Anggi Saraswati adalah seorang ibu muda dari 3 anak. Awal mula pernikahan mereka bahagia, memiliki suami yang baik,mapan,dan tampan merupakan sebuah karunia terbesar baginya di tengah kesedihannya sebagai yatim piatu penghuni panti.
Tapi sayang, kebahagiaan itu tak bertahan lama,perlahan sikap suami tercintanya berubah terlebih saat ia telah naik jabatan menjadi manajer di pusat perbelanjaan ternama di kotanya . Caci maki dan bentakan seakan jadi makanannya sehari-hari. Pengabaian bukan hanya ia yang dapatkan, tapi juga anak-anaknya,membuatnya makin terluka.
Akankah ia terus bertahan ?
Atau ia akan memilih melepaskan?
S2 menceritakan kisah cinta saudara kembar Anggi beserta beberapa cast di dalamnya dengan beragam konflik yang dijamin menarik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch.29 Shock Therapy part III
Setelah dipersilahkan, Anggi pun melangkahkan kakinya dengan pasti menuju lift khusus petinggi Angkasa Grup tersebut. Lift khusus itu hanya bisa dibuka menggunakan kartu akses khusus yang hanya diperuntukan pada orang-orang tertentu seperti Robi.
Diam-diam Adam memperhatikan gerak-gerik Anggi sambil sedikit bersembunyi di balik eskalator yang tak jauh dari lift tersebut. Ntah mengapa ada sesuatu yang membuncah saat ia melihat Anggi tadi. Dan ada sesuatu yang membara saat tau mantan istrinya itu akan bertemu pewaris tunggal Angkasa Grup tersebut. Angkasa Grup adalah perusahaan multinasional yang bukan hanya menaungi mall-mall besar yang tersebar di seluruh Indonesia, tapi juga menaungi pembangunan beberapa properti termasuk apartemen mewah.
Hati Adam mencelos saat membayangkan bilamana mantan istrinya ternyata memiliki hubungan spesial dengan atasannya tersebut. Tentu ia akan kalah telak. Malah akan kalah sebelum berperang. Tapi tunggu, ia masih memiliki 2 senjata ampun bila ia ingin kembali memenangkan hati Anggi, pertama anak-anaknya, dan kedua cinta. Dengan percaya dirinya, Adam meyakini kalau Anggi masih mencintainya sama seperti dulu. Sungguh pemikiran yang naif.
Kini Anggi telah tiba di lantai 5, namun saat pintu lift terbuka, tiba-tiba ponselnya berdering. Saat ia lihat siapa yang menghubunginya, ia langsung meminta izin Robi untuk mengangkat telepon itu sebentar.
"Pak Robi, boleh saya permisi sebentar untuk mengangkat telepon?" ucap Anggi
"Oh iya, Bu. Silahkan ." Lalau Anggi pun berjalan sedikit menjauh dan langsung mengangkat teleponnya.
"Halo, assalamualaikum,mas." ucap Anggi
"Halo Nggi, wa'alaikum salam."
"Iya mas, ada apa ya ?"
"Emang nggak boleh ya mas telepon kamu ? Atau hanya saat mas ada perlu saja boleh menelpon?" ucap orang di seberang sana dengan nada dibuat seolah-olah sedang merajuk
Anggi terkekeh mendengar nada bicara Diwangga yang menggemaskan. Ya ,itu Diwangga. Pria kaku itu seakan berubah 180° bila bersama Anggi dan anak-anaknya. Sepertinya Diwangga sudah terlampau nyaman dekat-dekat dengan Anggi dan anak-anaknya sehingga sifat yang hanya dikeluarkan di depan orang tuanya, bisa keluar juga di depan Anggi pun anak-anaknya.
"Idih, udah gede aja masih ngambek. Nggak malu apa sama Anggi ?"
"Ngapain malu sama kamu, kan aku memang sengaja biar bisa selalu buat kamu tersenyum." ucap Diwangga percaya diri
Anggi tersenyum lebar mendengar kejujuran Diwangga. Memang benar, Diwangga selalu bisa membuatnya tersenyum. Dia juga selalu menguatkan apalagi saat-saat terpuruknya saat baru bercerai. Bohong bila ia baik-baik saja saat perceraian itu terjadi. Nyatanya dia sedikit terpuruk. Di hadapan orang lain terutama anak-anaknya ia memang bisa memasang wajah kuat dan tegar, tapi ntah mengapa saat bersama Diwangga, ia bisa menunjukkan sisi rapuhnya.
"Makasih ya mas, mas emang selalu bisa buat aku tersenyum lagi."
"Makasih lagi, makasih lagi, nggak bosen apa bilang makasih?" sebal Diwangga
"Nggak kok. Anggi seneng bisa ngucapin makasih sama mas Angga. Mas Angga itu udah kayak pipi peri buat Anggi." ucap Anggi sambil cekikikan
"Hei, yang ada itu Mimi peri, mana ada pipi peri!" delik Diwangga. "Nggi, daripada kamu ngucapin makasih terus menerus yang justru bikin kuping mas rada budek, mending kamu kasi mas satu hal!" ucap Diwangga penuh arti
"Apa itu mas? Kalau bisa Anggi kasih, pasti Anggi kasih ke mas. Walau susah pun pasti Anggi usahain." ucap Anggi sungguh-sungguh
"Bener?" Diwangga meminta kepastian
"Bener mas."
"Mbak, maaf ganggu!" ucap Raju menjeda pembicaraan Anggi dan Diwangga ditelepon sembari menunjuk arloji yang melingkari lengannya. Raju berniat mengingatkan, mereka harus segera menemui CEO Angkasa Grup .
"Astaghfirullah, sorry Ju, mbak sampai kelupaan. Mas, maaf ya, nanti aja Anggi sambung lagi teleponnya. Sekarang Anggi lagi sibuk. Assalamualaikum."
"Wa'alaikum salam." belum sempat ia mendengar jawaban salam dari Diwangga, telepon sudah ia tutup terlebih dahulu.
Diwangga tersenyum penuh arti saat telepon sudah ditutup. 'Semoga kamu menepati ucapanmu, Nggi .' gumam Diwangga sambil menatap layar ponselnya yang telah ditutup Anggi duluan. Senyum tipis pun tampak di bibir seksinya yang merah karena tak pernah menyentuh benda bernikotin.
.
.
.
Tok tok tok...
Robi mengetuk pintu ruang kerja atasannya, setelah dipersilahkan masuk, ia pun masuk diikuti oleh Anggi dan Raju.
"Selamat datang Bu Anggi. Saya Aglian Saputra, CEO Angkasa Grup." ucap Aglian seraya mengulurkan tangannya untuk bersalaman yang direspon Anggi dengan baik.
"Terima kasih sambutannya,tuan. Saya Anggi dan ini Raju, asisten pribadi saya." ucap Anggi
"Raju." ucap Raju saat ia bersalaman dengan Aglian
"Wah, asisten pribadi anda masih sangat muda sekali." ucap Aglian." Mari silahkan duduk."
"Iya tuan, dia memang masih sangat muda, baru mulai masuk kuliah tahun ini."
"Wah, masih sangat muda sudah bisa jadi asisten pribadi seorang Anggi, pas6kamu sangat pintar." puji Aglian
"Pujian Anda terlalu berlebihan tuan, saya tidak sepintar itu. Saya juga masih butuh banyak bimbingan."
"Nah, itu yang menjadi ciri seseorang itu pintar. Ingat ilmu padi, makin berisi makin merunduk. Begitu juga orang pintar, makin pintar seseorang, makin rendah hati juga sifatnya. Ia tak mudah berpuas diri. Begitulah Anda." ucap Aglian sambil menyandarkan punggungnya di sofa yang sedang ia duduki
Anggi dan Raju saling menoleh lalu tersenyum lebar. Mereka tak menyangka seorang CEO sebesar Aglian yang memimpin sebuah perusahaan besar multinasional ternyata sangat ramah dan rendah hati.
"Oh ya Bu Anggi, karena ini sudah masuk jam makan siang, bagaimana kalau kita bicarakan masalah kerja sama kita sambil makan siang bersama. Tadi Robi sudah mereservasi restoran untuk kita makan siang." tawar Aglian, setelah sedikit menimbang, Anggi pun setuju.
Kini Anggi dan Aglian sedang berjalan bersisian saat keluar dari lift membuat banyak pasang mata menatap mereka. Mereka memuji paras Anggi dan Aglian yang mereka nilai sangat cocok dan serasi. Apalagi mereka menilai, wajah Anggi dan Aglian sangat mirip, hanya warna bola mata dan kulit yang membedakan. Bila bola mata Anggi berwarna kecoklatan dengan kulit putih seputih susu, maka bola mata Aglian berwarna hitam pekat dengan kulit sedikit eksotis, yaitu kecoklatan namun tetap terlihat sangat tampan dan gagah. Belum lagi rahang tegasnya yang ditumbuhi rambut tipis menambah kadar ketampanannya membuat wanita yang menatapnya menjadi meleleh.
Ternyata peristiwa itu pun tak luput dari sorot mata tajam Adam. Ia yang sedang menuruni eskalator, hendak makan siang dengan Yudi, tiba-tiba menghentikan langkahnya saat melihat bagaimana Anggi dengan santainya bercengkerama dengan atasannya tersebut. Ia juga dapat mendengar banyak pujian yang orang-orang lontarkan pada mantan istrinya tersebut apalagi saat ada yang mengatakan bahwa mereka cocok, sungguh pasangan yang serasi, membuat darah Adam seakan bergejolak. Ia mengepalkan tangannya erat hingga bukunya memutih. Ingin ia hampir mereka , lalu melepas pukulan tepat di hidung Aglian, namun keinginan itu ia tahan. Bagaimana pun Aglian adalah atasannya. Ia tak mau dipecat. Ia masih ingin bekerja di sana. Ia juga khawatir, Aglian orang besar, pasti ia tak akan melepaskannya dan dimasukkan ke balik jeruji .
Cepat, Yudi menepuk bahu Adam saat menyadari perubahan warna raut wajah Adam. Ia sadar arti ekspresi itu. Adam marah. Adam cemburu.
'Cih, udah gini baru loe cemburu, Dam. Di saat semua udah berakhir. Di saat nasi sudah jadi bubur. Maaf, bukan maksud gue doain yang jelek-jelek buat loe, tapi selamat menikmati penderitaan yang loe ciptain sendiri.' batin Yudi mencibir
Yah, begitulah Yudi. Mereka memang bersahabat. Tapi tanpa Adam ketahui, ia sangat benci pada seorang pengkhianat. Ia merupakan anak hasil broken home. Ayahnya berkhianat dan meninggalkan ia bertiga dengan ibu dan adiknya yang saat itu baru berusia 2 tahun. Karena itu ia sangat membenci pengkhianatan. Namun ia tak pernah menceritakan hal itu pada Adam. Cukup ia yang tau masa lalunya yang kelam.
aku malah suka karakternya Stefani ibunya nata coco 😁
keibuan banget sabar banget 🥰
yang ada dendam merenggut jiwa dan hati diri
bukann tambah bahagia yang ada tambah menderita oleh dendam itu sendiri