Dalam satu hari hidup Almira berubah drastis setelah menggantikan kakaknya menikah dengan King Alfindra. CEO yang kejam dan dingin.
Apakah Almira sanggup menghadapi Alfin, suami yang ternyata terobsesi pada kakaknya? Belum lagi mantan kekasih sang suami yang menjadi pengganggu diantara mereka.
Atau Almira akan menyerah setelah Salma kembali dan berusaha mengusik pernikahannya?
Yuk simak ceritanya, semoga suka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mimah e Gibran, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27. Salah paham
Dua hari ini, Hana hanya berdiam diri di kamar. Bahkan ia tak punya daya bersitatap dengan Anton, Menghindar, mengurung dirinya dan mengabaikan beberapa pesan Wildan hingga pemuda itu khawatir dan nekat mendatangi kediaman Anton.
Wildan menghentikan mobilnya, gerbang tinggi menjulang dengan halaman kotor yang terekpos mata. Apa rumah ini tak berpenghuni, pikirnya.
Ting tong...
Tak ada sahutan, gerbang yang hanya setinggi satu meter lebih sedikit itu tak terkunci. Wildan melesak masuk, dan langsung mengetuk pintu utama yang tertutup.
Ceklek, penampilan Hana yang acak-acakan menjadi pemandangan pertama Wildan setelah beberapa menit menunggu.
"Na..." Lirih Wildan, ia langsung meraih Hana ke dalam pelukan, akan tetapi gadis itu mendorongnya dan berontak sekuat tenaga.
"Lepas, ngapain kamu kesini?" ketusnya. Meski penampilannya jauh dari seorang Hana sebelumnya, ia masih sama mode galak.
"Aku kangen, kamu kenapa susah dihubungi? Gimana hasilnya, kamu hamil kan?" tanya Wildan menuntut jawaban.
Hana mendelik sinis, melepas kasar cengkraman Wildan di kedua bahunya kemudian menampar laki-laki itu sebagai luapan emosi.
Plakk...
"Aku benci sama kamu," desisnya.
"Pergi, kamu pergi sana Will. Aku aku akan gugurin anak ini," desisnya galak.
"Sadar Na! Aku sanggup kok nikahin kamu, dimana papamu? Kalau perlu sekarang juga aku lamar kamu," putus Wildan bersungguh-sungguh.
"Memangnya kamu punya apa? Kerja aja masih karyawan sok-sok mau nikahin aku."
"Astaga, Na! Yang penting kan halal, lagian gaji aku juga cukup buat nafkahin kamu. Please Na, aku mau tanggung jawab dan kita besarin anak kita sama-sama!"
Hana melotot tak percaya, memilih mendorong tubuh Wildan agar tetap berada di luar dan segera menutup pintu kemudian menguncinya.
"Kenapa nasib aku sial banget harus hamil anak kamu, Will." Hana merosot terduduk di lantai. Ia sungguh iri pada keberuntungan Almira yang mendapat nasib lebih baik setelah menggantikannya.
"Hana!"
Tok tok tok...
"Na, buka pintunya sayang!" pinta Wildan masih bertahan di depan menunggu.
"Puas kamu Will, puas kan udah bikin aku kaya gini. Nyesel aku kabur sama kamu, nyesel aku!" teriaknya bersama isakan pilu.
"Aku pasti tanggung jawab," gumam Wildan pelan.
Menunggui Hana tak akan mendapatkan hasil, lebih baik ia menemui Anton dan meminta maaf sekaligus restu.
***
Puas menikmati liburan dadakan karena kabur, mereka akhirnya kembali ke mansion. Tak ingin memastikan lebih dulu pada Bambang, Budi atau Madel. Almira dan Alfindra sepakat akan menghadapi Silvia dengan bibir terbuka seandainya wanita itu masih tinggal di mansion Alfindra.
"T-tuan, sudah pulang?" tanya Budi, kemudian Bambang saling lirik dan sikut-sikutan. Mereka tengah bermain catur di depan. Sementara Joko sedang membersihkan halaman depan yang mulai kotor oleh dedaunan.
Alfindra membawa masuk mobil dan memarkirkannya di garasi. Senyum secerah iklan pep sodent tercipta, mobil mamanya tak ada artinya wanita itu tak lagi menguasai mansionnya.
"Bud?" panggilnya.
Budi mendekat, "ya, Tuan? Ada apa?"
"Mama masih disini atau?"
Budi menga ngguk, "masih Tuan, tapi sedang keluar sejak pagi tadi." Alfindra mengangguk.
"Ya sudah, kamu balik sana!" titahnya diangguki Budi.
"Gimana, Mas?" tanya Almira.
"Gimana lagi, hadapi aja! Yuk turun," ajak Alfindra.
"Yakin nih, Mas? Kok aku ragu ya," gumam Almira.
"Kamu takut?"
Almira menggeleng, "enggak sih, lebih ke minder aja. Secara aku enggak kuliah, nggak kerja cuma jadi beban kamu aja. Apa aku balik kerja di caffe lagi ya," gumam Almira sebelum benar-benar turun.
Alfindra terdiam, ia berjalan masuk membawa paperbag tanpa berniat menjawab Almira.
"Gimana? boleh nggak Mas?" mereka menaiki tangga menuju kamar.
Ceklek, beberapa hari meninggakan kamar membuat Almira merindukan kamar berdesain maskulin ini.
"Aku tiduran bentar, Mas!" Almira sudah mode rebah-rebah manja saking capeknya. Meski banyak seneng karena tanpa minta Alfindra sudah mengajaknya berlibur, meski berujung digempur.
"Cuci tangan, cuci kaki, ganti baju," omelnya.
"Nanti aja lah mas, mager banget!" tolak Almira mendapat pelototan tajam dari Alfindra.
"Jangan banyak alasan, kotor! Atau kamu mau tidur di kamar pelayan lagi," ancamnya membuat Almira bergerak malas bangun dan ke kamar mandi.
Selesai bebersih mereka kembali meraih mimpi dengan tidur siang.
Sementara di salah satu sudut caffe, Silvia sedang makan siang bersama Salma karena gadis itu sedang luang. Setelah mendengar keluhan Silvia tentang Alfindra yang bahkan rela tak ke kantor demi menghindari mamanya jangan-jangan ada kaitan dengan hasil pemeriksaan beberapa hari yang lalu.
"Tante tau nggak, beberapa hari yang lalu aku habis meriksa orang!"
"Memang siapa yang kamu periksa?" tanya Silvia.
"Hana Arraya, Tante! kekasih lain Alfindra," seru Salma sebelum menyeruput kembali capucino latte-nya.
"Masa sih, Sal?"
"Aku pernah pergokin Alfindra nyimpen banyak fotonya. Dan tiap kami jalan bareng selalu saja gak sengaja ketemu. Kayak kebetulan tapi gimana ya, masalahnya kemarin cewek yang bernama Hana itu positif hamil," ujar Salma.
Glekk... "hamil?"
"Iya, Tante! Hamil, baru empat minggu itu artinya baru sebulan!" seru Salma.
Lalu tiba-tiba tertunduk sedih, "aku inget percakapan kami saat-saat masih pacaran tante. Alfindra memang pengen ngajakin nikah karena dia pengen segera punya anak!" akunya membuat Silvia ikut terdiam.
"Salma, kamu yakin? Siapa tadi namanya...?" tanya Silvia lupa. Bahkan nama Almira saja ia lupa malah gara-gara denger Salma ngomong jadi inget mereka pacaran baru satu bulan.
Tiba-tiba Silvia menutup mulutnya tak percaya, "kebetulan macam apa ini?" pikirnya.
"Kemarin juga tante sempet ketemu di kantor Alfindra. Bahkan ja lang itu sempat debat sama Tante bentar, kayaknya Tante mesti minta bantuan suami Tante buat menyelidiki kelakuan Alfindra!" tegas Silvia menahan geram.
"Sebenarnya aku agak kecewa sih Tante, karena Alfindra bilang dia gak akan nyentuh aku sebelum kita bener-bener udah nikah tapi dia malah hamilin wanita lain di belakang aku, bahkan di belakang Tante!" seru Salma sedih.
"Tante yang akan mengurus semuanya! Kamu tenang aja ya, fokus kerja aja dan jangan banyak fikiran." Silvia mengusap-usap lengan Salma. Gadis yang masih mengenakan balutan sneli itu tersenyum simpul menbalas kebaikan calon mertuanya, Salma berharap ia masih bisa membuat Alfindra kembali padanya.
Mereka berpamitan, Salma kembali ke rumah sakit sementara Silvia pulang ke mansion Alfindra meski di mansion itu tak ada pelayan yang akan melayaninya. Silvia bertekad, ia akan bertahan sampai putranya pulang dan melihat siapa yang akan kalah.
Sampai di mansion, Joko membukakan gerbang.
Senyum Silvia terbit kala melihat mobil Alfindra terparkir di garasi.
"Sudah kuduga, dia pasti berfikir aku sudah pulang ke rumah utama hehe." Silvia turun dan berjalan santai masuk ke dalam mansion yang memang tak dikunci. Namun, senyum itu pudar kala matanya bersitatap dengan Almira hendak keluar membuat Silvia menghadang wanita itu dengan emosi.
"Jadi kamu? Gara-gara kamu anak saya gak pulang berhari-hari," hardiknya tak dijawab oleh Almira.
"Kamu pasti yang sembunyiin anak saya, kamu ja lang tidak tahu diri!" Silvia tanpa diduga mendekat dan menjambak rambut Almira.
"Tante, lepas!" pekik Almira menjerit, ibu mertuanya ini selain sinting juga rada-rada brutal.
"Wanita seperti kamu memang harus dikasih pelajaran, pergi kamu dari sini!" usir Silvia.