Selama tiga tahun menikah, Elena mencintai suaminya sepenuh hati, bahkan ketika dunia menuduhnya mandul.
Namun cinta tak cukup bagi seorang pria yang haus akan "keturunan".
Tanpa sepengetahuannya, suaminya diam-diam tidur dengan wanita lain dan berkata akan menikahinya tanpa mau menceraikan Elena.
Tapi takdir membawanya bertemu dengan Hans Morelli, seorang duda, CEO dengan satu anak laki-laki. Pertemuan yang seharusnya singkat, berubah menjadi titik balik hidup Elena. ketika bocah kecil itu memanggil Elena dengan sebutan;
"Mama."
Mampukah Elena lari dari suaminya dan menemukan takdir baru sebagai seorang ibu yang tidak bisa ia dapatkan saat bersama suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34. THEO TERLUKA
Ruang kantor Alvarez Corporation siang itu terasa begitu sibuk. Deretan karyawan berlalu-lalang membawa berkas, percakapan telepon bertumpuk dengan suara ketikan komputer, dan aroma kopi hitam yang masih mengepul memenuhi udara. Elena duduk di ruang rapat lantai delapan, tepat di samping ayahnya, Gerald Alvarez, pria paruh baya dengan tatapan tajam dan reputasi bisnis yang membuat banyak kompetitor gemetar.
Namun meski Elena sudah terbiasa berada di ruangan seperti ini, ruang yang penuh strategi, angka, dan keputusan besar, hari ini ia datang bukan sebagai pewaris perusahaan, apalagi sebagai sosok sosialita yang dikenal publik. Ia datang sebagai anak yang membantu ayahnya menyelesaikan proposal proyek baru, proyek ekspansi properti ke kawasan Pasadena.
"Kau sudah memeriksa kontrak bagian ketiga?" tanya Gerald tanpa mengalihkan pandangan dari layar.
"Sudah," jawab Elena pelan, sambil membalik halaman laporan. "Klausul biaya pemeliharaan tahunan masih terlalu rendah. Kita harus naikkan minimal dua belas persen atau kita yang rugi."
Gerald tersenyum. Ada kebanggaan di sana, yang hanya muncul ketika membicarakan Elena. "Instingmu masih tajam. Seperti biasa."
Elena hanya mengangguk sedikit, merapikan rambut cokelat ke belakang telinga. Ia tak pernah benar-benar nyaman menerima pujian, meski ia tahu ia layak mendapatkannya. Sejak kecil, ia selalu diajarkan untuk bekerja lebih keras daripada orang lain, sekalipun dunia sudah memberinya segalanya.
Dan kini, menjadi ibu tunggal untuk bocah lima tahun membuatnya mengerti seperti apa rasanya ayah dan ibu Elena mendidik Elena selama ini.
Namun semua keanggunan dan ketenangannya runtuh dalam satu detik ketika ponselnya bergetar.
TK Rosewood Calling.
Jantung Elena langsung mengetat, seakan ada tangan tak terlihat yang mencengkeram kuat dari dalam.
Tidak mungkin.
Theo tidak pernah bermasalah di sekolah. Bahkan guru-guru sering memujinya sebagai anak yang sopan, cerdas, dan penyayang.
Elena menelan ludah, lalu menggeser ikon hijau.
"Halo, ini Elena," suaranya lembut tapi jelas.
"Mrs. Morelli?" Suara seorang guru terdengar di seberang, tegang, ragu, seperti sedang memilih kata.
"Ya, benar. Ada apa? Apakah ini tentang Theo?"
Ada jeda. Terlalu panjang untuk sesuatu yang baik.
"Bisakah Anda datang ke sekolah sekarang? Kami ... perlu membicarakan sesuatu mengenai putra Anda," kata sang guru.
Darah di wajah Elena seperti menguap. Tangannya dingin.
"Ada apa dengan Theo?" tanyanya lebih cepat daripada napasnya. "Apakah dia sakit? Apakah dia terluka?"
"Kami jelaskan ketika Anda sudah sampai, Mrs. Morelli," ucap sang guru.
Jika sebelumnya Elena hanya cemas, kini rasa takutnya berubah menjadi teror.
Karena sekolah tidak akan pernah meminta orang tua datang jika itu hanya flu biasa, atau nilai pelajaran, atau laporan perkembangan. Tidak dengan nada seperti itu.
Elena berdiri begitu mendadak sampai kursinya bergeser keras.
Gerald langsung menoleh. "Apa yang terjadi?"
Elena mencoba bicara, tapi suaranya pecah. “TK Theo menelepon. Mereka ingin aku datang. Tentang Theo."
Hanya itu yang ia butuhkan untuk membuat Gerald bangkit dari tempat duduknya. Dalam sekejap, rapat, dokumen, bisnis, semuanya tak lagi penting.
"Elena, tenang dulu," ucap Gerald, menyentuh bahu putrinya. "Theo pasti baik-baik saja."
Tapi Elena menggeleng. Nalurinya, naluri seorang ibu ... tidak bisa tenang.
"Aku harus pergi sekarang, Dad," kata Elena.
Gerald mengangguk. "Pergilah. Jangan pikirkan kantor. Hubungi aku setelah kau sampai."
Elena tak perlu mendengar dua kali. Ia meraih tasnya dan melangkah cepat menuju lift, tidak peduli pandangan penasaran para karyawan yang menyadari bahwa sikap Elena berubah drastis.
Begitu pintu lift menutup, barulah Elena menyadari betapa kerasnya detak jantungnya. Ia menarik napas panjang, tapi tidak membantu. Ia memasukkan kunci mobil ke genggamannya terlalu erat sampai buku jarinya memutih.
Theo, tolong jangan apa-apa, Nak, batin Elena.
Los Angeles siang hari biasanya tampak menyilaukan, matahari tinggi, lalu lintas padat, suara klakson bersahutan. Tapi bagi Elena, dunia terasa seperti kabur. Tangannya bergetar saat menyalakan mobil, dan begitu ban berputar meninggalkan gedung, pikirannya langsung dipenuhi kemungkinan terburuk.
Bagaimana kalau Theo jatuh dari playground? Bagaimana kalau ada kecelakaan? Bagaimana kalau ada yang menyakitinya? Bagaimana kalau-
"Tidak," bisiknya pada diri sendiri, mencoba bernapas. "Jangan panik. Theo kuat. Theo baik-baik saja."
Tapi kalimat itu tidak menenangkan.
Karena Theo bukan hanya anak. Theo adalah hidupnya.
Anak laki-laki bermata hazel yang ia rawat, ia peluk, ia jaga dengan seluruh jiwanya. Anak yang ia pilih untuk dicintai bahkan sebelum ia tahu bagaimana rasanya menjadi seorang ibu. Anak yang ia perjuangkan, meski dunia pernah mencoba merenggutnya.
Bahkan setelah menikah dengan Hans, rasa takut kehilangan itu tidak pernah benar-benar hilang.
Mobil melaju lebih cepat dari biasanya, tapi Elena tetap berhati-hati. Ia tidak boleh gegabah. Theo membutuhkan dirinya utuh, bukan sebagai ibu yang panik dan ceroboh.
Hatinya mengetuk-ngetuk tulang rusuk seperti ingin keluar.
"Apa yang terjadi, Sayang?" gumam Elena, suaranya nyaris pecah.
Ia membayangkan wajah kecil Theo, senyum lebarnya, tawa ringannya, cara ia memanggil 'Mama' dengan penuh cinta. Theo adalah kebahagiaan yang tidak pernah ia rencanakan, tapi justru paling ia syukuri.
Jadi ketika seseorang menyentuh kebahagiaannya, Elena berubah.
Ia bisa menjadi sangat tenang, atau sangat berbahaya.
Butuh hampir dua puluh menit untuk sampai di TK Rosewood, meski terasa seperti berjam-jam. Begitu memasuki halaman sekolah, Elena langsung keluar dari mobil bahkan sebelum mesin benar-benar mati.
Seorang guru sudah menunggunya di depan pintu lobi, Miss. Hannah, guru kelas Theo. Ekspresinya gugup, seolah takut memberi kabar buruk.
"Mrs. Morelli ... terima kasih sudah datang begitu cepat," ujar Miss. Hannah pelan.
"Apa yang terjadi?" Elena bertanya tanpa basa-basi. Nada suaranya lembut, tapi dingin, tajam, seperti seseorang yang siap menghadapi apa pun.
Miss Hannah tersentak kecil, lalu memberi isyarat agar Elena mengikutinya. "Silakan ikut saya ke ruang administrasi. Theo sedang menunggu di sana."
Jantung Elena serasa berhenti. "Dia terluka?"
Guru itu ragu sejenak, lalu mengangguk pelan. "Ada beberapa memar dan goresan ... tapi sudah kami bersihkan."
Dunia Elena runtuh.
Langkahnya membesar, hampir berlari menyusuri koridor pastel. Dinding yang biasanya terlihat ceria dengan gambar-gambar krayon kini terasa seperti wallpaper rumah sakit. Setiap langkah terasa terlalu lambat, terlalu jauh.
Ketika Miss Hannah membuka pintu ruang administrasi, Elena hampir tidak bisa bernapas.
Theo duduk sendirian di kursi kecil, kaki menggantung tanpa menapak lantai, tangan mungilnya saling menggenggam gelisah. Dan wajahnya ....
Luka.
Memar kecil di pipi. Garis sayatan di dagu. Kemerahan di bawah mata. Rambutnya sedikit berantakan, seolah ada yang menariknya.
Dunia Elena berhenti berputar.
"Theo?" panggil Elena, sebelum tubuhnya bereaksi lebih cepat daripada pikirannya.
Ia berlutut dan langsung memeluk Theo, erat, melindungi, seakan ia bisa menghapus rasa sakit hanya dengan sentuhan.
Theo tersentak kecil, lalu langsung balas memeluk, membenamkan wajahnya ke leher Elena seperti anak yang baru selamat dari badai.
"Mama ...," suaranya serak, gemetar, penuh ketakutan yang tidak pantas dimiliki anak usia enam tahun.
Elena menutup mata, dan air mata turun tanpa izin. "I’m here, Baby. Mama di sini. Kamu aman sekarang."
Tangannya mengusap kepala Theo, punggungnya, memastikan, memastikan lagi, bahwa anaknya masih utuh.
Setelah beberapa detik, Elena menarik napas dan menatap wajah putranya.
"Sayang, apa yang terjadi? Siapa yang melakukan ini?" tanya Elena, karena ia tahu Theo bukan anak yang suka berkelahi.
Theo menatap gurunya dulu ... takut. Seolah ia merasa bersalah.
Miss Hannah menelan ludah. "Theo dan Mason ... berkelahi."
Kalimat itu terasa seperti batu menghantam dada Elena.
Berkelahi?
Theo?
Anak manisnya? Anak yang selalu diajarkan untuk berbagi, meminta maaf, bersikap baik?
Elena memandang Theo lagi, lebih lembut kali ini. "Baby, kenapa Theo berkelahi?"
Theo menggigit bibirnya, mata hazelnya bergetar. Ia terlihat seperti sedang menimbang apakah ia akan dimarahi atau tidak.
Dan itulah yang paling menyakitkan ... Theo takut bukan karena luka, tapi karena takut mengecewakan Elena.
"M-Mason ...," suaranya kecil. "Dia jahat sama teman-teman. Terutama sama anak perempuan ... Theo tidak suka."
Elena merasakan sesuatu menyala di dadanya, bukan amarah, tapi perlindungan murni.
"Lalu?" tanya Elena pelan, penuh kesabaran.
Theo menarik napas pendek, hampir seperti menahan tangis. "Ada anak perempuan yang menangis ... Mason menganggu dia. Theo bilang jangan ganggu. Theo bilang itu tidak baik."
Elena menggenggam tangan kecil itu. "Good boy, Theo benar itu tidak baik."
Miss Hannah menunduk, matanya berkaca-kaca.
"Tapi Mason tidak suka," suara Theo melemah. "Dia dorong Theo. Terus dia bilang hal-hal jahat. Tentang Mama."
Elena membeku.
Napas Theo goyah dan air matanya jatuh. "Dia bilang Mama bukan Mama Theo. Dia bilang Mama tidak bisa punya anak ... jadi Theo bukan anak Mama."
Ruangan itu menjadi sunyi luar biasa.
Seolah oksigen hilang dari udara.
Elena tak bereaksi selama tiga detik, terlalu lama untuk ukuran dirinya. Karena kalimat itu seperti pisau, dan ia tahu benar bagaimana rasanya ditusuk oleh rumor yang sama.
Theo mengusap matanya dengan punggung tangan kecilnya. "Theo marah, Theo tidak suka Mason bilang seperti itu ... jadi Theo pukul."
Suara kecil itu pecah menjadi tangis.
Dan Elena merasakan sesuatu retak di dalam dirinya. Ia menarik Theo kembali ke pelukannya, memeluk lebih kuat, melindungi lebih dalam.
"Sayang, lihat Mama" suruh Elena lembut.
Theo menatapnya, mata merah, basah, hancur.
"Terima kasih sudah membela Mama," suara Elena pelan, namun tegas, penuh kebanggaan tulus. "Itu berarti Theo sayang sama Mama. Dan Mama juga sayang sama Theo, lebih dari apa pun."
Theo terisak, terkejut mendengar respons itu.
"Tapi ...," Elena menyentuh pipi Theo, lembut sekali. "Berkelahi bukan cara yang baik. Mama tidak mau Theo terluka. Theo ngerti?"
Theo mengangguk cepat, merasakan campuran lega dan penyesalan.
"Mama tidak marah. Mama hanya khawatir," lanjut Elena. "Nanti kita bilang ke Papa juga, ya?"
Theo mengangguk lagi, lalu pecah dalam pelukan Elena, memeluknya seperti dunia bisa runtuh kapan saja.
Elena kali ini tidak akan menahan marahnya. Semua orang boleh mencaci dirinya, semua orang boleh menjatuhkan namanya. Tapi tidak untuk Theo. Berani orang melukai anaknya sampai seperti ini. Maka Elena akan turun tangan. Ini bukan tentang luka di tubuh anaknya, tapi luka di hati Theo. Mengatakan kalau Elena bukan Mama Theo, tidak ada yang paling membuat bocah kecil itu sakit hatinya.
Dan Elena akan membalasnya.
kalo aku di depa Hans : Hans itu di gendong bukan malah dituntun woyyy, udah kesakitan itu paokkk, kapan sampe rumah sakit nya kalo di tuntun begitu, biar tambah bingung Hans nyaa 🤣🤣🤣
tenang Hans Raven dah berubah dah kena karma nya dia 😁
bab ini aku terhura 🥹
mirisnya hidup mu.