"Aku hamil lagi," ucap Gladys gemetar, ia menunduk tak berani menatap mata sang pria yang menghunus tajam padanya.
"Gugurkan," perintah Gustav dingin tanpa bantahan.
Gladys menggadaikan harga diri dan tubuhnya demi mimpinya menempuh pendidikan tinggi.
Bertahun-tahun menjadi penghangat ranjang Gustav hingga hamil dua kali dan keduanya terpaksa dia gugurkan atas perintah pria itu, Gladys mulai lelah menjalani hubungan toxic mereka.
Suatu ketika, ia bertemu dengan George, pelukis asal Inggris yang ramah dan lembut, untuk pertama kalinya Gladys merasa diperlakukan dengan baik dan dihormati.
George meyakinkan Gladys untuk meninggalkan Gustav tapi apakah meninggalkan pria itu adalah keputusan terbaik?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nara Diani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 17
SELAMAT BERPUASA DAN SELAMAT MEMBACA^^
**
“Sudah tidur?” gumam Gladys menatap wajah damai Gustav yang sudah masuk ke alam mimpi.
Dengan hati-hati Gladys turun dari atas kasur supaya tidak membangunkan si bayi besar itu yang sengaja ia susui lebih awal.
Hari ini Sabtu, janji makan siangnya dengan George tertunda hingga malam karena sejak pagi Gustav mengurungnya di apartemen.
Gladys bergegas memakai pakaian yang bagus, setelah memasukkan ponsel ke dalam tas, ia keluar kamar dengan langkah super pelan.
Tepat saat pintu tertutup mata Gustav terbuka lebar, pria itu bangun dan menyeringai.
“Bagus, kau mulai nakal sekarang, Kucing Kecil.”
***
“Di sini!” teriak George melambaikan tangan pada Gladys.
Perempuan muda yang kebingungan di tengah keramaian itu menoleh dan seketika tersenyum lega mendapati George di dekat parkiran.
“Maaf, apa aku terlambat?” sapa Gladys mendekat.
“Tidak sama sekali, ayo sekarang kita masuk,” ajak George mengulurkan tangannya pada Gladys.
Perempuan itu menaikkan alis. “Untuk apa ini?” ujarnya menunjuk tangan George yang menggantung di udara.
“Gandengan, saya takut kamu hilang,” canda George.
Gladys cemberut. “Ih ... memangnya aku anak kecil?” gerutunya menerima tangan George.
Kedua anak muda itu berjalan masuk ke area pasar malam yang diadakan di alun-alun kota.
“Kamu kan memang kecil, Gladys.” Perempuan itu memutar bola mata tidak suka dipanggil kecil.
“Bukan aku yang kecil tapi kamu yang seperti Titan,” ledek Gladys balik menjulurkan lidah usil.
George menggeleng-geleng, padahal dia bicara sesuai fakta tapi Gladys tidak mau terima.
Matanya menjelajahi setiap sudut pasar malam yang meriah dan gemerlapan, ada berbagai macam permainan untuk dewasa maupun anak-anak, penjual aksesoris, pakaian, hingga stan-stan makanan.
“Sudah lama aku tidak main ke pasar malam,” gumam Gladys, terakhir kali dia ke pasar malam sekitar beberapa minggu sebelum orang tuanya meninggal.
“Mau main apa dulu?” tanya George menoleh pada Gladys.
Si perempuan bergumam berpikir melihat-lihat setiap jenis permainan yang ada di sana.
“Aku mau main itu.” Gladys menunjuk pada permainan tembak balon yang berhadiah boneka-boneka lucu.
Mereka menuju ke sana, membeli anak panah yang akan di tembak ke balon, mereka melemparnya secara bergantian sayang sekali kalah dan memilih untuk main di tempat lain.
Namun, di tempat main tetap kalah juga, akhirnya memutuskan untuk jalan keliling pasar malam saja sambil membeli jajanan.
***
Pintu apartemen terbuka, Gustav bisa melihat dalam gelap siluet tubuh Gladys masuk dan melepas sepatunya di depan pintu.
Pria itu menatapnya dingin dalam sunyi, ketika Gladys selesai meletakan sepatunya pada rak sepatu Gustav melangkah maju mendorong Gladys ke dinding dan mencekik lehernya kuat.
“Hhkk! Sak—sakit!” rintih Gladys tersentak ke dinding.
“Dasar kau jalang sialan!” maki Gustav. Matanya memerah murka.
“Kubiarkan kau berbuat sesukamu, kumanjakan dan kuberikan semua yang kau mau tapi dengan tidak tahu malunya kau pergi dengan pria lain tanpa sepengetahuanku!” teriak Gustav di wajah Gladys.
Aroma parfum pria lain tercium dari tubuh Gladys seakan mengejeknya Gustav makin naik pitam ia tekan leher Gladys lebih kuat hingga terbatuk-batuk.
“Gustav, sa—sakit! M—maaf aku minta maaf,” rintih Gladys terbata-bata.
“Pada siapa? Pada siapa kau menjual tubuhmu selain aku? Jawab!”
“Kghook! Aku ... argh!” Gustav hempaskan Gladys saat hampir pingsan napas.
Perempuan itu terbatuk-batuk di atas lantai sambil memegangi lehernya yang perih dan memar, nafas Gladys tersengal wajahnya merah padam.
Gustav jongkok meraih dagu Gladys agar mendongak menatapnya. “Kukira kau berbeda dengan wanita lain tapi ternyata kau sama murahannya!”
“Aku tidak murahan!” bantah Gladys dengan bahu bergetar.
“Lalu apa, Jalang!” teriak Gustav murka.
Pria itu cengkeram kedua bahu Gladys erat. “Katakan padaku bagian mana saja yang sudah di sentuh bajingan itu katakan!”
Gladys menggeleng-gelengkan kepalanya, tetapi Gustav masih bersikukuh memaksa Gladys mengaku.
“Jawab Gladys!”
“Enggak ada,” bantah Gladys sesenggukan.
Ia menangis, sakit hati dan fisiknya dikata-katai oleh mulut jahat Gustav. Melawan pria itu pun percuma, dipastikan Gladys lah yang mati duluan jika berani menyerangnya.
Gladys hanya bisa menangis, menangis memohon ampun dan belas kasihan pada Gustav seperti yang sudah-sudah.
“Aku mohon jangan marah lagi, aku yang salah pergi dengan George ke pasar malam tanpa memberitahumu,” lirih Gladys memeluk perut Gustav erat agar berhenti menyakiti tubuhnya.
“Maaf.” Seperti biasa, siapa pun yang salah dialah yang harus mengalah.
Gladys bisa merasakan emosi Gustav berangsur-angsur surut. Memeluk dan memohon padanya adalah cara terbaik untuk meredakan amarah Gustav tapi meski begitu Gladys belum aman sepenuhnya.
“Jadi kau tidak melakukan apa-apa dengannya, hem?” tanya Gustav lembut tiba-tiba saja mengusap rambut hitam panjang Gladys.
Perempuan itu menelan ludah kasar, kelembutan yang tidak biasa ini malah membuatnya lebih was-was.
“Ti—tidak, aku kan hanya milikmu, tubuhku hanya milikmu,” jawab Gladys gugup.
Usapan lembut Gustav lama-lama berubah menjadi jambakan, ia tarik rambut Gladys ke atas membuat si perempuan mengerut kesakitan.
“Benarkah?” tanya Gustav begitu lembut, sorot matanya yang dingin menyeringai, menikmati ekspresi kesakitan pada wajah Gladys.
“Iya, aku tidak bohong,” jawab Gladys memejam kulit kepalanya seakan mau lepas dari tengkorak.
Gustav mendekatkan bibir pada telinga Gladys. Aroma napas berbau mint yang berat dan panas menerpa tengkuknya.
“Kau harus menerima hukuman sebagai konsekuensi perbuatanmu,” bisiknya dengan cabul menjilat telinga Gladys.
Merinding. Gladys membuka mata dan begitu terbuka langsung bertatap intens dengan wajah cabul Gustav yang hampir tidak berjarak dengan wajahnya.
Menelan ludah. “Ak—aku terima.” Didetik yang sama Gladys berteriak syok karena Gustav merobek bajunya.
***
George sedang asyik melukis di galeri kecilnya, dengan tekun ia sapukan warna-warna pada kuas dengan gerakan pelan dan mendetail.
Brak!
George terlonjak kaget, kuas di tangannya sampai melenceng mencoret lukisannya sendiri, buru-buru pria itu meletakan kuasnya ke dalam wadah air.
George berbalik, tinju melayang ke wajahnya, pria muda itu tersungkur ke lantai.
“Berani sekali kau mendekati gadisku!” teriak Gustav marah.
George berdesis memegang sudut bibirnya yang berdarah. “Shhh ... Kau tidak pernah berubah,” gumam pria itu tertawa melihat darah di ujung tanganya.
Gustav menarik kerah baju George. “Kuperingatkan, berhenti mendekati Gladys atau kuhabisi kau!” ancam Gustav tapi dengan santainya George menyengir tanpa rasa takut.
“Memangnya kenapa? Dia sendiri suka berada di dekatku,” kekehnya memainkan lidah di dalam pipi.
“Gladys milikku, tak akan kubiarkan siapa pun menyentuhnya termasuk kau sekali pun!” bentak Gustav berteriak.
George terkekeh. “Bagaimana dia bisa betah denganmu jika sikapmu tidak pernah berubah, Gustav?” menaikkan alis, George menyeringai.
“Kau terlalu kasar untuk perempuan muda dan lemah seperti Gladys, sebaiknya kau berikan saja dia padaku dan carilah mainan baru, aku akan menjaganya dengan baik,” ucap George dingin.
“Kau! Berani sekali kau bicara begitu!”
“Lihat dirimu, Gustav!” potong George.
Ia lepaskan dengan kasar tangan Gustav yang menarik kerah bajunya dan bangkit berdiri.
“Lihat betapa kasarnya dirimu, Gladys yang malang pasti selalu ketakutan karena kau bentak, lama-lama dia bisa muak jika terus kau perlakukan begitu,” cecar George menatap pria itu dingin, tidak ada lagi wajah ramahnya.
Gustav mengeratkan gigi-giginya geram, ucapan George kepalang kasar tapi tepat sasaran padannya.
“Bukan urusanmu! Dia milikku, aku bebas mau memperlakukannya seperti apapun yang kumau,” tukas Gustav menyeringai, George mengepalkan tangannya.
"Kau tidak pernah berubah sejak dulu, pelit, dan tidak pernah membiarkan seorang pun menyentuh milikmu,” kekeh George sinis.
Dalam sedetik wajahnya berubah menjadi ramah dan hangat ia tersenyum dengan manis mengulurkan tangannya pada Gustav.
“Long time no see, Sepupu.”