengecup pelan keningnya. "Welcome baby Sean."
**
Di tempat lain, Novita memilih tidur di ruang tamu karena hatinya masih sakit lantaran sang suami yang menyebut nama sang mantan saat sedang bersenggama dengannya.
"Sebesar apa cinta kamu untuk Mbak Hanna, Mas? Bahkan saat mabuk dan berhubungan denganku pun yang keluar dari mulutmu hanya namanya," gumam Novita yang meringkuk di kursi ruang tamu.
Ya, sebenarnya ini bukan pertama kalinya Wildan menyebut nama Hanna saat berhubungan suami istri. Sejak perceraiannya dengan Hanna, Wildan selalu menyebut nama sang mantan istri saat sedang berhubungan badan dengan Novita.
"Mati-matian aku berusaha membuatmu melupakan Mbak Hanna, hingga dengan cara licik sekalipun tak membuatmu berubah. Apa aku harus menjadi Mbak Hanna agar kamu bisa seutuhnya hanya mengingatku? Agar hanya aku saja yang ada hati dan dipikiranmu."
Novita terus meratapi nasibnya hingga tak sadar tertidur lelap karena lelah menangis.
Pagi harinya, Wildan mulai mengerjapkan mata saat semburat cahaya matahari memasuki celah-celah gorden mengenai matanya.
Perlahan dia meregangkan tubuhnya yang terasa sakit dan beranjak duduk di ranjang. Dia masih belum menyadari kondisi tubuhnya yang hanya berbalut selimut.
"Kepalaku pusing sekali," rintih Wildan sembari memegangi kepalanya.
Saat menunduk, Wildan langsung terkesiap mendapati tubuhnya yang polos tanpa sehelai benang pun. "Astaga, apa yang terjadi semalam?"
Wildan berusaha mengingat kejadian semalam, mulai dari saat bertemu Hanna hingga dia mengajak Adnan singgah di sebuah bar untuk meluapkan amarahnya dengan minum minuman beralkohol. Seketika dia mengusap kasar wajahnya, ketika mengingat jika semalam dia berhubungan dengan Novita, dia justru menggemakan nama Hanna. Meski bukan pertama kali, tetapi kali ini ada rasa bersalah di hatinya, apalagi yang dia ketahui sang istri sedang menderita kanker otak stadium lanjut.
"Maafkan aku, Nov. Aku nggak sadar sama sekali," gumam Wildan.
Wildan lantas menunguti pakaiannya yang tercecer di lantai kemudian mengenakannya. Lalu dia keluar dari kamar hendak menemui sang istri. Saat melihat ke arah ruang tamu, dia sangat terkejut melihat Novita yang tidur meringkuk di kursi dan terlihat menggigil.
Wildan segera menghampiri sang istri dan ingin membangunkannya, tetapi baru saja menyentuh pipi, rasa panas terasa di telapak tangannya.
"Nov, Novita." Wildan berusaha membangunkan sang istri, tetapi tak membuahkan hasil.
Akhirnya, Wildan mengangkat tubuh Novita dan membawanya ke kamar. Dia merebahkan tubuh sang istri dan tak lupa menyemlimutinya. Setelah itu, dia keluar lagi menuju dapur untuk membuat teh hangat dan bubur.
Sembari menunggu buburnya matang, Wildan membawa sebaskom air hangat dan juga handuk kecil untuk mengompres Novita. Dia membasahi handuk kecil tadi dengan air hangat di baskom dan memerasnya agar tak terlalu basah, kemudian meletakkannya di dahi snag istri.
Merasakan sesuatu yang basah di dahinya, Novita tampak mengerjapkan mata, tetapi tak sampai terbuka lebar.
"Eugh," lenguh Novita sambil berusaha menyentuh handuk di dahinya, tetapi ditahan oleh Wildan.
"Jangan! Kamu lagi demam, setidaknya biarkan sampai turun panasnya. Aku siapkan bubur dan teh hangat buat kamu dulu."
Setelah berucap, Wildan meninggalkan Novita yang tak berdaya di ranjang. Dia segera menyiapkan teh hangat dan bubur yang sudah matang.