Bagi Fahreza Amry, hinaan dan cemoohan ayah mertuanya, menjadi cambuk baginya untuk lebih semangat lagi membahagiakan keluarga kecilnya. Karena itulah ia rela pergi merantau, agar bisa memiliki penghasilan yang lebih baik lagi.
Namun, pengorbanan Reza justru tak menuai hasil membahagiakan sesuai angan-angan, karena Rinjani justru sengaja bermain api di belakangnya.
Rinjani dengan tega mengajukan gugatan perceraian tanpa alasan yang jelas.
Apakah Reza akan menerima keputusan Rinjani begitu saja?
Atau di tengah perjalanannya mencari nafkah, Reza justru bertemu dengan sosok wanita yang pernah ia idamkan saat remaja?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moms TZ, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Permintaan Dhea
Reza terkesiap mendengar permintaan Dhea. Dia tidak menyangka anaknya yang masih kecil bisa berpikiran sejauh itu. Reza merasa bingung dan tidak yakin bagaimana harus menanggapinya.
"Ayah menikah saja dengan Tante Icha. Biar dia jadi ibunya Dhea," cetus Dhea dengan tatapan polosnya ke arah Reza.
"Dhea, sayang... Menikah itu tidak semudah yang kita bayangkan. Ayah harus mempertimbangkan banyak hal, seperti kebahagiaan kita semua, masa depan kita, dan masih banyak lagi," katanya dengan suara lembut.
Reza berusaha menjelaskan dengan bahasa yang sederhana agar bisa mudah dipahami oleh anaknya yang masih kecil.
"Kenapa tidak mudah, Ayah?" tanya Dhea. "Kan, Tante Icha orangnya baik, dia juga sayang sama Dhea," imbuhnya kemudian.
Reza menghela napas dalam-dalam, lalu tersenyum dan menatap Dhea dengan teduh.
"Ayah tahu Dhea menyukai Tante Marisa. Tapi, menikah itu tidak hanya tentang menyayangi seseorang. Ayah harus memastikan bahwa dia adalah orang yang tepat, dan kita juga siap untuk menghadapi kehidupan baru bersama," tutur Reza.
"Ayah tidak ingin membuat keputusan yang salah, yang bisa membuat kita semua tidak bahagia," pungkasnya seraya mengusap pucuk kepala Dhea penuh kasih sayang.
"Apa Dhea mengerti maksud, ayah?" tanya Reza selanjutnya.
Dhea mengangguk. "Mengerti, Yah," jawabnya dengan setengah hati sambil menunduk kecewa.
"Ayo, ayah antar ke kantor Tante Marisa," ajak Reza seraya menepuk bahu Dhea lembut.
"Nggak perlu, Yah. Dhea bisa ke sana sendiri, kok," Dhea tampak merajuk, lalu mulai mengayuh sepedanya.
"Papay, Ayah...!" serunya tanpa menoleh.
Reza melambaikan tangannya seraya menatap Dhea dengan pandangan yang-- entahlah. Kepalanya kini dipenuhi oleh berbagai pemikiran yang rumit.
"Maafkan ayah, Nak. Mana mungkin ayah bisa bersanding dengan Bu Marisa...?" Reza terkekeh kecil.
"Membayangkannya saja ayah tidak berani. Apakah pantas-- ayah hanyalah seorang buruh kasar, sedangkan dia...?" Reza menggelengkan kepalanya.
"Lagipula pengkhianatan ibumu masih meninggalkan luka di hati ayah. Rasanya ayah takut untuk memulai," gumamnya pelan, kemudian melanjutkan langkahnya menuju gudang.
Di sana telah menunggu Agus dan Bagas yang tersenyum-senyum menyambut kedatangannya membuat Reza mengernyit.
"Shuuutt," Bagas bersiut lalu tersenyum lebar.
"Gasss, Za. Kalian cocok, kok. Kelihatannya dia sayang banget sama anakmu," kata Agus sambil mengangkat jempol tangannya sambil mengedipkan mata.
"Kalian ini pada ngomong apa sih?" kata Reza ngeles. "Aku masih belum kepikiran ke sana. Aku masih ingin menikmati waktuku bersama Dhea dan memastikan kebahagiaannya."
"Aku juga tidak mau terburu-buru dan tidak ingin salah melangkah." Reza berkata sambil menatap kosong ke depan.
"Apa yang aku alami beberapa waktu lalu masih menyisakan trauma. Jadi, tidak semudah itu aku menerima orang lain masuk dalam kehidupanku," sambung Reza.
"Tapi, Za. Anakmu butuh kasih sayang seorang ibu di sini," ujar Bagas. "yang bisa menjaganya, juga membimbingnya. Sebentar lagi dia masuk usia sekolah, terus siapa yang akan mengantar jemput dia sementara kamu bekerja?"
"Aku perhatikan Dhea sangat nyaman dengan Bu Marisa. Apa kamu tega mengecewakan harapannya?" tambah Agus dengan nada serius dan menekan, seakan memaksa Reza untuk mempertimbangkan keputusannya.
*
Di kantor Marisa.
Dhea bermain sepeda sendirian sambil bernyanyi di halaman kantor. Marisa sesekali memastikan anak itu aman dalam pengawasannya. Sebelum bermain sepeda Marisa mengoleskan sunscreen pada wajah dan tangan Dhea, memakaikannya topi dan kacamata hitam agar terhindar dari efek buruk paparan sinar matahari.
Marisa tersenyum melihat Dhea tampak menikmati waktu bermainnya, terlihat begitu gembira dan mandiri, membuat hati Marisa merasa kagum sekaligus bangga."
"Sayang, berhenti dulu mainnya. Sudah saatnya makan siang!" seru Marisa.
"Iya, Tante," sahut Dhea seraya mendekat pada Marisa.
Dhea turun dari sepedanya, dan langsung di sambut oleh Marisa. Wanita itu mengelap wajah Dhea yang berkeringat menggunakan tissu. Setelahnya mereka berdua mencuci tangan terlebih dahulu sebelum makan.
Sementara di dalam ruangan, Lira sedang menata hidangan makan siang mereka di atas meja. Marisa dan Dhea masuk ke dalam lalu duduk di sofa. Dhea menatap makanan yang sangat banyak timbul ide di dalam benak kecilnya.
"Tante, boleh nggak Dhea ambil lauknya buat Ayah?" tanya Dhea dengan ragu-ragu.
Marisa dan Lira saling pandang. Namun, sesaat kemudian Marisa mengangguk. "Boleh, boleh banget malah," kata Marisa.
Ia lalu membungkuskan beberapa lauk dan sayur, tak lupa sambal serta kerupuk. Marisa memasukkannya ke dalam plastik kecil.
"Makasih, Tante." Dhea bergegas keluar, lantas menaruh plastik berisi lauk pauk ke dalam keranjang sepedanya.
"Hati-hati, Sayang!" seru Marisa sambil terus mengawasi Dhea yang mengayuh sepedanya dan memastikan tidak terjadi sesuatu pada anak itu.
"Ternyata aku makin cinta
Cinta sama kamu
Hanya kamu seorang, kasih
'Ku tak mau yang lain
Hanya sama kamu
Kamu yang terakhir yang kucinta..."
Di dalam ruangan Lira berdendang dengan suaranya yang keras seolah sedang menggoda Marisa.
Marisa hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala mendengarnya, sebab ia tahu apa maksud sekretarisnya itu.
*
Dhea langsung turun dari sepedanya begitu sampai di gudang. Ia segera menghampiri ayahnya yang sedang membuka bungkusan bekalnya.
"Ayah...lihat, deh! Dhea bawa apa?" serunya sambil menunjukkan barang bawaannya.
"Sayang, kenapa kamu ke sini?" tanya Reza dengan ekspresi terkejut.
"Dhea mengantar lauk dan sayur dari Tante Icha buat Ayah," sahut Dhea dengan wajah berseri.
Reza terbengong untuk sesaat. Tiba-tiba tenggorokannya terasa kering, sehingga membuatnya merasa kesulitan untuk menelan ludahnya sendiri.
Namun kemudian, dia mencoba tersenyum. "Bilang terima kasih ayah pada Bu Marisa ya, Nak," kata Reza dengan suara tercekat sambil mengelus rambut anaknya.
"Baik, Yah." Dhea pun kembali mengayuh sepedanya dengan penuh semangat.
"Cieee... Makin perhatian nih, Bu Bos," ledek Agus dan Bagas bersamaan.
"Apaan, sih," elak Reza dengan wajah memerah. "Sudah makan saja kalau kalian pada mau," lanjutnya lalu menyantap makanannya dengan lahap.
*
*
*
*
*
Mari sejenak kita mengintip kehidupan Farhan.
Siang itu, cahaya matahari yang lembut masuk melalui jendela kantor, menerangi ruangan yang tenang. Suara mesin printer dan keyboard menjadi melodi yang indah, menciptakan suasana yang dinamis, tetapi tetap teratur.
Farhan duduk di depan komputernya, fokus pada pekerjaannya sambil sesekali menengok ke ponselnya yang sejak semalam tak lelah berdering. Nama yang tertera masih sama, tetapi dia seolah enggan untuk sekedar menerima panggilan atau membalas pesan.
Baru saja Farhan berinisiatif untuk mengangkat panggilan itu, penglihatannya menangkap sosok wanita cantik datang menghampirinya sambil tersenyum manis. Wanita itu lantas mengedipkan matanya genit ke arah Farhan.
Seakan sebuah kode, tak lama berselang Farhan pun membuntuti wanita tersebut hingga keduanya kini berada di toilet.
Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan keduanya langsung berciuman. Awalnya sangat lembut, tetapi lama kelamaan begitu menuntut. Bahkan tangan Farhan pun mulai tak bisa dikondisikan. Merayap di antara padang safana hingga hampir mencapai bukit kembar.
Di saat mereka hampir terlena, ponsel Farhan kembali berdering dan berhasil menghentikan aksi keduanya. Farhan menggeram dalam hati.
"Kita lanjut nanti di tempat biasa ya, Mas?" bisik wanita itu dengan manja.
"Baiklah, Sayang. Kamu memang terbaik," balas Farhan sembari mengerling nakal, lalu membisikkan sesuatu yang membuat wanita itu tersenyum dan tersipu malu, kemudian berlalu pergi dari tempat itu.
"Ngapain sih, perempuan itu terus saja menelponku? Ck ... mengganggu saja!" decaknya kesal.
Farhan mengatur napasnya senatural mungkin lalu mengangkat panggilan telepon dari Rinjani.
"Hal..." Farhan menjauhkan ponsel dari telinganya begitu mendengar suara teriakan Rinjani dari seberang telepon.
"Kenapa kamu sulit dihubungi, Mas?" serang Rinjani langsung begitu teleponnya diangkat. "Kamu sekarang juga jarang pulang. Apa ada sesuatu yang kamu sembunyikan?"
"Maaf, Sayang? Aku sedang sibuk di kantor," jawab Farhan dengan lembut.
"Tapi aku ingin kamu pulang, Mas. Kita perlu bicara tentang masa depan kita," Rinjani menekankan, suaranya terdengar sangat tegas.
"Ya, nggak bisa gitu, Sayang. Kamu tahu sendiri, aku tidak bisa sembarangan minta izin," Farhan beralasan.
"Aku tidak mau tahu ya, Mas. Aku sudah rela berpisah dengan Mas Reza demi kamu. Apakah ini balasanmu?" sembur Rinjani, suaranya sarat dengan kekecewaan.
"Aahhh... dasar perempuan si*lan! Merepotkan saja bisanya." Farhan mengumpat kesal setelah Rinjani mengakhiri panggilan.
Dia mengerang frustasi, menendang apa saja di dekatnya. Namun, dia tidak menyadari bahwa ada sepasang telinga yang sejak tadi mendengarkan apa dia lakukan sambil tersenyum sinis.
masih mending Sean berduit, lha Farhan?? modal kolorijo 🤢
Siapa yg telpon, ibunya Farhan, Rinjani atau wanita lain lagi ?
Awas aja kalau salah lagi nih/Facepalm/
maap ya ibuu🙈🙈
Rinjani....kamu itu hanya dimanfaatkan Farhan. membuang Reza demi Farhan dan ternyata Farhan sudah mencari mangsa yang lain😂