Zona Khusus Dewasa
Adriel (28), sosok CEO yang dikenal dingin dan kejam. Dia tidak bisa melupakan mendiang istrinya bernama Drasha yang meninggal 10 tahun silam.
Ruby Rose (25), seorang wanita cantik yang bekerja sebagai jurnalis di media swasta ternama untuk menutupi identitas aslinya sebagai assassin.
Keduanya tidak sengaja bertemu saat Adriel ingin merayakan ulang tahun Drasha di sebuah sky lounge hotel.
Adriel terkejut melihat sosok Ruby Rose sangat mirip dengan Drasha. Wajah, aura bahkan iris honey amber khas mendiang istrinya ada pada wanita itu.
Ruby Rose tak kalah terkejut karena dia pertama kali merasakan debaran asing di dadanya saat berada di dekat Adriel.
Bagaimana kelanjutannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yita Alian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26 ACICD - Ruby Kehabisan Pil
Untungnya Ruby berhasil mengirim naskahnya sebelum batas waktu yang diberikan Rion habis. Dia jadi bernapas lega dan bisa bersender nyaman.
Hampir saja waktu liburnya besok disita untuk liputan.
"Jadi jurnalis repot juga yah, Nona Ruby," sahut Hougan.
Jemari Adriel yang mengusap layar tablet seketika berhenti bersamaan dengan keningnya yang mengerut sesaat. Sok akrab sekali Hougan itu.
"Umm, repot dan harus siap dikejar deadline, tapi saya senang bisa jadi jurnalis," sahut Ruby.
"Coba saya tebak, pasti karena wawasannya lebih banyak, yah, Nona Ruby."
Ruby tersenyum, Adriel curi-curi kesempatan meliriknya. Wanita itu kelihatan santai ketika bicara dengan Hougan.
"Iya, selain itu saya bisa bertemu dengan banyak macam orang dan mendapatkan ilmu gratis dari mereka di sela-sela wawancara."
"Nona Ruby sangat hebat, saya yakin Nona Ruby bisa jadi editor juga ke depannya," kata Hougan.
"Saya tidak berniat jadi editor, saya lebih suka berkarier sebagai jurnalis."
"Kalau ada peluang berkarier di bidang lain, apa Nona Ruby bersedia?"
Ruby sejenak menoleh ke arah jendela kaca, larut dengan pertanyaan itu beberapa saat. Sudah banyak profesi yang dijalani Ruby demi menutup identitas aslinya sebagai seorang assassin. Dia akhirnya menjawab pertanyaan Hougan asal.
"Iya, saya bersedia. Saya kepikiran jadi diplomat," sahut Ruby. Hougan menyanjungnya.
Sementara itu, Adriel membeku di tempat. Lirikannya terpaku pada Ruby. Obrolan Ruby dan Hougan jadi terdengar samar setelahnya.
Mendengar Ruby mengatakan dirinya mau jadi diplomat membuat Adriel teringat pada keinginan Drasha yang menginginkan hal yang sama.
Dulu, setelah lepas dari balas dendamnya, mendiang istrinya mengungkapkan kalau mau jadi diplomat di kemudian hari. Drasha mengatakan itu di hari Adriel melamarnya di tepi pantai saat menyaksikan sunset.
Bola mata Adriel berkaca-kaca, dia kemudian menutup layar tabletnya dan memalingkan wajah ke jendela kaca.
Kalau saja Drasha masih ada, istrinya pasti sudah jadi diplomat yang hebat dan tampil di forum dunia.
Tak berselang lama, Ruby juga sudah terlelap, wajah cantik wanita itu begitu tenang. Adriel memperhatikan itu, wajah yang sama persis dengan wajah Drasha.
Tatapannya kemudian lurus ke depan, tajam dan menusuk. Ruby Rose… dia tahu dari mana sebenarnya soal Drasha?
Kenapa sampai cita-cita istrinya juga bisa dia ketahui? Apa dia punya informan di kediaman keluarga Alveroz?
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Setelah menempuh perjalanan hampir tiga jam, akhirnya mobil yang dikendarai Hougan sampai di depan bangunan beberapa tingkat, lokasi kontrakan Ruby berada.
"Kita sudah tiba Nona Ruby," ujar Hougan, laki-laki muda itu menoleh ke belakang.
Ruby perlahan membuka mata dan meluruskan punggung. "Oh maaf, saya ketiduran."
"Tidak apa-apa, Nona Ruby." Hougan lalu turun dari mobil dan membuka pintu untuk wanita cantik itu.
Sebelum turun, Ruby menoleh pada Adriel. "Terima kasih, Pak Adriel."
Adriel hanya melirik singkat. "Tidak perlu terima kasih sama saya, mengantar kamu pulang justru bentuk terima kasih karena kamu menyelamatkan Narell. Lebih tepatnya, saya tidak mau mendengar Narell mengoceh dan meninju saya."
"Baik, Pak Adriel, kalau begitu saya permisi."
"Ya," sahut Adriel singkat, tanpa menoleh sedikitpun.
Ruby akhirnya keluar dari mobil membawa barang-barangnya. Dari dalam Adriel menatap punggung wanita itu sampai hilang dari balik pintu lobi.
Saat Hougan hendak melajukan mobil, Adriel menahannya.
"Tunggu sebentar," kata Adriel, pandangannya terangkat, mengarah pada lantai empat bangunan tersebut, tepatnya pada bagian ujung.
Hougan mengerti, dia melirik ke kaca depan, menatap wajah Adriel yang fokus menatap kontrakan Ruby.
Setelah lampu tempat tinggal wanita itu menyala, barulah Adriel memerintahkan Hougan untuk melajukan mobil.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Di sisi lain, Ruby berbaring di sofa sambil menatap langit-langit kontrakannya. Ada sekitar lima menit dia melakukan itu. Setelahnya, dia meraih handphone dan membuka email.
"Untungnya nggak ada misi hari ini," gumam Ruby. Selanjutnya, dia bangun perlahan-lahan dan menuju kamar mandi.
Di depan kaca, dia menanggalkan dressnya hingga jatuh ke lantai, menyisakan tanktop tali spageti dan celana pendek di tubuh. Lantas Ruby memperhatikan pantulan dirinya.
Dia menghela napas panjang. Dia teringat mimpinya ketika tertidur di mobil Adriel. Yap, dia memimpikan hal yang serupa dengan mimpinya malam kemarin.
Dan, lagi-lagi Adriel mengatakan hal yang sama, i miss you. Ruby jadi bingung. Kenapa sejak bertemu Adriel dia malah keseringan mimpi begituan?
Setelah beres-beres, Ruby meraih botol kaca kecil dan membalikkannya. Niat hati mau mengeluarkan pil yang biasa dia minum, tapi sayangnya tidak ada satupun yang keluar.
"Habis, yah?"
Ruby kemudian melangkah ke lemari tempat penyimpanan obat. Jemarinya memeriksa satu per satu botol yang ada di sana. Ternyata memang pilnya sudah habis.
"Hummh…" Ruby menekuk bibirnya, "udah beneran habis."
Wanita cantik itu melangkah gontai menuju kamar tidurnya. "Aku harus ketemu ibu… semoga dia sudah tiba dari Melbourne."
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Jauh di tempat lain, di sebuah ruangan yang ada di dalam mansion keluarga Yoseviano, Adriel mengadakan pertemuan dengan kepala tim keamanan keluarganya. Jeremy, seorang pria berbadan tegap berambut pendek.
Adriel duduk di kursi yang membelakangi meja panjang, dia sedang memperlihatkan dua gambar peluru di layar besar. Tangannya menekan tombol, gambar peluru itu diputar dari berbagai sudut.
"Itu.. peluru yang sama, Tuan Muda," ujar Jeremy. "Tidak ada nomor seri. Tidak ada residu kimia standar. Kombinasi logamnya juga tidak diproduksi industri manapun."
"Ya, kamu benar, Jere." Dari dulu Adriel memang tahu peluru yang mengenai istrinya itu bukan peluru biasa. Papanya mantan pembunuh bayaran, dia tahu jenis peluru itu pasti tidak diproduksi sembarangan. Hanya saja, dia tidak tahu asalnya dari mana dan siapa saja yang memilikinya.
Sementara itu, Jeremy menarik napas pelan. Jadi apa gunanya Adriel memperlihatkan dua peluru yang sama dan tidak bisa dilacak sama sekali?
"Peluru yang pertama menewaskan Trevon, asisten mendiang om Narendra," kata Adriel. "Tapi kasus penembakan itu ditutup."
"Peluru yang kedua, ini yang membuat istri saya koma dan akhirnya pergi untuk selamanya," suara Adriel dingin dan pedih. Tatapannya mengeras.
"Dan, sama seperti kasus Trevon, pihak kepolisian akhirnya menutup kasus penembakan istri saya setelah satu dekade, padahal mereka punya petunjuk ini, tapi mereka tidak mau melanjutkan penyelidikan."
Mendengar penjelasan itu, Jeremy mengerti kenapa Adriel menunjukkan dua peluru itu.
"Kemungkinan ada yang mengancam mereka dan terpaksa tidak melanjutkan penyelidikan, Tuan Muda," kata Jeremy.
"Ya, saya pikir begitu." Adriel menautkan jemarinya di depan dagu. "Dan, orang itu adalah pelaku yang menembak Drasha dan juga orang yang menembak asisten mendiang om Narendra."
Adriel memutar kursinya pelan tapi penuh tekanan, sudut matanya melirik Jeremy. "Sekarang, fokus untuk mencari informasi mengenai penembakan Trevon, kumpulkan semua bukti, footage CCTV di sekitar area penembakan, apapun itu… cari sampai dapat walaupun tindakannya harus melanggar hukum."
Jeremy menahan napas sekilas, sampai akhirnya mengangguk. Perintah Adriel tidak bisa dibantah. "Baik, Tuan Muda."
Jemari Adriel kemudian mengetuk permukaan meja dengan lembut tapi penuh tekanan yang penuh perhitungan.
"Bentuk juga tim yang fokus untuk mencari tahu mengenai kasus penembakan lain yang ditutup secara tidak wajar dan temukan kesamaan pelurunya dengan dua peluru ini."
"Dimengerti, Tuan Muda," kata Jeremy menundukkan kepala sekilas.