Janetta Lee, dikhianati saat mengandung, ditinggalkan di jalan hingga kehilangan buah hatinya, dan harus merelakan orang tuanya tewas dalam api yang disulut mantan sang suami—hidupnya hancur dalam sekejap.
Rasa cinta berubah menjadi luka, dan luka menjelma dendam.
Ketika darah terbalas darah, ia justru terjerat ke dalam dunia yang lebih gelap. Penjara bukan akhir kisahnya—seorang mafia, Holdes Shen, menyelamatkannya, dengan syarat: ia harus menjadi istrinya.
Antara cinta yang telah mengkhianati, dendam yang belum terbayar, dan pria berbahaya yang menggenggam hatinya… akankah ia menemukan arti cinta yang sesungguhnya, atau justru terjebak lebih dalam pada neraka yang baru?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Janetta masih terhanyut di pelukan suaminya, sementara Holdes belum terlelap.
“Janetta, aku akan membantumu menemukan orangtua kandungmu. Latar belakangmu membuatku sangat penasaran,” batin Holdes sambil mengecup dahi wanita itu.
Keesokan harinya.
Bowie menyerahkan laporan kepada bosnya yang duduk di ruang pribadi.
Holdes membaca tulisan yang tercantum di sana.
“Hanya penyakit biasa, dan tidak tertulis kalau mereka mengadopsi anak dari panti asuhan. Mereka bahkan tidak pernah melahirkan. Lalu, di mana mereka menemukan Janetta?” tanya Holdes.
“Tidak ada informasi tentang itu, Bos. Sepertinya disembunyikan dengan rapat. Latar belakang nyonya sangat mencurigakan. Bukan dari panti asuhan juga. Mereka tak punya kerabat dekat. Jadi di mana mereka menemukan nyonya? Sungguh tanda tanya,” jawab Bowie.
“Mungkin saja Janetta sendiri tidak tahu soal ini. Tidak ada alasan baginya menyembunyikannya dari kita,” ucap Holdes.
“Bos, Hanz Liu sudah membalas pesan kita. Dia akan menemui kita besok,” kata Bowie
“Aku tidak sabar menunggu besok. Awasi setiap gerak-gerik anggota mereka. Jika mereka berani bertindak sembarangan, bunuh langsung di tempat. Kirim sniper mengawasi dari jarak jauh!” perintah Holdes.
“Baik, Bos,” jawab Bowie.
Sebuah restoran mewah di pusat kota ditutup untuk umum malam itu. Tirai tebal menutupi kaca jendela, sementara cahaya lampu gantung berkilau redup. Suasana sunyi, hanya terdengar derap langkah anak buah yang berjaga di setiap sudut.
Di tengah ruangan, sebuah meja panjang dipenuhi gelas kristal yang kosong. Holdes duduk di ujung kiri, tubuhnya tegap dengan tatapan penuh wibawa. Di belakangnya berdiri Bowie dan dua pria bersenjata yang menyamarkan pistol di balik jas.
Di seberang meja, Hanz Liu melangkah masuk. Jas hitamnya rapi, wajahnya datar tanpa senyum. Ia duduk dengan tenang, sementara tiga anak buahnya menjaga di belakang kursi, menatap tajam ke arah pihak Holdes.
Keduanya terdiam sejenak, saling menatap dengan dingin, seolah mencoba membaca isi pikiran masing-masing.
“Mengirim pembunuh untuk membunuhku, kau benar-benar meremehkanku, Hanz Liu!” cetus Holdes, nadanya penuh amarah.
“Bukankah kita imbas? Sebelumnya banyak anak buahku mati di tanganmu. Kali ini aku ingin balas dendam,” jawab Hanz Liu tenang, tetapi matanya menyimpan bara.
“Seorang pria sejati seharusnya melakukannya terang-terangan. Tapi kau malah mendadak menyerang — kelihatannya kau sangat tidak yakin pada dirimu sendiri,” ujar Holdes, suaranya dingin seperti es.
“Holdes Shen, kau telah membunuh banyak anggotaku. Nyawa mereka tidak bisa kau ganti. Hari ini kita bisa bertemu di sini, dendam kita harus diselesaikan sekarang juga,” kata Hanz tegas.
“Tentu saja. Dan satu lagi, karena kita semua telah berada di sini, maka tidak ada satu pun yang bisa keluar dari sini hidup-hidup,” kecam Holdes.
“Mana anak buahku? Setidaknya aku harus melihat mereka,” ujar Hanz.
Bowie memberi perintah pada anak buahnya yang berjaga di pintu.
Pintu dibuka, terlihat beberapa anak buah Hanz yang terluka parah. Mereka dibawa masuk dengan paksa, wajah mereka meringis kesakitan.
Hanz melihat anggota-anggota yang terluka parah itu, mengepalkan tangan menahan emosi.
“Seharusnya aku membunuh mereka saja, tapi kurasa ini hanya mengotori tanganku. Karena yang aku inginkan adalah nyawamu,” kata Holdes.
“Holdes Shen, kau bukan manusia,” ujar Hanz.
“Kita sama-sama dari dunia bawah tanah. Bukankah seharusnya kita siap mati? Kalau tidak ingin mereka mati, maka jangan mengirim mereka. Karena aku tidak yakin bisa melepaskan mereka. Hari ini di antara kita, hanya ada satu yang hidup,” ucap Holdes dengan ancaman.
Kedua kelompok saling mendorong senjata mereka. Sejumlah anggota Hanz dan Holdes maju, menunggu perintah.
Sementara itu Holdes dan Hanz sama-sama menggenggam senjata mereka di bawah meja, siap menembak kapan pun.
Suasana tegang dan memanas di restoran itu; hanya dua kelompok mafia yang hadir.
Di luar, beberapa sniper terlihat sedang menunggu perintah. Laser penunjuk dari sniper telah siap mengunci kepala Hanz dan beberapa anak buahnya.
“Holdes Shen, dendam kita harus berakhir hari ini juga,” ucap Hanz dengan tatapan tajam.
“Tentu saja!” jawab Holdes dengan senyum sinis.
up lg dobel2.... lagii
semangatt thorr
Klo bnr wahh perang bathin si Holdes 🤭🤭🤭