Dunia Yumna tiba-tiba berubah ketika sebuah video syur seorang wanita yang wajahnya mirip dengan dirinya sedang bercinta dengan pria tampan, di putar di layar lebar pada hari pernikahan.
Azriel menuduh Yumna sudah menjual dirinya kepada pria lain, lalu menjatuhkan talak beberapa saat setelah mengucapkan ijab qobul.
Terusir dari kampung halamannya, Yumna pun pergi merantau ke ibukota dan bekerja sebagai office girl di sebuah perusahaan penyiaran televisi swasta.
Suatu hari di tempat Yumna bekerja, kedatangan pegawai baru—Arundaru—yang wajahnya mirip dengan pria yang ada pada video syur bersama Yumna.
Kehidupan Yumna di tempat kerja terusik ketika Azriel juga bekerja di sana sebagai HRD baru dan ingin kembali menjalin hubungan asmara dengannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Berita kejadian di hari pernikahannya menyebar lebih cepat daripada angin. Baik lewat berita media sosial atau dari mulut ke mulut.
Pagi itu, begitu Yumna menginjakkan kaki di halaman perusahaan kecil tempatnya bekerja. Sebuah pabrik garmen pembuat mukena, baju muslim, dan jilbab. Dia sudah merasakan tatapan yang aneh. Tatapan yang menusuk, menilai, menguliti dirinya tanpa ampun.
Yumna menjabat sebagai petugas gudang, mengurus pencatatan barang masuk dan keluar. Biasanya suasana pagi di perusahaan itu terdengar ramai oleh suara mesin jahit dan potongan kain, tetapi hari ini suara bisik-bisik terdengar jauh lebih keras dari suara apa pun.
Tidak lama, suara tawa perempuan dari bagian pemotongan kain terdengar jelas.
"Tidak menyangka kalau dia orang seperti itu, ya?" ucap seorang karyawan, sambil menggunting kain dengan sikap sok prihatin. "Padahal selalu terlihat mesra kalau sama pacarnya."
"Pacarnya cakep dan baik," timpal yang lain, tangannya terus menarik pola kain. "Kok, tega diselingkuhi. Kasihan sekali."
"Begitulah godaannya kalau punya pasangan baik," ujar si perempuan paling muda, suara meremehkannya menusuk. "Pasti bawaannya ada keinginan untuk melirik yang lain."
Yumna yang kebetulan lewat untuk menemui mandor di ruangan sebelah, terhenti. Jantungnya seperti dicekik dari dalam. Ia tahu benar siapa yang sedang mereka bicarakan, siapa lagi kalau bukan dirinya?
Suara-suara itu menghujam seperti jarum ke telinga Yumna. Ia memejamkan mata sesaat, mencoba menelan sesak yang tiba-tiba datang. "
"Aku tidak melakukan itu, kenapa mereka tidak mau percaya?" pikirnya lirih.
Semakin mendekati jam istirahat, gosip itu membesar seperti bola api yang dilempar dari satu tangan ke tangan lain. Saat makan siang, bahkan beberapa karyawan yang tidak hadir di gedung resepsi akhirnya ikut melihat video itu lewat ponsel rekannya.
"Astaga, ini benar dia?" bisik seseorang.
"Katanya, sih, iya. Lihat aja, mirip banget."
"Ya ampun, aku tidak menyangka setega itu dia."
Suara-suara itu membungkam selera makan Yumna. Tangannya bergetar saat ia meletakkan kotak bekalnya. Perutnya terasa mual meski tidak ada makanan yang disentuh.
Beberapa saat kemudian, mandor menghampiri Yumna dan menepuk bahunya pelan.
"Pak Budi manggil kamu ke kantornya."
Yumna menelan ludah. Ada rasa takut yang menggelayut berat. Dengan langkah perlahan, ia menuju ruangan pemilik perusahaan itu.
Pak Budi duduk di balik meja, wajahnya tampak letih, seperti sudah berpikir terlalu lama. Ia mengusap wajahnya sebelum akhirnya membuka suara.
"Yumna, seperti aku harus memberhentikan kamu. Nama perusahaan saya sudah mulai disebut-sebut di luar sana karena kejadian di pernikahan kamu, kemarin," ucap Pak Budi pemilik perusahaan itu.
Seolah-olah seluruh dunia berhenti berputar.
"Pak, apa salah saya?" tanya Yumna lirih, suara seraknya bergetar. "Wanita itu bukan aku, Pak. Aku sumpah itu bukan aku."
Pak Budi menatapnya lama. Ada rasa ragu, ada iba, tapi juga tekanan besar dari sesuatu yang tak bisa ia kendalikan.
"Saya tahu kamu anak baik, Yumna," ucap Pak Budi jujur. "Saya tahu kamu tidak macam-macam. Mengobrol dengan karyawan laki-laki saja kamu tidak pernah."
Pak Budi menarik napas panjang.
"Tapi orang-orang taunya itu kamu. Nama perusahaan saya mulai disebut-sebut di luar sana. Kalau tidak saya tindak, itu bisa jadi masalah besar buat usaha ini."
"Aku bisa buktikan, Pak," ucap Yumna tergesa, suaranya pecah. "Tolong beri aku waktu—"
"Kamu harus bisa buktikan kalau wanita itu bukan kamu," kata Pak Budi lembut, tapi tegas. "Baru mereka akan diam."
Ucapan itu seperti palu besar yang menghancurkan sisa-sisa harapan Yumna.
Gadis itu keluar dari ruangan dengan langkah goyah. Dadanya sesak, matanya panas, tetapi tidak ada air mata yang keluar. Mungkin karena terlalu banyak yang telah ia tumpahkan beberapa hari terakhir.
"Zaman sekarang sulit sekali mencari pekerjaan. Dan aku kehilangan pekerjaanku karena fitnah."
Berita video asusila itu terus menyebar, bukan hanya di kalangan orang yang mengenalnya, tetapi juga di banyak tempat yang bahkan tidak tahu siapa dirinya. Anehnya, hanya Yumna yang menjadi sasaran hujatan.
Sementara di sisi lain, Azriel, lelaki yang seharusnya menjadi suaminya, mendapat limpahan simpati. Orang-orang mengasihani dia, memujinya sebagai korban, bahkan mendoakan hal-hal baik untuknya.
Lalu, yang lebih menyakitkan lagi, keluarganya juga mendapat simpati. Sedangkan keluarga Yumna? Dihujat habis-habisan.
"Lihat dampak yang kamu berikan kepada keluarga kita!"
Suara gebrakan meja membuat Yumna terlonjak. Pak Yongki, ayahnya, berdiri tegak di ruang keluarga, wajahnya memerah menahan emosi.
Semua orang berkumpul di ruang keluarga. Wajah-wajah yang dulu selalu memberi kehangatan dan perlindungan, kini hanya memancarkan kekecewaan, kemarahan, dan yang terburuk, malu mengakui Yumna bagian dari mereka.
Pak Yongki yang bekerja sebagai kepala sekolah mendapatkan teguran keras. Bu Yuniar yang bekerja sebagai pejabat Pemda juga tidak luput dari dampak itu.
"Ayah, aku sudah bilang itu bukan aku," ucap Yumna pelan.
"Tapi orang-orang bilang itu kamu!" seru Bu Yuniar, ibunya, dengan suara bergetar. "Aku ditegur atasan hari ini! Kamu membuat kita seperti keluarga tidak bermoral!"
"Semua pelanggan di toko aku mulai pergi!" sambung Yugi, kakaknya, dengan nada sinis. "Apa kamu tahu seberapa besar ruginya aku?"
Yumna menatap satu per satu wajah mereka. Wajah yang dulu ia cintai, kini menjadi kelompok pertama yang mematahkannya.
Yumna sudah lelah disalahkan oleh semua orang atas perbuatan yang tidak pernah dia lakukan. Air matanya sudah habis dan perasaannya juga sudah hancur tak bersisa.
"Apa salahku sampai mereka tidak percaya?"
Perlahan, Yumna menegakkan duduknya. Suara dia rendah, datar, seolah lelah untuk merasa.
"Jadi, apa yang harus aku lakukan sekarang biar kalian senang?"
"Perbaiki nama baik kami." Yugi menatapnya seperti menatap seseorang yang hina.
"Lakukan sesuatu, apa pun itu. Jangan diam saja!" lanjut Yugi dengan tatapan sinis. Tidak ada lagi kakak yang penyayang dan penuh kasih.
Untuk pertama kalinya, hati Yumna benar-benar kosong. "Baiklah," ujarnya pelan. "Aku paham maksudnya."
Yumna berdiri, lalu berjalan menuju kamarnya. Setibanya di dalam, ia menutup pintu dan menyandarkan tubuh ke sana. Ruangan itu terasa asing. Terlalu sepi. Terlalu penuh kenangan.
Foto-foto dirinya bersama Azriel sudah tidak ada. Semuanya dibuang tiga hari lalu, bersama semua barang pemberian lelaki itu.
Kini ia mengambil kotak kecil dari lemari. Di dalamnya tersimpan foto-foto dengan keluarganya, dengan Yugi yang dulu sangat menyayanginya. Dengan telaten, satu per satu foto ia masukkan ke sebuah dus dan menyimpannya di kolong tempat tidur. Seakan-akan ia sedang menyimpan seluruh masa lalunya.
Lalu Yumna mengambil tas gandong kecil. Tidak banyak barang yang ia masukkan, hanya pakaian secukupnya, dompet, beberapa dokumen, dan benda-benda kecil yang penting.
Setelah semuanya rapi, Yumna duduk di tepi ranjang. Ruang hening itu seperti ikut bersedih untuknya.
Yumna menatap dinding kosong lalu berbisik, "Sebaiknya aku pergi ke tempat yang jauh, sejauh mungkin. Sampai tidak ada orang yang mengenaliku."
Suara Yumna itu nyaris tak terdengar, namun bergetar penuh luka.
Masalahnya hanya satu. Ia belum tahu ke mana harus pergi.
semoga keluarga Arun bisa menerima Yumna
ibunya arun gmn setujua g sm yumna
secara yumna kan bukan kalangann atas