tentang seorang anak yang lahir dari seorang ibu, yang ditinggalkan oleh sang suaminya sejak dari dalam kandungan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jordi Vandanu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Maafkan Ayah.
Dian menyalimi Melati dan Yudistira, lalu menyalami Dika juga.
"Alhamdulilah kabar baik bu, pak. "
"kita bicara di ruangan Dika ya. "
Dian mengangguk. Jelita yang mau masuk ke ruangannya menatap heran. Tapi dia tetap bergegas masuk ruangan.
"silahkan duduk Yan. " kata Melati ramah. Dian duduk dikursi tunggal, Dika berhadapan dengan Melati, dan Yudistira di depan Dian, dibatasi oleh meja.
"Dian, maaf sudah mengganggu waktu kerja kamu, ibu mau tanya, kenapa Dian tidak ke pantry makan siang? " tanya Melati ramah.
"maaf bu, saya sedang tidak enak badan. " jawab Dian. Melati kaget, langsung mendekat pada Dian.
"kamu sakit? " reflek Melati memegang dahi gadis cantik yang mewarisi mata dan hidung sang suami.
"eh.. Tidak ibu, mungkin mau datang bulan, jadi gak enak saja. " jawab Dian lirih, kaget juga melihat reaksi Melati.
"syukurlah, ibu kira kamu sakit. Yah bicaralah sekarang, jangan ditunda lagi. " kata Melati.
Helaan nafas berat terdengar.
"Dian, boleh saya bertanya? "
"silahkan pak. " jawab Dian dingin, nyeri di rasa oleh Yudistira melihat reaksi itu.
"ini tidak ada hubungannya dengan pekerjaan kamu, saya mau tanya tentang kehidupan kamu. Kamu berasal dari kota J? "
"iya pak, saya lahir dan besar di kota itu, sampai kuliah di kota B, dan bekerja disini 3 bulan setelah saya wisuda. " jawab Dian ramah, tapi datar.
"kedua orangtua kamu masih ada? "
Dian menggeleng.
"ibu saya sudah meninggal, dan ayah saya? Saya tidak pernah mengenalnya secara nyata, hanya cerita dari ibu saja, jadi saya anggap saja dia sudah mati, karena meninggalkan ibu dan saya yang masih berusia 1 bulan dalam perut ibu. " jawab Dian lengkap. Dika dan Melati kaget dengan reaksi emosi Dian.
Mata Yudistira sudah berkaca kaca, menahan sesak. Melati mendekat, lalu mengusap punggung sang suami menenangkan. Dian tersenyum samar melihat itu. Kebayang sakitnya sang ibu.
"siapa nama ibumu nak? Dan kamu dibesarkan oleh siapa? " tanya Yudistira serak.
Dian terdiam, apakah ini saatnya??
Tangan Dian bergerak ke arah lehernya, membuka kalung yang bertahun tahun bergantung di sana. Meletakkan di telapak tangannya.
"kata ibu sebelum meninggal, orang yang menjadi bapak saya, pasti tahu kalau sudah melihat kalung ini. " jawab Dian. Yudistira terhenyak.
"Diana." ucapnya lirih.
"benar pak, nama ibu saya adalah Diana, bagaimana anda tahu pak? nama ayah saya adalah Yudistira, nama kedua orangtua, disematkan pada nama saya, Yudisti Diandra Putri. Apakah itu anda pak? Atau hanya kesamaan nama saja? " tanya Dian dingin. Dika dan Melati terpaku.
Yudistira sudah tak bisa menahan lagi.
"kamu adalah anak saya Dian, maafkan ayah, maafkan ayah, Ya Allah, berpuluh tahun saya mencari kamu, ternyata kamu ada di depan mata saya, ini ayahmu nak. " ucap Yudistira. Mata Melati sudah berembun.
"saya sudah tahu pak, dari lama, sudah tahu saya. " jawab Dian dingin.
"nak, ayahmu bertahun tahun diliputi rasa bersalah, mencari kamu dan ibumu kemana mana, beliau merasa bersalah, beliau tak hidup dengan tenang. " Melati ikut berkata.
"tapi baik baik saja ku lihat, ya sudah ya pak, bu, kita profesional saja, sekarang kan sudah tahu, jadi ya sudah, saya hanya karyawan disini, saya permisi dulu, kerjaan menunggu pak, bu maaf. " pamit Dian, lalu berdiri, memakai kalung itu kembali dan berjalan menuju pintu.
"tunggu Dian! " seru Dika.
Dian menghentikan langkahnya.
"hanya segitu reaksi kamu? Setelah bertemu dengan ayah kandung kamu sendiri? Bertahun tahun kami mencari kamu, agar ayah bisa tenang, dan sekarang? Kamu hanya menanggapi begini?? " tanya Dika kesal. Yudistira menutup wajahnya, Melati terus berusaha menenangkan.
"janji pak Yudistira dulu, akan kembali setelah anaknya yang sakit itu sembuh, tapi mungkin berpuluh tahun anaknya itu sakit, makanya beliau tak datang datang menemui ibu saya. " jawab Dian dingin.
"permisi pak, bu. " dan Diandra bergegas keluar. Menghambur ke ruangannya. Dian tak menangis, dia langsung duduk di depan laptop, mengerjakan pekerjaan yang tadi tertunda. Benar benar fokus.
Tok!
Tok!
Dian menghela nafas. Berdiri membuka pintu.
Dika berdiri di sana.
"boleh saya masuk? " tanya Dika.
"silahkan masuk pak. " kata Dian pelan. Mana mungkin Dian melarang.
"kamu sibuk? "
"iya pak, kemaren saya izin tidak masuk, jadi lumayan banyak yang akan saya cek. " jawab Dian, Dika duduk di kursi depan meja Dian.
Dian menyimpan file di laptopnya.
"dari kapan Dian tahu, kalau ayah adalah ayah kandungmu? " tanya Dika, tanpa basa basi.
Dia akan jujur.
"saya sudah lama mencari tentang keberadaan beliau pak, saya search di internet, nama beliau muncul dengan deretan perusahaan dimana mana, begitu saya wisuda 7 bulan lalu, saya mencoba melamar disini, disalah satu perusahaan beliau, nasib baik saya diterima, dan langsung bertemu beliau. " jawab Dian.
"kenapa Dian tak mengatakan langsung pada ayah? "
Dian menggeleng.
"hidup saya sudah sangat berat dari dalam perut ibu pak, penolakan beliau nantinya akan membuat saya terpuruk. "
"sekarang bagaimana? Dian sudah bertemu sama ayah, apakah tak ingin tahu kabarnya? "
Kembali Dian menggeleng.
"beliau baik baik saja kulihat. " jawab Dian dingin.
Dika menghela nafas.
"sama sama bertenanglah kita dulu ya Yan, nanti kita bicarakan dengan kepala dingin dan suasana nyaman. " kata Dika, sambil berdiri dan berlalu. Dian mengangguk.
"iya pak. " jawab Dian.
Dika menghela nafas, bahkan setelah tahu kalau dia adalah abang dan ayahnya, Dian tak merubah panggilannya.
"bagaimana Dik? " tanya Melati, yang sedang memberi minuman hangat pada Yudistira.
"ma, kita biarkan Dian bertenang dulu ya ma, yah, siapapun pasti akan shock begitu tahu berita ini, Dian perlu waktu, kita kasih dia waktu ya. " pinta Dika. Yudistira dan Melati mengangguk.
Ketika jam pulang tiba. Melati, Yudistira dan Dika segera keluar ruangan, menatap pintu ruang kerja Dian yang masih tertutup. Dalam diam mereka menuju lift khusus. Dian yang mengintip menghela nafas lega. Dia pun bersiap untuk pulang. Dian tak tahu, kalau Dika melihat dia mengintip. Dika hanya menghela nafas.
Dian pun melangkah pelan menuju lift. Dan ketika dalam lift, ada pesan masuk.
"Alhamdulilah."
Ternyata paspornya bisa di ambil besok, dan Dian akan ke imigrasi jam istirahat saja, biar gak ganggu pekerjaannya.
Yudistira mengusap wajah, ketika melihat Dian naik ojek. Emang biasanya Dian nebeng sama Jelita, tapi tadi Jelita bilang, dia mau ke rumah mertua bareng suaminya, jadi Dian pulang sendiri, ngojol.
"ya Allah nak, maafkan ayah. " gumam Yudistira. Melati mengusap punggungnya kembali.
"apa yang sudah dialami oleh adikmu itu Dik? Tolong selidiki, biar ayah bisa tahu bagaimana menebus semua waktu dan kesalahan pada Dian dan almarhumah ibunya. " pinta Yudistira.
"baik yah, nanti Dika cari tahu, yang penting sekarang ayah bertenanglah dulu, Dian sudah ketemu, sedikit lagi ya yah. " hibur Dika. Melati mengangguk menatap sang suami.
Perlahan kepala Yudistira mengangguk juga.
sepusing2nya mereka mencari plngan pake orang suruhan😂