NovelToon NovelToon
GLOW UP : SAYONARA GADIS CUPU! (MISI MEMBUATMU MENYESAL)

GLOW UP : SAYONARA GADIS CUPU! (MISI MEMBUATMU MENYESAL)

Status: sedang berlangsung
Genre:Sistem / Crazy Rich/Konglomerat / Mengubah Takdir / Aplikasi Ajaib
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Kde_Noirsz

Hancurnya Dunia Aluna Aluna Seraphine, atau yang akrab dipanggil Luna, hanyalah seorang siswi SMA yang ingin hidup tenang. Namun, fisiknya yang dianggap "di bawah standar", rambut kusut, kacamata tebal, dan tubuh berisi, menjadikannya target empuk perundungan. Puncaknya adalah saat Luna memberanikan diri menyatakan cinta pada Reihan Dirgantara, sang kapten basket idola sekolah. Di depan ratusan siswa, Reihan membuang kado Luna ke tempat sampah dan tertawa sinis. "Sadar diri, Luna. Pacaran sama kamu itu aib buat reputasiku," ucapnya telak. Hari itu, Luna dipermalukan dengan siraman tepung dan air, sementara videonya viral dengan judul "Si Cupu yang Gak Tahu Diri." Luna hancur, dan ia bersumpah tidak akan pernah kembali menjadi orang yang sama.

Akankah Luna bisa membalaskan semua dendam itu? Nantikan keseruan Luna...

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kde_Noirsz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 13 : UJIAN DI TENGAH BADAI

Gerbang SMA Pelita Bangsa berdiri kokoh dan angkuh, seolah-olah menyambut mangsa barunya. Namun, pagi ini, atmosfer di depan sekolah terasa berbeda. Sebuah motor sport hitam legam menderu pelan, memecah kesunyian barisan mobil mewah para siswa.

Xavier turun dari motor itu dengan gerakan yang tenang. Di belakangnya, seorang gadis turun dengan perlahan. Ia tidak lagi memakai kacamata tebal yang menutupi separuh wajahnya. Rambut panjangnya yang dulu selalu kusam dan sering menjadi sasaran perundungan, kini telah dipotong pendek dengan gaya bob yang tajam dan rapi, membingkai wajahnya yang pucat namun terlihat jauh lebih tegas.

Dia adalah Aluna Seraphine. Tapi bagi siapa pun yang melihat matanya hari ini, mereka tidak akan menemukan jejak "Si Itik Lumpur" yang biasa mereka injak.

"Jangan pernah lepaskan pandanganmu dari tujuan utama," bisik Xavier sambil memberikan helmnya kepada Luna. "Ingat apa yang kamu pelajari dari buku itu. Mereka akan mencoba memancing emosimu. Jangan berikan mereka kepuasan itu."

Luna mengangguk pelan. Ia menatap gedung sekolah itu tanpa rasa takut yang biasanya melumpuhkannya. "Aku sudah mati di gudang pelabuhan itu, Xavier. Yang berdiri di sini sekarang hanyalah bayangan yang sedang menunggu waktu untuk menjadi badai."

Luna melangkah masuk ke koridor utama. Seketika, suara riuh rendah obrolan para siswa terhenti. Mereka yang tadinya sedang tertawa atau memamerkan barang mewah, mendadak membeku. Berita tentang kembalinya Luna setelah skorsing memang sudah tersebar, tapi mereka tidak menyangka akan melihat Luna dalam versi ini.

"Wah, wah, lihat! Si Pelacur Pelabuhan balik lagi dengan gaya baru!" teriakan Kevin memecah keheningan. Ia berdiri di tengah koridor bersama Maya dan sisa-sisa pengikut Selin.

"Rambut baru, mata baru... tapi tetap saja bau kemiskinan itu nggak hilang ya?" ejek Maya sambil mendekat, membawa botol air mineral di tangannya, siap untuk melakukan aksi siraman rutinnya.

Luna berhenti tepat di depan Maya. Biasanya, Luna akan segera menunduk atau berbalik lari. Namun kali ini, Luna justru menatap langsung ke dalam mata Maya. Tatapannya begitu dingin, begitu kosong, hingga Maya secara refleks menghentikan gerakannya.

"Air itu mahal, Maya," ucap Luna dengan suara yang sangat tenang namun menusuk. "Lebih baik kamu simpan untuk membasuh wajahmu saat butik ibumu benar-benar rata dengan tanah besok pagi."

Maya tertegun. "Lo... lo bilang apa?! Berani lo ngancem gue?!"

"Aku tidak mengancam. Aku hanya membacakan ramalan cuaca untuk masa depanmu," jawab Luna. Ia berjalan melewati Maya begitu saja, membiarkan gadis itu mematung dalam kemarahan yang tertahan.

Ujian Akhir Semester dimulai di aula besar. Ratusan meja berbaris rapi. Luna duduk di bangku nomor 142. Di seberangnya, Reihan duduk dengan tangan yang masih dibalut gips, hasil dari amukan Xavier di gudang. Mata Reihan merah, penuh dengan dendam yang membara. Sejak kejadian itu, ayahnya terus memarahinya karena saham perusahaan mereka mulai goyah akibat rumor penculikan tersebut, dan ia melimpahkan semua amarah itu pada Luna.

Selama ujian berlangsung, Luna tidak sedikit pun menoleh ke arah Reihan. Ia mengerjakan soal-soal matematika dan fisika itu dengan kecepatan yang tidak wajar. Pelatihan mental dan materi yang diberikan Xavier selama masa skorsing ternyata jauh lebih berat daripada kurikulum sekolah, membuat soal-soal ujian ini terasa seperti permainan anak-anak baginya.

Di tengah ujian, sebuah gumpalan kertas mendarat di meja Luna. Ia membukanya perlahan.

"Setelah ujian ini selesai, jangan harap kamu bisa pulang dengan selamat. Kamu dan Xavier akan membayar semua yang terjadi pada Selin dan Bima."

Luna hanya melirik kertas itu, lalu meremasnya dan memasukkannya ke dalam saku tanpa ekspresi. Ia terus menulis, menyelesaikan ujiannya dua puluh menit lebih awal dari waktu yang ditentukan.

Saat Luna berjalan keluar aula untuk mengumpulkan lembar jawabannya, ia melewati meja Reihan. Reihan sengaja menjulurkan kakinya untuk menyandung Luna.

Namun, Luna sudah mengantisipasinya. Ia tidak menghindar dengan canggung; ia justru menginjak kaki Reihan dengan tumit sepatunya sekuat tenaga tepat di bagian punggung kaki yang tidak terlindungi.

"ARGH!" Reihan mengerang tertahan, wajahnya memerah menahan sakit di tengah ruangan yang sunyi.

"Maaf," ucap Luna tanpa nada penyesalan sedikit pun. "Lain kali, simpan kakimu di tempat yang seharusnya jika tidak ingin kehilangan fungsinya."

Pengawas ujian menegur mereka, tapi Luna sudah melenggang keluar aula dengan kepala tegak. Di luar, Xavier sudah menunggu, bersandar pada pilar gedung dengan mata yang terus waspada memantau setiap pergerakan di lantai dua.

Sore hari, setelah ujian hari pertama usai, teror yang dijanjikan dalam surat itu benar-benar terjadi. Saat Luna dan Xavier hendak menuju parkiran, sekelompok pria berbadan tegap bukan siswa, melainkan orang bayaran keluarga Dirgantara sudah memblokir jalan keluar.

"Xavier, sepertinya mereka tidak sabar," gumam Luna.

"Tetap di belakangku," jawab Xavier. Ia melepas kacamata cupunya, menyerahkannya pada Luna. "Jangan tutup matamu. Kamu harus belajar melihat bagaimana dunia ini bekerja."

Enam orang pria itu maju serentak. Mereka membawa tongkat pemukul yang disembunyikan di balik jaket. Tanpa banyak bicara, mereka menyerang Xavier.

Xavier bergerak seperti tarian maut. Di bawah cahaya matahari sore yang mulai meredup, ia menghindari setiap ayunan tongkat dengan gerakan milimetris. Ia menangkap lengan salah satu penyerang, memutarnya hingga terdengar bunyi tulang berderak, lalu menggunakannya sebagai tameng untuk menahan serangan penyerang lainnya.

Luna berdiri hanya dua meter dari sana. Ia tidak berteriak. Ia melihat darah yang muncrat dari bibir salah satu penyerang saat Xavier melayangkan tendangan berputar. Ia melihat ketakutan di mata orang-orang yang biasanya menindasnya. Untuk pertama kalinya, Luna menyadari bahwa kekuatan fisik bisa sangat memuaskan jika digunakan untuk membela diri.

Hanya dalam waktu tiga menit, keenam pria itu tergeletak di aspal parkiran sekolah.

Reihan muncul dari balik pilar, wajahnya pucat pasi melihat orang-orang bayarannya tumbang begitu cepat. Ia memegang sebuah pisau lipat, tangannya gemetar hebat.

"Lo... lo monster, Xavier! Lo bukan manusia!" teriak Reihan.

Xavier melangkah maju, namun Luna menahan bahunya. "Biarkan aku, Xavier."

Luna berjalan mendekati Reihan. Ia menatap pisau di tangan Reihan tanpa berkedip. "Kamu ingin membunuhku, Reihan? Silakan. Tapi ingat, jika aku mati hari ini, Madam akan memastikan seluruh keluargamu dimakamkan di lubang yang sama denganku sebelum matahari terbenam."

Mendengar nama Madam, Reihan membeku. Ia tidak tahu siapa itu, tapi aura yang terpancar dari Luna saat menyebut nama itu membuatnya merasa sangat kecil. Pisau di tangannya jatuh ke aspal.

"Siapa... siapa Madam itu?" tanya Reihan dengan suara bergetar.

Luna tidak menjawab. Ia hanya mengambil pisau itu dari lantai, melipatnya, dan menjatuhkannya ke selokan terdekat.

"Kamu akan segera tahu," bisik Luna. "Satu minggu lagi, Reihan. Nikmati sisa-sisa kemewahanmu minggu ini. Karena setelah itu, kamu bahkan tidak akan sanggup membeli selembar roti untuk makan malammu."

Luna berbalik dan menaiki motor Xavier. Mereka meninggalkan sekolah yang kini dipenuhi bisikan ketakutan.

Malam harinya, di rumah kontrakan, Luna duduk di depan laptop yang diberikan Xavier. Ia sedang melihat data saham Dirgantara Group yang terus merosot. Di layar kecil di pojok laptop, sebuah notifikasi panggilan masuk muncul.

Bukan panggilan video, hanya layar hitam dengan tulisan "MADAM".

Luna menekan tombol terima dengan tangan yang dingin.

"Bagaimana rasanya kembali ke sana, Aluna?" suara wanita tua itu terdengar tenang namun sangat tajam.

"Rasanya... seperti melihat semut-semut yang sedang merayakan kehancurannya sendiri, Madam," jawab Luna.

"Bagus. Aku suka jawabanmu. Xavier melaporkan bahwa emosimu sudah sangat stabil. Kamu sudah siap untuk fase berikutnya. Besok adalah hari terakhir ujianmu. Setelah bel terakhir berbunyi, jangan pulang ke rumah. Xavier akan membawamu langsung ke bandara."

"Lalu bagaimana dengan Bibiku? Aku tidak bisa meninggalkannya."

"Bibimu sudah aman di salah satu mansionku di pinggiran kota. Dia akan mendapatkan perawatan medis terbaik. Fokuslah pada dirimu. Aku tidak ingin melihat ada setetes pun air mata 'cupu' saat kamu mendarat di Swiss nanti."

"Dimengerti, Madam."

Luna mematikan sambungan telepon. Ia menatap kamarnya yang sempit untuk terakhir kali. Ia tahu, saat ia keluar dari pintu ini besok, ia tidak akan pernah kembali lagi sebagai orang yang sama.

Hari terakhir ujian tiba. Seluruh sekolah heboh karena munculnya sebuah pengumuman di layar besar aula sekolah tepat setelah ujian berakhir. Pengumuman itu bukan dari sekolah, melainkan sebuah video pendek yang memperlihatkan aset-aset keluarga Dirgantara yang sedang disita satu per satu oleh pihak bank.

Reihan berteriak histeris di tengah aula, mencoba mematikan layar itu, namun tidak ada yang bisa menghentikannya. Di tengah kekacauan itu, Luna berdiri tenang di pintu keluar aula.

Ia melepaskan jaket sekolahnya, membuangnya ke tumpukan sampah di pojok ruangan. Ia menatap Xavier yang sudah menunggunya dengan sebuah mobil sedan mewah hitam bukan lagi motor sport.

"Waktunya pergi, Luna," ucap Xavier sambil membukakan pintu.

Luna masuk ke dalam mobil. Saat mobil itu mulai bergerak meninggalkan sekolah, Luna melihat melalui kaca jendela belakang. Ia melihat Maya yang sedang menangis karena ponselnya baru saja diblokir, dan Reihan yang sedang diseret keluar oleh petugas keamanan karena membuat keributan.

"Selamat tinggal, SMA Pelita Bangsa," gumam Luna. "Lain kali kita bertemu... kalianlah yang akan merangkak di bawah kakiku."

Mobil itu melesat menuju bandara, membawa Luna menuju transformasi yang akan mengguncang dunia. Namun, di dalam pesawat pribadi yang sudah menunggu, Luna melihat sebuah dokumen di atas meja. Dokumen itu berisi profil musuh keduanya seseorang yang bahkan lebih berbahaya daripada Reihan.

"Siapa ini, Xavier?" tanya Luna sambil menunjuk foto seorang gadis cantik yang terlihat sangat anggun di dokumen itu.

Xavier melirik sekilas. "Dia adalah Valerie. Cucu angkat Madam. Dan dia adalah alasan kenapa kamu harus menjadi lebih kejam daripada siapa pun di dunia ini."

1
Ayu Nur Indah Kusumastuti
😍😍 xavier
Ayu Nur Indah Kusumastuti
semangat author
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!