Apa yang terjadi jika lelaki yang menjadi calon suami melarikan diri bersama sahabatmu sendiri tepat di hari pernikahan ?
Setelah terlambat satu setengah jam dari jadwal akad nikah, akhirnya seseorang menjemput Sabina dari kamar hotelnya untuk menemui lelaki yang baru saja membacakan ijab kabulnya.
Sabina terkejut luar biasa ketika yang berada disana bukanlah Andre yang menjadi kekasihnya selama ini. Melainkan Gibran yang merupakan sahabat dari calon suaminya dan juga kekasih Amanda sahabatnya. Bahkan Minggu lalu Sabina membantu Gibran untuk memilihkan cincin yang akan digunakan Gibran untuk melamar Amanda.
Tapi sekarang cincin pilihannya itu melingkar indah di jari manisnya sendiri, tak ada nama Gibran dalam lingkarannya. Mungkin memang sudah takdir ia terikat dengan lelaki yang tidak mencintainya.
Bagaimana nasib pernikahan yang tak diinginkan keduanya ini ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MeeGorjes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ibu Mertua
Happy reading ❤️
"Perkenalkan, ini istriku Sabina Mulia. Ibu bisa panggil dia Bina." Ucap Gibran seraya menarik pinggang Sabina untuk berdekatan dengannya.
Dada Sabina berdebar hebat, bukan hanya karena pertemuan dengan ibu mertua namun juga karena belitan tangan suaminya yang memeluknya erat.
Dengan gugupnya Sabina meraih tangan ibu mertuanya itu dan mencium punggung tangannya. "Saya Bina, senang akhirnya bisa bertemu dengan ibu." Ucapnya tulus. Sama halnya dengan apa yang di lakukan pada Gibran, ibu mertuanya itu juga mengusap halus pundak Sabina dan tersenyum. Menandakan ia bisa menerima kehadiran menantunya itu. Sabina pun bisa bernafas dengan lega.
Bukan hanya Sabina, ternyata Gibran pun merasakan hal yang sama. Dadanya pun berdebar hebat dan tangannya hampir gemetar.
Bukan karena kedatangan ibunya, namun keberaniannya yang muncul tiba-tiba untuk memeluk Sabina. Dan Gibran rasa ini sangat luar biasa, rasanya lebih manis dari yang ia bayangkan selama ini.
Sabina berdehem untuk menyadarkan suaminya itu, karena sedari tadi Gibran hanya terdiam sembari terus memeluknya semakin erat. Sang ibu sampai tersenyum simpul melihat anak dan menantunya itu.
Tak juga bergeming, akhirnya Sabina menyikut halus suaminya itu sehingga Gibran akhirnya tersadar. "Ah maaf, aku mikirin kerjaan," ucap Gibran bohong. Ia hanya berasalan agar Sabina tidak tahu bahwa sebenarnya ia tengah menikmati pelukan itu.
"Memikirkan pekerjaan tak akan ada habisnya, kamu harus bisa atur waktu apalagi sekarang sudah punya istri." Ucap ibunya itu. Dan ditanggapi senyuman kikuk oleh Gibran.
Sabina senang sekali mendengar itu, entah kenapa ia merasa ibu mertuanya itu berada di pihaknya padahal Sabina pun tak pernah mengeluhkan tentang waktu kerja Gibran karena ia memang tak mau terlalu ikut campur dalam kehidupan pribadi suaminya itu.
"Ayo, ibu pasti lelah." Ajak Sabina sembari menggandeng tangan ibu mertuanya dan tak ada penolakan sama sekali darinya. Rasa lega timbul dalam hati Gibran ketika melihat hal itu.
Meski Sabina berjalan dengan sedikit tertatih tapi ibu mertuanya tak memperhatikan itu, mereka berjalan bersama dan Gibran berjalan di belakang mereka.
"Apa ibu mau makan dulu ?" Tanya Sabina lembut.
"Sebaiknya kita langsung pulang saja. Kita bisa makan di rumah." Jawabnya.
"Baiklah, nanti saya akan masak untuk makan siang, walaupun saya yakin masakan ibu pasti jauh lebih enak." Ucap Sabina sembari tertawa ringan.
"Masakan kamu enak kok, aku suka." Jawab Gibran spontan dan itu membuat Sabina menolehkan kepalanya dan tersenyum pada suaminya itu.
"Terimakasih," jawab Sabina diantara senyumannya kemudian kembali menolehkan kepalanya dan berjalan menuju mobil mereka.
Di belakang Sabina, Gibran berjalan dengan terus memperhatikan istrinya itu. Ia masih ingat bagaimana rasanya dapat memeluk Sabina dengan begitu dekatnya.
Tubuh ringkih itu terasa pas dengan lengannya dan pinggang Sabina yang ramping begitu pas dengan telapak tangannya. Sabina benar-benar pas dalam pelukannya. Dan kini Gibran berpikir kapan bisa merasakan hal itu lagi.
"Kamu gak apa-apa ? Dari tadi ngelamun terus ? Apa ada pekerjaan yang penting ?" Tanya Sabina beruntun. Ia bertanya sembari berbisik pada suaminya itu.
"Hmmm... Nggak," jawab Gibran.
"Terus kenapa melamun terus ?" Tanya Sabina lagi.
"Kamu... Aku lagi mikirin kamu." Jawab Gibran dalam hatinya namun kata-kata itu tak bisa ia ucapkan dari bibirnya.
Ia hanya menatap dalam mata Sabina tanpa menjawabnya.
"Tuh kan melamun terus, hayo mikirin apa ?" Tanya Sabina lagi dengan mendelikkan matanya ia mencoba menggoda suaminya.
"Gak ada Bina, aku gak mikirin apa-apa. Ayo masuk, kita cepat pulang," ajak Gibran yang menunggu Sabina memasuki mobilnya dan di susul oleh Gibran.
Sabina mengusap halus pinggang yang tadi Gibran rengkuh, walaupun sudah berlalu tapi Sabina masih merasakan bagaimana tangan kokoh itu memeluk dirinya erat. Meskipun Sabina tahu yang Gibran lakukan hanya sebatas 'pencitraan' di hadapan ibunya namun Sabina tak menyangka efeknya akan seluar biasa ini. Hati Sabina kembali berdegup kencang mengingat itu semua.
Tak ingin larut dalam pikirannya Sabina pun berusaha untuk berbicara dengan mertuanya.
"Bagaimana tadi penerbangannya Bu ? Apa semua lancar ?" Tanya Sabina.
Mertuanya pun bercerita bagaimana penerbangannya tadi pagi bahkan ia bercerita tentang persiapannya dari beberapa hari sebelumnya dan Sabina mendengarkan dengan seksama. Sesekali Sabina berbicara menanggapi apa yang ibu mertuanya ucapkan.
Gibran yang duduk di bangku depan mendengarkan itu dengan tersenyum lega, ia merasa senang sejauh ini berjalan dengan lancar.
Setibanya di rumah Gibran dan Sabina mengajak ibunya berkeliling rumah, disana terdapat 4 kamar tidur. 1 kamar di tempati Sabina dan Gibran, 1 kamar kosong yang berdekatan dengan kamar mereka, 1 kamar tamu di lantai bawah dan 1 kamar lainnya di gunakan untuk asisten rumah tangga mereka. Sedangkan supir dan keamanan mempunyai kamar sendiri di bagian belakang rumah.
Sabina menempatkan ibu mertuanya di kamar yang dulu Gibran tempati namun sebelumnya telah di bersihkan oleh asisten rumah tangganya, Sabina berpikir untuk tidak memperlakukan ibu mertuanya itu sebagai tamu tapi sebagi ibunya sendiri hingga ia menempatkannya tepat di seberang kamar mereka bukan di kamar tamu dan Gibran benar-benar senang akan hal itu, ia tak menyangka Sabina melakukan hal sebaik itu
"Terimakasih sudah menerima kedatangan ibu, Nak." Ucap ibu mertuanya sembari memasuki kamar diikuti oleh Gibran juga Sabina.
"Ibu beristirahatlah, saya akan menyiapkan makan siang." Ujar Sabina dan kemudian pergi meninggalkan Gibran juga ibunya.
"Ibu lihat sejauh ini kehidupanmu baik. Istrimu juga terlihat sangat baik walaupun ibu belum lama mengenalnya."
"Ya Bu, Alhamdulillah... Sabina memang baik."
"Syukurlah, ibu merasa lega. Semoga apa yang kalian perlihatkan adalah yang sebenarnya. Bukan hanya sekedar pura-pura. Maaf ibu berkata seperti ini karena ibu tahu bagaimana hatimu sebelumnya." Ucap sang ibu sembari duduk di samping anaknya itu dan menggenggam tangannya.
Ibunya tahu Gibran yang dahulu, ia tahu bagaimana anaknya itu tergila-gila pada wanita bernama Amanda dan tiba-tiba harus menikahi Sabina yang sedikitpun tak pernah Gibran ceritakan tentangnya selain hanya sebagai penolong Gibran hingga dapat bekerja di rumah sakit besar dan ternama. Selain itu Gibran tak pernah sekalipun berbicara mengenai Sabina pada ibunya.
"Ibu jangan khawatir, aku baik-baik saja." Jawab Gibran seraya membalas genggaman tangan ibunya itu.
"Apa yang kita inginkan kadang tidak sesuai dengan kenyataan. Tapi percayalah selama kita selalu taat padaNya, Tuhan akan memberikan yang terbaik untuk kita. Pasti ada hikmah besar di balik kejadian besar ini. Bersabarlah... " Ucap ibu Gibran menenangkan anaknya.
Gibran terdiam cukup lama, meresapi segala perkataan ibunya. Ia menarik nafas dalam menghembuskannya.
"Aku sudah bisa menerima ini semua walaupun tidak mudah," jawab Gibran lirih.
"Hanya waktu yang dapat mengobati semuanya. Sabar..." Ucap ibunya lagi dan sembari memberikan usapan-usapan halus pada punggung anaknya itu.
***
"Apa yang bisa Ibu bantu ?" Tanya ibu Gibran ketika ia memasuki dapur dan melihat Sabina tengah sibuk memasak di bantu oleh mbok Inah.
"Ah ibu, tak usah. Ibu istirahat saja, tapi bila ibu bersikeras silakan saja. Saya akan senang belajar memasak dengan ibu. Jangan sungkan-sungkan ya Bu, anggap saja rumah sendiri." Jawab Sabina.
Ibu mertuanya itu berjalan mendekati Sabina dan mulai ikut membantu menantunya itu untuk menyiapkan makan siang. Sedangkan Gibran duduk di ruang makan memandangi 2 wanita yang kini mengisi hidupnya.
***
Amanda memarkirkan mobilnya di tempat seperti biasa. Di bawah pohon rindang m di sebuah rumah sakit ternama. Telah menunggu hampir satu jam tapi yang lelaki yang setiap harinya ia tunggu tak muncul juga.
Ia pun mengambil sebuah kain pashmina dari jok belakang yang Amanda gunakan untuk untuk menutupi kepala, segera saja ia mengenakan maskernya dan kaca mata hitam besar yang menutupi sebagian wajahnya.
Amanda turun dari mobil mewahnya dan berjalan memasuki rumah sakit itu.
"Saya ingin menemui dokter Gibran, apa beliau masih buka ?" Tanya Amanda resepsionis.
"Dokter umum Gibran Fahreza ?" Tanya wanita yang mengenakan name tag Rina itu.
"Iya betul." Jawab Amanda antusias.
Resepsionis itu mengecek sesuatu pada layar komputernya sebelum ia menjawab pertanyaan Amanda.
"Dokter Gibran tidak masuk hari ini." Jawabnya pada Amanda.
"Kemana dokter Gibran ? Saya ada keperluan yang sangat mendesak."
"Maaf, kami tidak bisa memberi tahukan alasannya."
"Saya ada keadaan genting yang harus di konsultasikan pada dokter Gibran." Amanda bersikeras.
"Kebetulan praktek dokter umum telah selesai jam nya dan dokter Riama sebagai dokter pengganti sudah meninggalkan tempat prakteknya. Jika ibu ada hal yang mendesak bisa mendatangi unit gawat darurat saja." Jelas resepsionis itu.
"Lo ini bodoh apa bagaimana ? Saya hanya bisa berkonsultasi dengan dokter Gibran. Jadi cari tahu dia di mana " hardik Amanda lagi.
Resepsionis muda itu mendudukkan tubuhnya dan segera menghubungi seseorang yang bisa memberikan informasi dimana dokter Gibran berada.
"Dokter Gibran sedang menjemput ibunya ke bandara. Besok beliau praktek seperti biasa."
Amanda tersenyum miring, ia sungguh merasa senang.
"Si cacat tak berdaya dan mertua dingin tentu akan jadi kombinasi yang baik," ucapnya penuh ledekan.
"Selamat datang di nerakamu, Sabina." Gumam Amanda dengan senyum liciknya.
to be continued ❤️
thank you for reading
Andre g smp sentuhan fisik intim lho sm Bina
buat pengetahuan untuk diri sendiri banyak pelajaran dalam cerita ini..
tQ Thor idea yang bernas..semoga sentiasa sihat selalu.. tetap menyokong selalu sukses selalu ya Thor..
sebelah aku jg udah bc semua, aku tunggu karya terbarumu thor, semangat berkarya