Bertahun-tahun memendam cinta pada Bagaskara, Aliyah rela menolak puluhan lamaran pria yang meminangnya.
Tak disangka, tepat di hari ulang tahunnya, Aliyah mendapati lamaran dari Bagaskara lewat perantara adiknya, Rajendra.
Tanpa pikir panjang Aliyah iya-iya saja dan mengira bahwa lamaran itu memang benar datang dari Bagaskara.
Sedikitpun Aliyah tidak menduga, bahwa ternyata lamaran itu bukan kehendak Bagaskara, melainkan inisiatif adiknya semata.
Mengetahui hal itu, alih-alih sadar diri atau merasa dirinya akan menjadi bayang-bayang dari mantan calon istri Bagaskara sebelumnya, Aliyah justru bertekad untuk membuat Bagaskara benar-benar jatuh cinta padanya dengan segala cara, tidak peduli meski dipandang hina ataupun sedikit gila.
.
.
"Nggak perlu langsung cinta, Kak Bagas ... sayang aja dulu nggak apa-apa." - Aliyah Maheera.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26 - Peringatan Keras
Mata Aliya membulat sempurna tatkala Bagaskara justru mengatakan ingin lihat. Sekali lagi, lihat dan tentu saja hal itu membuat Aliya bergidik ngeri.
Jika tidak sedang dalam keadaan seperti ini, mungkin dia mau saja. Menanggapi hal itu sebagai candaan bukanlah sesuatu yang sulit.
Akan tetapi, berhubung pinggangnya saja mulai berasa sakit dan makin lama makin sakit, tubuh Aliya menanggapinya dengan cara berbeda.
“Lihat apa yang mau dilihat, Kak? Kurang percaya apa gimana?” Kening Aliya sampai berkerut lantaran benar-benar tidak habis pikir dengan pertanyaan itu.
“Masih tanya, tentu saja iya dan bisa jadi kamu sengaja berpura-pura karena balas dendam kubiarkan menunggu tadi 'kan?” tanya Bagas dengan sekian banyak kecurigaan di dalam hatinya.
Menghadapi tuduhan tersebut, Aliya berusaha tenang meski rasanya ingin marah. “Kak, kepikiran buat begitu saja enggak, bisa-bisanya dituduh pura-pura.”
“Aku tanya.”
“Tanya apa yang begitu? Kakak nuduh namanya ... padahal buat apa aku bohong coba, memang beneran ha-id kok, itu aku beli pembalut banyak.” Sembari berusaha menahan sakit, Aliya menunduk ke arah kantong belanja yang baru dia dapatkan lewat delivery order beberapa waktu lalu.
Sengaja dia melakukannya sendiri karena Aliya cukup sadar diri, mustahil dia meminta Bagas membeli keperluannya karena khawatir Bagas justru membencinya sebelum rasa cinta itu ada.
Selesai memberi penjelasan tersebut, Aliya membawa tubuh lelahnya ke atas tempat tidur. Dia mendaratkan tubuhnya perlahan-lahan dan mencari posisi nyaman sembari menekan perutnya.
Mata wanita itu terpejam dan dia terlihat tidak punya tenaga untuk berusaha merayu seperti biasa. Tentu saja Bagas sadar akan perubahan itu dan setelah lama berpikir, dia menyadari bahwa Aliya tidak sedang bersandiwara.
Memang benar wanita itu tengah kedatangan tamunya dan Bagaskara tidak ingin memperpanjang masalah. Tentang yang dia jalani ini, anggap saja lantaran nasib sial saja.
Pria itu mengusap kasar wajahnya, perlahan duduk di tepian tempat tidur sembari melirik Aliya sesekali.
Semakin dilihat, semakin jelas bahwa wanita itu tengah kesakitan hingga Bagaskara merasa tidak mungkin hanya diam.
Dan, hal pertama yang dia lakukan saat hendak membantu Aliya tidak bertanya langsung padanya, melainkan mencari informasi sendiri.
Jarinya lincah menari di layar, mencari tahu apa yang sebenarnya bisa dilakukan seorang suami kalau istrinya sedang haid dan kesakitan.
Beberapa hal tertulis jelas. Siapkan minuman hangat, bantu dengan kompres hangat di perut, pijatan ringan di punggung, sediakan obat pereda nyeri kalau perlu, bahkan sekadar menemani atau memeluk juga bisa membantu.
Bagas mendengus kecil. “Ribet juga,” gumamnya pelan, tapi tanpa sadar sudut bibirnya mengembang tipis.
Tatapannya kembali ke arah Aliya yang meringkuk sambil menggigit bibir bawah. Sekeras apa pun wanita itu mencoba terlihat kuat, jelas sekali rasa sakitnya lebih dominan.
Perlahan, Bagas beranjak. Dia ke dapur sebentar, menyiapkan air panas dalam botol kaca yang dia bungkus dengan handuk kecil. Begitu kembali ke kamar, perlahan dia meletakkan kompres hangat itu di perut Aliya.
Wanita itu mengerjap, matanya terbuka samar, lalu menatap Bagas dengan ekspresi bingung. “Kak?” Suaranya lirih, lemah.
“Diam, katanya ini bisa bantu.” Bagas terdengar canggung, seperti tidak terbiasa melakukan hal semacam ini, tapi tatapannya penuh kesungguhan.
Aliya sempat tertegun. Bukan hanya karena kompres hangat itu membuat perutnya sedikit lega, melainkan juga karena sikap Bagas yang jauh dari dugaan.
“Aku juga bikin teh hangat … mau?” tanya Bagas, kali ini lebih lembut.
Aliya hanya mengangguk pelan. Tubuhnya masih sakit, tapi hatinya mulai hangat. Bagas menatapnya sekali lagi, lalu berdiri hendak mengambil teh.
Dalam hati Aliya bergumam, “Tiba-tiba banget begitu, dia habis dapat ceramah dari Rajendra atau gimana?”
.
.
Tak butuh waktu lama, Bagaskara kembali dengan secangkir teh hangat di tangannya. Uap tipis mengepul, aroma chamomile samar menenangkan ruangan yang sepi.
Perlahan, ia menyodorkannya ke arah Aliya. “Pelan-pelan, jangan buru-buru.”
Aliya menyentuh cangkir itu dengan tangan bergetar, tapi Bagas cepat mengambil alih, menyuapkan langsung ke bibir mungil istrinya. Sesendok, dua sendok, hangatnya mulai menyebar, membuat tubuh Aliya sedikit lebih rileks.
“Cukup?” tanya Bagas, suaranya datar tapi matanya tak beralih dari wajah Aliya.
Aliya mengangguk kecil. “Iya, makasih, Kak.” Senyum samar muncul, meski matanya tampak berat menahan sakit.
Tak dia tanggapi, Bagas menghela napas, menaruh cangkir di meja, lalu duduk di tepi ranjang. Ia menatap Aliya lama, seolah mempertimbangkan sesuatu. Pada akhirnya, tanpa banyak kata, ia meraih tubuh rapuh itu, menariknya perlahan ke dalam dekapan.
Aliya terkejut, tubuhnya sempat kaku. Tapi begitu merasakan hangatnya dada Bagas, detak jantungnya yang stabil, dan lengannya yang kokoh mengelilingi tubuhnya, rasa sakit yang tadinya menusuk perlahan mereda. Ada perasaan aman yang tidak bisa dia dustakan.
“Kak,” bisiknya nyaris tak terdengar.
“Hm?” Bagas hanya menjawab dengan gumaman rendah, dagunya bertengger di atas kepala Aliya.
“Kak Bagas ... i-ini apa?”
Bagas tidak menanggapi dengan kata-kata. Ia hanya mengeratkan pelukannya, seakan ingin memastikan bahwa wanita dalam dekapannya tahu, meski ia keras kepala, meski ucapannya sering menyakitkan, tapi perhatiannya nyata.
Perlahan, Aliya menutup mata, napasnya mulai teratur, perlahan tenggelam dalam rasa nyaman yang jarang ia dapatkan. Dalam hitungan menit, tubuhnya benar-benar pasrah, tidur nyenyak di pelukan pria yang tadi sempat menuduhnya dengan kasar.
Menyadari Aliya mulai terlelap, Bagaskara perlahan memperbaiki posisi Aliya, dia kembali menidurkan wanita itu dengan sangat amat hati-hati, bahkan napas saja dia tahan.
Hingga, tepat di saat sudah berhasil, Bagaskara tidak segera berlalu, melainkan ikut berbaring di sebelah Aliya yang kini sudah begitu lelap.
Cukup lama dia perhatikan, dan tepat di saat Aliya meringis lagi, Bagaskara dengan cepat meraih pinggang Aliya dan memijat pelan demi meringankan rasa sakit yang dialami istrinya.
Sontak, tubuh wanita itu sedikit tenang, ekspresi tegang di wajahnya perlahan mengendur. Napasnya yang sempat terputus-putus karena menahan perih kini kembali teratur.
Baru saja Bagaskara hendak kembali membaringkan tubuhnya di sisi Aliya, getaran halus ponsel di nakas membuat fokusnya teralihkan.
Pandangannya sekilas jatuh pada layar yang menyala samar. Nomor pengirim pesan itu jelas terpampang, membuat kedua alisnya berkerut tajam.
Tangannya otomatis meraih ponsel tersebut, awalnya dengan niat hanya memastikan. Namun begitu ia membaca barisan kalimat yang tertulis, amarahnya mendidih seketika.
|| Al, are you okay? Anjani bilang ... seperti ada yang kamu tutup-tutupi. Jika benar pernikahan itu tidak membuatmu bahagia, katakan saja, Al, biar aku yang mengakhirinya.
Rahangnya mengeras, jantungnya berdegup kencang. Bukan karena gugup, melainkan karena rasa tidak terima yang begitu besar. Bagaskara menoleh sekilas pada Aliya yang masih terlelap dalam pelukannya.
Bagaskara menggenggam ponsel itu begitu erat hingga buku jarinya memutih. Napasnya terdengar berat, naik-turun tidak beraturan, seolah sedang menahan diri agar tidak melampiaskan emosi dalam bentuk yang lebih parah.
“Kurang ajar,” desisnya nyaris tanpa suara.
Beberapa detik ia membiarkan dirinya berpikir, berperang dengan amarah yang menguasai kepala. Bagas tahu seharusnya ia mengabaikan dan tidak menanggapi pesan semacam ini.
Namun, melihat Aliya terlelap di sisinya, tubuh rapuh itu masih butuh perlindungan, hati Bagas tidak bisa hanya diam.
Ia membuka balasan, jemarinya bergerak cepat namun penuh tekanan, seakan tiap huruf yang ia ketik adalah pelampiasan dari bara yang membakar dadanya.
|| Berhenti mengusik istriku. Seujung kuku pun kau tidak berhak mengakhiri pernikahan kami, camkan itu.
.
.
- To Be Continued -
Alhamdulillah, last eps hari ini ... see you esok hari ~
jangan sampai ada lelaki lain yang menyayangi aliya melebihi kamu, bagas
Kagak tauu ape, duo makhluk itu lagi kasmaran 😆..
Elu jadi saksi bisuuuu, gitu aja kagak paham, ngiri yaaa 😆...
So selirih apapun suaramu selama tidak memakai bahasa kalbu Bagas bakalan dengar 😅..
Lain kali hati-hati ngomongnya apalagi kalau mau bully Bagas 😆✌...