Inara harus menelan pil pahit ketika Hamdan, sang suami, dan keluarganya tak mampu menerima kelahiran anak mereka yang istimewa. Dicerai dan diusir bersama bayinya, Inara terpuruk, merasa sebatang kara dan kehilangan arah.
Titik balik datang saat ia bertemu dengan seorang ibu Lansia yang kesepian. Mereka berbagi hidup, memulai lembaran baru dari nol. Berkat ketabahan dan perjuangannya, takdir berbalik. Inara perlahan bangkit, membangun kembali kehidupannya yang sempat hancur demi putra tercintanya.
Di sisi lain, Rayyan Witjaksono, seorang duda kaya yang terluka oleh pengkhianatan istrinya akibat kondisi impoten yang dialaminya. Pasrah dengan nasibnya, sang ibu berinisiatif mencarikan pendamping hidup yang tulus, yang mau menerima segala kekurangannya. Takdir mempertemukan sang ibu dengan Inara,ia gigih berjuang agar Inara bersedia menikah dengan Rayyan.
Akankah Inara, mau menerima Rayyan Witjaksono dan memulai babak baru dalam hidupnya, lengkap dengan segala kerumitan masa lalu mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eli Priwanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Membeli cincin pernikahan
Setelah menandatangani kontrak pernikahan, Rayyan tersenyum puas, dan ia segera membawa Inara pergi ke toko perhiasan untuk membeli cincin pernikahan. Inara tak berani jalan sejajar dengan Rayyan, ia selalu berada di belakangnya, sedangkan Rayyan cukup puas, ternyata Inara sangat tahu diri akan posisinya, dimatanya calon istri hanyalah status, tak akan pernah menaikan derajatnya yang hanya wanita rendahan, itulah yang saat ini Rayyan pandang terhadap Inara.
Rayyan membuka pintu ganda megah bertabur ukiran emas di atasnya. Begitu mereka melangkah masuk, udara dingin ber AC langsung menyambut, membawa aroma mewah dari parfum mahal dan kemewahan yang terpancar.
Di balik etalase kaca yang berkilauan, ribuan permata dan logam mulia tampak menari di bawah cahaya lampu sorot yang terprogram apik.
Inara refleks menahan napas. Matanya membulat, memancarkan keterkejutan sekaligus kekaguman. Ini adalah kali pertamanya menginjakkan kaki di tempat semegah ini. Selama menikah dengan Hamdan, tempat seperti ini tak pernah ada dalam daftar kunjungan mereka. Perhiasan yang Hamdan berikan pun hanya sesekali, dibeli di toko biasa.
Kilauan yang terpantul dari berlian-berlian terbaik dunia terasa memanjakan mata, membuatnya seperti berada di dalam istana dongeng yang penuh harta karun.
Seorang karyawan wanita dengan seragam elegan dan senyum profesional segera menghampiri mereka.
"Selamat datang di Victoria Jewelry. Saya Luna. Ada yang bisa kami bantu, Tuan, Nyonya?"
Rayyan, yang terbiasa dengan sambutan seperti ini, hanya mengangguk tipis. Ia melirik sekilas ke arah Inara yang masih tampak terpukau.
"Kami sudah membuat janji. Kami ingin melihat koleksi cincin pernikahan terbaik yang Anda miliki."
"Tentu saja, Tuan. Mari ikut saya ke Ruangan VVIP kami, di sana, Anda bisa melihat dan mencoba koleksi kami dengan lebih nyaman dan privat."
Rayyan dan Inara dibimbing menuju sebuah ruangan kecil nan mewah, dilengkapi sofa kulit beludru dan meja kaca. Minuman disajikan dalam gelas kristal, dan suasana hening terasa eksklusif. Inara duduk dengan sedikit canggung, berusaha menyembunyikan kekagumannya.
Setelah mereka berdua duduk, Luna, ditemani seorang rekan, membawa beberapa baki perhiasan beludru hitam yang berisi beberapa set cincin berlian paling memesona.
"Tuan, Nyonya, ini adalah koleksi unggulan kami, 'Eternal Promise'. Terdiri dari berlian D-Color, Flawless Clarity, dengan potongan Brilliant Cut terbaik. Ini adalah pilihan favorit para eksekutif dan keluarga terhormat di Jakarta."
Luna menunjukkan satu set cincin berdesain minimalis namun elegan, dengan berlian tunggal berukuran besar sebagai mata utamanya.
"Cincin wanita ini ditaburi micro-pave di sekelilingnya, dan cincin prianya menggunakan Platinum murni untuk daya tahan maksimal. Bagaimana menurut Anda, Nyonya?"
Inara terkesiap melihat kilauan berlian itu. Ia nyaris tidak berani menyentuhnya.
Inara berbisik perlahan. "Sangat... indah. Harganya pasti sangat tinggi."
Rayyan, menyadari bisikan Inara, memilih untuk bersikap seolah-olah harga bukanlah masalah. Walau perasaannya terhadap Inara biasa saja, ia adalah seorang Rayyan Witjaksono, pengusaha Fashion sukses yang harus menjaga nama baiknya di mata publik. Membeli cincin murah untuk calon istri akan merusak citranya, dan itu tidak bisa ia biarkan.
Rayyan berbicara dengan nada tegas dan berwibawa.
"Jangan bahas harga, Inara. Kita mencari yang terbaik."
Ia lalu menatap Luna dengan pandangan serius.
"Dengar, Luna, saya tidak ingin main-main. Saya ingin memesan cincin pernikahan. Bukan cincin tunangan, tapi cincin pernikahan terbaik yang ada di toko ini. Saya ingin berlian yang paling langka, desain yang paling eksklusif, dan pengerjaan yang paling cepat."
Rayyan mendorong baki koleksi di depannya sedikit menjauh.
"Tunjukkan pada saya apa yang Anda sembunyikan di balik ini. Koleksi yang paling mahal dan paling sulit didapatkan. Saya ingin cincin yang bisa mewakili betapa seriusnya pernikahan ini, bukan hanya di mata publik, tapi juga untuk kepuasan pribadi saya."
Luna dan rekannya saling pandang, tersenyum lebar. Mereka tahu, mereka baru saja mendapatkan klien VVIP yang sesungguhnya.
"Baik, Tuan Rayyan. Kami mengerti. Kami akan membawa koleksi yang hanya kami tunjukkan pada klien dengan permintaan spesifik. Mohon tunggu sebentar."
Luna dan rekannya kembali ke Ruangan VVIP. Kali ini, mereka membawa sebuah kotak kayu mewah berlapis beludru merah yang tampak lebih sakral. Aroma kayu cendana tercium lembut begitu kotak itu diletakkan di atas meja kaca.
"Tuan Rayyan, ini adalah 'The Solitaire Legacy'. Berlian tunggal di cincin ini memiliki sejarah. Berasal dari tambang langka, dengan spesifikasi 3.5 karat, Triple Excellent Cut, dan sertifikasi GIA terbaik. Kami hanya membuat lima di seluruh dunia."
Luna membuka kotak tersebut dengan gerakan yang anggun. Di dalamnya, terpantul cahaya yang jauh lebih tajam dan memukau dari berlian-berlian sebelumnya. Cincin wanita itu memiliki desain yang megah namun tak berlebihan, dengan pilar-pilar kecil menopang berlian tunggal yang berkilauan intens.
Rayyan mencondongkan tubuh, matanya mengamati detail pengerjaan. Sebagai pengusaha yang menghargai kualitas, ia tahu bahwa ini adalah barang yang sepadan dengan harganya.
"Bagus. Saya suka detailnya. Desainnya mencerminkan kekuatan dan kemewahan, tanpa terlihat norak."
Ia lalu meraih cincin pria yang serasi, terbuat dari White Gold dengan finishing doff yang maskulin.
Tanpa banyak bicara, Rayyan mengulurkan tangan ke sampingnya.
Inara sedang asyik memperhatikan kilauan berlian lain di baki yang masih terbuka, membayangkan bagaimana rasanya memiliki perhiasan semahal itu. Ia terlonjak kaget saat pergelangan tangannya tiba-tiba digenggam cukup kasar oleh Rayyan.
"T...tuan Rayyan!" Ucapnya tergagap
Rayyan tidak mengindahkan keterkejutan Inara. Ia meraih tangan kiri Inara dan dengan hati-hati menyematkan cincin berlian 'The Solitaire Legacy' ke jari manisnya.
Kilauan berlian 3.5 karat itu langsung menarik seluruh cahaya ruangan. Yang lebih mengejutkan, cincin itu pas di jari manis Inara, seolah memang dibuat khusus untuknya.
Rayyan menatap cincin yang melingkar sempurna itu. Sebuah senyum tipis, nyaris tak terlihat, tersungging di bibirnya.
"Lihat, Luna. Tidak perlu penyesuaian ukuran. Cincin terbaik memang tahu ke mana ia harus kembali."
Ia lalu menatap Inara, yang masih terpana dengan kilauan di jarinya.
"Kami ambil yang ini. Tolong proses administrasinya. Saya ingin cincin ini segera diamankan dan disiapkan untuk acara pernikahan. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk semua dokumen dan penyerahan?"
"Satu jam, Tuan Rayyan. Selamat, Anda membuat pilihan yang sempurna."
Tidak lama kemudian, Rayyan dan Inara meninggalkan Ruangan VVIP. Rayyan berjalan mendahului, sementara Inara berjalan di sampingnya, masih sesekali melirik ke jari manisnya, merasa seperti memegang sesuatu yang sangat berharga dan rapuh.
Saat mereka hampir mencapai pintu keluar, mereka berpapasan dengan dua wanita sosialita yang baru saja memasuki area lobby Victoria Jewelry. Salah satunya adalah Nyonya Amara, mantan ibu mertua Inara.
Nyonya Amara, yang baru saja selesai sesi facial mahal, langsung menghentikan langkahnya. Matanya memicing, menatap tak percaya pada sosok yang baru saja keluar dari area VVIP toko perhiasan termahal dan bergengsi di Jakarta itu.
Ia mengenali punggung tegap Rayyan dan juga, sayangnya, wajah Inara.
Dalam hati, Nyonya Amara bergetar menahan amarah
'Tidak mungkin! Dia... Inara? Berada di Victoria Jewelry? Dan dia bersama... Tuan Rayyan Witjaksono!'
Nyonya Amara mengepalkan erat tas Hermes di tangannya. Rasa kesal dan cemburu langsung membakar dirinya. Tuan Rayyan adalah saingan bisnis utama suaminya, Tuan Santoso, dan kini pria sukses itu bersama mantan menantunya di toko perhiasan!
Semua yang Santoso katakan waktu itu, ketika melihat Inara dan Rayyan di restoran mewah, kini telah terbukti.
Nyonya Amara menggeram pelan. "Cih, kenapa wanita sialan itu bisa bersama dengan Tuan Rayyan, di toko perhiasan pula? Ada hubungan apa Inara dengan Tuan Rayyan?"
Teman sosialita Nyonya Amara, yakni Nyonya Imelda, menoleh kebingungan melihat ekspresi Amara yang tiba-tiba tegang.
"Ara, kau lihat apa? Wajahmu pucat sekali."
Imelda mengikuti arah pandang Amara. Ia melihat Rayyan yang tampak menawan dalam setelan jasnya, dan seorang wanita yang ia anggap sebagai 'sekretaris cantik' di sampingnya.
"Loh bukankah itu Rayyan Witjaksono? Si pengusaha tampan pemilik brand Lewwis yang sedang naik daun? Eh Amara, aku salah satu penikmat fashion nya loh, malah aku memiliki beberapa koleksi terbarunya. Wah, pokoknya desainnya kali ini sangat bagus, kamu harus memiliki salah satunya. Setelah ini bagaimana kalau kita mencarinya, aku yakin kamu suka."
Mendengar nama brand fashion Rayyan, Amara langsung teringat pada rencana awalnya datang ke sana. Ia harus berpura-pura tenang dan menggunakan kesempatan ini untuk mencari tahu lebih banyak.
Amara memaksakan senyum di hadapan temannya
"Benar juga kamu, Aku memang sedang mencari pakaian baru. Baiklah, Imelda, ayo kita cari koleksi Lewwis. Aku juga penasaran."
Nyonya Amara mengangguk, berusaha terlihat antusias, padahal pikirannya kini hanya terpusat pada satu hal, hubungan Inara dan Rayyan.