Adisti sudah mengabdikan hidupnya pada sang suami. Namun, ternyata semua sia-sia. Kesetiaan yang selalu dia pegang teguh akhirnya dikhianati. Janji yang terucap begitu manis dari bibir Bryan—suaminya, ternyata hanya kepalsuan.
Yang lebih membuatnya terluka, orang-orang yang selama ini dia sayangi justru ikut dalam kebohongan sang suami.
Mampukah Adisti menjalani kehidupan rumah tangganya yang sudah tidak sehat dan penuh kepalsuan?
Ataukah memilih berpisah dan memulai hidupnya yang baru?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon husna_az, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27. Mencari asisten lagi
"Nyonya, tadi siang Tuan Bryan datang. Dia ingin masuk ke dalam rumah, katanya ingin mengambil barang yang tertinggal di kamar," ucap Bik Rina saat sedang menemani majikannya makan malam.
Sejak kepergian Bryan dari rumah, Adisti memang sering meminta Bik Rina untuk menemaninya makan. Namun, wanita itu hanya menemani saja tanpa ikut makan. Padahal Adisti sudah memintanya untuk makan juga, tetapi Bik Rina menolak karena tidak mau dianggap lancang. Di rumah ini memang ada tiga orang asisten rumah tangga. Namun, hanya Bik Rina yang paling dekat dengan pemilik rumah.
Adisti juga sangat dipercayai wanita itu karena Bik Rina sudah bekerja pada keluarganya sejak dirinya masih kecil. Dia juga sudah memastikan jika pembantunya itu bukanlah orang jahat. Tentu saja Adisti mengetahui itu dari sang ayah yang sudah mencari asal-usul wanita paruh baya itu. Dia juga sudah bertanya pada Leo tentang orang-orang yang ada di rumah dan Bik Rina termasuk orang yang bisa dipercaya.
"Terus, apa Bibi mengizinkannya?"
"Tentu saja tidak! Saya tidak berani mengambil keputusan tanpa persetujuan dari Nyonya."
"Baguslah, tapi aku merasa aneh mendengar Bibi memanggil aku Nyonya. Dulu 'kan panggil Neng."
"Sekarang Nyonya sudah dewasa, sudah tidak pantas lagi dipanggil neng jadi, saya panggil Nyonya saja. Saya juga merasa nyaman dengan panggilan itu."
"Tapi 'kan Bibi sudah seperti keluarga sendiri."
"Tidak apa-apa, Nyonya. Saya juga menganggap Nyonya seperti anak sendiri jadi, jangan terlalu sungkan. Saya juga tidak ingin asisten rumah tangga yang lain, bersikap kurang ajar karena melihat saya yang tidak sopan. Saya juga tidak mau mereka manfaatkan kebaikan Nyonya."
"Ya sudahlah, terserah Bibi mau panggil aku apa saja," pungkas Adisti yang pasti kalah jika berdebat dengan Bik Rina. "Kalau mengenai Bryan, jangan pernah biarkan dia masuk rumah ini. Tidak ada lagi barang miliknya yang tertinggal di rumah ini. Saat dia memasuki rumah ini dia hanya membawa pakaian yang melekat di tubuhnya, masih untung aku memberi satu koper untuk dia bawa pulang."
"Iya, Nyonya. Saya juga berpikir seperti itu."
"Oh, iya, Bik. Naina apa kabar? Apa dia sudah lulus kuliah?" tanya Adisti yang tiba-tiba teringat tentang anak Bik Rina, yang saat ini sedang kuliah di tempat tinggalnya.
Bik Rina sering meminta bantuan pada Adisti selama Naina kuliah, terutama soal biaya. Tidak sedikit uang yang dikeluarkan wanita paruh baya itu demi putrinya. Naina gadis yang pandai, sayang jika tidak melanjutkan bangku kuliah. Semua pun terbukti dengan hasil yang memuaskan. Sang putri menjadi lulusan terbaik di kampusnya, membuat semua orang bangga padanya.
"Alhamdulillah, sudah lulus, Nyonya. hanya tinggal nunggu wisuda saja, dia juga berencana melamar pekerjaan di sana."
"Kenapa tidak di kota ini saja? Biar bisa deket sama Bibi, bukankah dia anak satu-satunya? Bibi juga pernah bilang ingin selalu dekat dengan dia?"
"Saat ini dia belum ada pekerjaan, Nyonya. Mau tinggal di mana? Sewa kos di kota juga sangat mahal."
"Kenapa harus sewa kos? Dia bisa tinggal di sini."
Bik Rina segera menggelengkan kepala dengan cepat. Dia benar-benar akan menjadi orang tidak tahu diri jika menerimanya. Sudah cukup kebaikan yang Adisti lakukan padanya, takut jika akan keterusan dan dia akan memanfaatkan kebaikan majikannya.
"Jangan, Nyonya. Tidak usah. Saya sudah cukup merepotkan Nyonya selama ini, saya tidak mau menambah beban Nyonya."
Adisti berdecak kesal. "Bibi ini seperti sama siapa saja. Saya sudah pernah bilang kalau kita ini keluarga jadi, tidak perlu sungkan."
"Iya, Nyonya, tapi sebagai manusia yang tahu diri saya tidak ingin merepotkan."
"Ya sudah, terserah Bibi saja. Bibi ini memang benar-benar keras kepala," sahut Adisti dengan nada kesal yang dibuat-buat.
Bik Ika hanya tersenyum menanggapinya, entah kenapa dia merasa bahagia saat seperti ini. Wanita paruh baya itu merasa senang karena Adisti memiliki hati seperti kedua orang tuanya, yang sangat baik pada siapa pun. Bik Ika berharap masalah yang saat ini menimpa majikannya itu segera bisa selesai. Dia juga sangat marah saat mendengar mengenai apa yang terjadi pada Adisti.
Wanita itu sangat geram pada pria yang tidak tahu diri. Padahal selama ini Adisti sudah sangat baik padanya, tapi malah dikhianati seperti itu. Bahkan Arsylla yang selama ini dianggap seperti saudara pun sama saja.
Setelah selesai makan malam, Adisti kembali ke kamar. Tepat saat itu ponselnya berdering, ada panggilan masuk dari Leo. Segera wanita itu mengangkat panggilan, dia yakin pasti ada sesuatu yang penting yang ingin disampaikan. Adisti juga tidak sabar ingin mendapatkan jawaban.
"Apa kamu sudah menemukan jawabannya?" tanya Adisti yang tidak ingin berbasa-basi.
"Sesuai dengan keinginanmu, aku sudah mencari tahu tentang Nadia. Kamu tidak perlu khawatir, dia orang yang baik dan setia padamu, tapi kamu juga perlu hati-hati karena dia orang yang mudah terpengaruh dan mudah kasihan pada orang lain. Aku takut jika ada seseorang yang ingin memanfaatkannya."
"Katakan saja yang sejujurnya, tidak usah bertele-tele," sahut Adisti yang sudah kesal dengan jawaban pria itu.
Leo tertawa di seberang sana, ternyata lawan bicaranya orang yang sangat pandai dan mengerti apa yang dia katakan. "Saat ini dia sering berhubungan, tidak ... lebih tepatnya saling berkirim pesan dengan Bryan. Suamimu itu sering menanyakan apa saja kegiatanmu padanya dan dengan lugunya dia menjawab semuanya dengan detail. Itu semua dia lakukan karena bujuk rayu suamimu, yang mengatakan masih mencintaimu dan ingin kembali bersama. Aku tidak tahu apa tujuannya jadi, aku harap kamu berhati-hati. Aku tidak tahu bagaimana isi hati seseorang."
"Aku mengerti. Terima kasih atas informasinya. Aku akan lebih berhati-hati. Jika ada sesuatu yang kamu curigai kamu bisa katakan padaku."
"Tentu, aku juga akan mengawasinya dari sini, kebetulan juga aku masih menyadap ponsel Nadia."
"Bagus, segera hubungi aku kalau ada suatu. Terima kasih atas bantuannya."
Adisti pun mengakhiri panggilan, tidak lupa juga mengirimkan sejumlah uang ke rekening Leo dengan jumlah yang tidak sedikit. Dia cukup lega karena Nadia bukanlah penghianat. Namun, wanita itu masih merasa khawatir, takut jika asistennya itu berubah pikiran. Adisti hanya bisa berdoa agar Tuhan melindunginya dari marabahaya.
"Aku memerlukan seseorang yang bisa aku percaya, tidak mungkin selamanya aku dihantui rasa takut seperti ini," gumam Adisti.
Tiba-tiba pikirannya tertuju pada anak Bik Rina. Sepertinya gadis itu cocok untuk bekerja padanya. Kerjaannya akhir-akhir ini juga sangat menumpuk, menambah asisten tidak masalah bukan? Adisti segera keluar dan mencari keberadaan Bik Rina. Ternyata wanita itu ada di dapur sedang mencuci piring.
"Bik Rina, bisa bicara sebentar! Biar pekerjaan itu yang lain saja yang mengerjakan."
"Iya, Nyonya," jawab Bik Rina yang segera mengikuti langkah Adisti menuju ruang keluarga.
Di sana keduanya duduk di sofa. Adisti pun segera mengatakan apa yang dia inginkan.
"Bik, tadi Bibi berkata kalau Naina belum bekerja, apa Bibi mengizinkan jika saya ingin memperkerjakannya? Saya butuh seorang asisten."
Bik Rina tentu saja senang, tetapi sekaligus terkejut karena merasa putrinya belum pantas untuk menjadi seorang asisten. Naina juga belum memiliki pengalaman sama sekali.
"Bukannya Nyonya sudah memiliki asisten? Kenapa harus memilih Naina? Apalagi Naina juga tidak memiliki pengalaman apa-apa, takutnya nanti malah akan membuat pekerjaan menjadi berantakan," sahut Bik Rina yang merasa tidak enak.
"Tidak, Bik, pekerjaannya mudah, hanya membantu pekerjaanku saja. Nanti juga seiring berjalannya waktu dia akan terbiasa. Lagi pula semua pekerjaan memang awalnya susah."
"Tapi tetap saja Bibi merasa tidak enak."
"Aku butuh seseorang yang bisa aku percaya untuk bekerja denganku. Bibi tahu sendiri kalau saat ini aku tidak hanya memegang butik, tapi juga ikut andil dalam saham perusahaan. Bibi pasti mengerti perasaanku. Aku mohon bibi menyetujuinya."
Bik Rina pun merasa iba pada majikannya. Mau tidak mau akhirnya dia setuju, biarlah Naina sendiri yang memutuskan. "Baiklah, tapi Bibi tanyakan dulu pada Naina. Bibi juga tidak tahu dia mau atau tidak karena dia pernah berkata ingin bekerja di sebuah perusahaan."
"Iya, Bik. Aku mengerti, aku juga tidak akan memaksa jika memang Naina menolak, tapi kalau bisa tolong diusahakan," pinta Adisti dengan sedikit memohon.
"Iya, setelah ini saya akan menghubunginya."
Adisti mengangguk sambil tersenyum. Jawaban apa pun yang akan disampaikan oleh Naina nanti dia menerimanya dengan lapang dada.