Warning.!! Area khusus dewasa.!
Bukan tempat untuk mencari nilai kehidupan positif. Novel ini di buat hanya untuk hiburan semata.
Tidak suka = SKIP
Pesona Al Vano Mahesa mampu membuat banyak wanita tergila - gila padanya. Duda beranak 1 yang baru berusia 30 tahun itu selalu menjadi pusat perhatian di perusahaan miliknya. Banyak karyawan yang berlomba lomba untuk mendapatkan hati anak Vano, dengan tujuan menarik perhatian Vano agar bisa di jadikan ibu sambung untuk anak semata wayangnya.
Sayangnya rasa cinta Vano yang begitu besar pada mendiang istrinya, membuat Vano menutup hati dan tidak lagi tertarik untuk mencintai wanita lain.
anak.?
Namun,,,, kejadian malam itu yang membuatnya tidur dengan sorang wanita, tanpa sengaja mampu membuat anak semata wayangnya begitu menyukai wanita itu, bahkan meminta Vano untuk menjadikan wanita itu sebagai ibunya.
Lalu apa yang akan Vano lakukan.?
Bertahan pada perasaannya, atau mengabulkan permintaan sang anak.?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clarissa icha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Celina dan Dion pulang ke rumah pukul 7 malam. Mereka sudah menghabiskan waktu beberapa jam untuk menonton dan makan malam. Keduanya lebih banyak bicara santai dan sesekali mengobrolkan hal serius tentang kuliah dan masa depan tanpa membahas soal perjodohan.
"Kak Dion ada perlu sama Papa.?" Tanya Celina. Dion hanya menganggukan kepala sebagai jawaban. Celina mengekori Dion yang juga ikut turun dan melangkahkan kaki ke dalam rumah.
"Aku ke atas dulu kak, mau istirahat. Makasih udah luangin waktu buat aku." Celina tersenyum tulus. Setidaknya kepergian dia bersama Dion bisa mengurangi sedikit rasa kecewa yang dia rasakan terhadap Vano.
"Hmmm."
"Besok kabari saja kalau mau kembali ke apartemen. Aku akan mengantarmu." Ucap Dion. Celina menganggukkan kepala dan tersenyum tipis, setelah itu bergegas menaiki tangga dan meninggalkan Dion seorang diri di ruang keluarga.
Dion memang sudah biasa keluar masuk kediaman Tuan Adiguna. Rumah ini seperti rumah kedua baginya setelah apartemen yang dia tempati seorang diri.
Sudah menjadi hal yang biasa kalau Dion berada di rumah itu untuk waktu yang cukup lama. Tapi meskipun begitu, sejak dulu Celina tidak pernah dekat dengan Dion. Celina asik dengan dunianya sendiri saat masih SMA. Dia sudah terlanjur kecewa dengan kedua orang tuanya yang sering meninggalkannya seorang diri karna mereka pergi keluar negeri.
Celina masuk kedalam kamar. Hal pertama yang dia lakukan adalah melempar tas ke ranjang, kemudian merebahkan tubuhnya di sana dengan posisi terlentang dan kedua tangan yang dijadikan bantal.
"Harusnya aku senang bisa dekat dengan laki - laki yang baik dan mau menerima masa lalu ku, tapi kenapa,," Celina tidak meneruskan ucapannya. Dia langsung berkutat dengan isi hati dan pikirannya yang tidak sejalan.
Sosok Vano nyatanya masih mendominasi hatinya. Namanya seolah sudah melekat di sana dan sulit untuk di lepaskan. Bahkan perasaannya terhadap Vano lebih besar dibanding perasaannya pada Marvin dulu.
Pesona Vano terlalu kuat sampai tidak bisa menghindar untuk tidak jatuh cinta padanya. Terlepas seburuk apa Vano menilai dan memperlakukan dirinya, tak membuat perasaan cintanya pudar.
"Aaarghhh.!! Kenapa aku sebodoh ini." Seru Celina frustasi. Dia mengacak kasar rambutnya sendiri.
Entah sudah berapa kalo dia membuat pengakuan kalau dirinya sangat bodoh dalam hal percintaan dan semua yang berhubungan dengan laki - laki.
"Ok Celina, lupakan dan jangan menganggapnya ada.!" Ucapnya semangat. Celina bukan tipikal orang yang suka berlarut - larut dalam kehancuran. Dia bisa berbuat gila hari itu juga saat terluka karna cinta, tapi pada hari berikutnya dia akan tersenyum kembali dan bersiap memulai hari.
Suara ketukan pintu membuat Celina bangun dari ranjang dan mengubah posisinya dengan duduk di ujung ranjang.
"Sayang, ini Mama,,,!" Teriak Mama Lusy.
"Ya.! Masuk.!" Celina merapikan rambutnya yang berantakan, juga menghilangkan kegundahan hatinya yang tadi sempat tergambar jelas di wajahnya. Kini Celina mengukir senyum, dia tidak mau memperlihatkan kesedihannya di depan siapapun.
"Dion masih di bawah, kenapa tidak menemaninya sebentar.?" Tanya sang Mama. Dia menghampiri Celina dan duduk disebelahnya.
"Papa memang ada perlu dengannya, tapi dia sedang menerima telfon dari rekan bisnisnya di London. Dion jadi sendirian dibawah." Tuturnya.
Mama Lusy sempat menemani Dion sejenak di ruang keluarganya, sebenarnya dia bisa saja mengobrolkan soal perusahaan dengan Dion, namun Mama Lusy ingin memberikan waktu lebih banyak agar Dion dan Celina bisa melewati proses pengenalan lebih cepat. Semakin cepat mereka mengenal satu sama lain, makan semakin cepat pula pernikahan itu dilangsungkan.
Mama Lusy tidak memiliki kandidat lain yang sesuai kriterianya untuk mendampingi putri semata wayangnya. Hanya Dion satu - satunya pria yang dia kenal dengan baik.
"Aku lelah Mah, biarkan saja kak Dion disana. Dia tidak akan keberatan untuk menunggu Papa,,"
"Lagipula aku sudah mengantuk." Ujarnya beralasan. Celina menguap palsu, kemudian kembali merebahkan diri di ranjang.
"Bukankah Dion laki - laki yang baik.?" Mama Lusy menatap heran dengan tingkah putrinya yang terlihat malas untuk menemani Dion.
"Apa yang membuat kamu tidak menyukainya.?" Mama Lusy kembali mengajukan pertanyaan pada Celina. Pertanyaan terakhir membuat Celina berfikir keras, entah dari mana sang Mama bisa menebal hal itu.
Saat ini Celina memang mengakui kalau dirinya tidak menyukai Dion, tapi tak menutup kemungkinan kalau suatu saat dia akan menyukai Dion bahkan mungkin mencintainya.
"Mah, aku memang sudah lama tau kak Dion, tapi baru pertama kali kita pergi berdua. Bagaimana aku bisa secepat itu menyukainya.?" Celina balik melontarkan pertanyaan itu pada sang Mama.
"Aku butuh waktu Mah. Itu sebabnya aku ingin mengenal kak Dion lebih dekat sebelum menentukan keputusan untuk menikah dengannya."
"Mama tidak perlu menekanku, apa lagi memaksaku untuk bisa menerima kak Dion dalam waktu singkat."
"Aku pasti akan setuju menikah dengannya kalau aku mencintainya, begitu juga sebaliknya. Dan kalau kita sama - sama merasa nyaman."
"Biarkan kedekatanku dan kak Dion mengalir begitu saja, aku tidak suka di paksa,,"
Celina langsung menggulung diri dengan selimut, dan hal itu menutup pembicaraan keduanya.
Mama Lusy hanya menghela nafas pelan, mengusap kepala Celina kemudian beranjak dari sana.
...*****...
Intan bergegas keluar kamar setelah di panggil oleh salah satu pekerja rumah yang memberitahukan bahwa dirinya sedang di tunggu oleh Vano di ruang makan.
Intan hanya memakai baju santai yang biasa dia gunakan untuk tidur. Dia berani mengganti bajunya karna Naura sudah tertidur pulas sejak 1 jam yang lalu.
"Tu,,tuan memanggil saya.?" Suara Intan gagap. Tatapan Vano memang selalu membuat buyar isi kepalanya.
"Hemm,,," Sahut Vano, dia mengangguk samar.
"Duduk, temani saya makan." Pintanya, dia memberikan tatapan datar namun tegar.
"Hah.?" Intan dibuat bengong. Entah ada angin darimana, tiba - tiba saja Vano menyuruhnya untuk menemaninya makan malam hanya berdua.
"Aku tidak suka mengulangi ucapan. Kerjakan kalau kamu mendengarnya." Sahut Vano. Dia mulai mengisi piring dengan makanan.
"Satu lagi,," Vano menatap tajam pada Intan. Gadis itu hanya bisa menelan kasar salivanya. Tatapan Vano terlalu tajam hingga membuatnya bergidik ngeri.
"Jangan memanggilku dengan sebutan Tuan, ganti dengan panggilan lain yang lebih enak di dengar. Aku merasa tua di panggil seperti itu."
Penuturan Vano semakin membuat Intan kebingungan dan tidak habis pikir. Dia merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan otak Vano. Tingkahnya sangat aneh sejak pagi tadi.
"Lalu harus memanggil apa.?" Tanya Intan lirih. Dia memberanikan diri bertanya pada Vano meski dengan keadaan menunduk.
"Apa saja, selain Tuan dan Pak.!" Jawab Vano cepat.
Intan terdiam, dia berfikir keras untuk mengganti panggilannya pada sang majikan. Panggilan yang sekiranya masih terdengar sopan untuk majikannya itu.
Cukup lama Intan bungkam. Dia belum menemukan panggilan tepat meski sudah berfikir berulang kali.
"Kamu tidak akan berfikir sampai pagi bukan.?" Tanya Vano menyindir. Intan menatap malu kearahnya.
"Pikirkan lagi nanti.! Sekarang isi perutmu dulu agar bisa berfikir dengan baik." Vano menyuruh Intan untuk ikut makan malam.
Tak mau lagi mendapat teguran dari Vano, Intan langsung mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Vano. Meski ragu, namun Intan mulai menyantap makan malamnya.
"Bagaimana.? Sudah menemukan panggilan baru.?" Tanya Vano setelah sama - sama menghabiskan makan malam.
Intan mengangguk samar dengan keraguan di wajahnya. Sepertinya dia tidak punya nyali untuk mengganti panggilan dengan apa yang ada dipikirannya saat ini.
"Bagus.!" Seru Vano.
"Sebutkan sekarang." Pintanya tegas. Intan terlihat cemas, dia sampai menggigit bibir bawahnya karna takut. Khawatir jika Vano akan marah.
"Intan.!" Tegur Vano karna dia tak kunjung bersuara.
Intan mulai membuka mulutnya perlahan.
"Ma,,mas,," Ucapnya lirih. Suaranya bahkan tidak bisa di dengar oleh Vano hingga membuat Vano mendekatkan wajahnya.
"Apa.? Aku tidak mendengarnya." Protesnya.
"Mas,,!" Seru Intan malu. Dia langsung menundukan kepalanya, tidak berani menatap Vano.
"Tidak buruk. Itu jauh lebih baik daripada Tuan." Ujarnya berkomentar. Vano langsung beranjak dari meja makan dan bergegas pergi.
Intan menghembuskan nafas lega. Dia seperti di cekik setiap kali berhadapan dengan Vano seorang diri.
menginginkan yang lebih baik tapi sendirinya buruk . ngaca wooy 🙄
lagian celina kan kelakuannya doang yg buruk . hatinya mah melooooow 😂
Vano VS celine(rusak)