Aku menikah karena perjodohan. Tanpa dasar cinta, karena suamiku adalah paribanku. Sama seperti diriku, Arbi juga menolak perjodohan ini. Tapi apalah daya, kami tidak bisa menolak perjodohan itu. Mampukah kami menjalani rumah tangga yang menurut pandangan orang kami adalah pasangan yang bahagia?
Terlebih ada Gladys diantara kami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Linda Pransiska Manalu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26. Pov Arbi. Dilema.
Menyebalkan sekali. Ternyata Rania bersembunyi di rumah Bastian sahabat lamaku. Padahal aku sudah meminta bantuannya agar menemukan Rania. Tapi dia malah diam saja.
Aku tidak menyangka kalau kedatanganku ke rumah Bastian sore itu akan mengungkap keberadaan, Rania. Niatku semula yang hendak curhat padanya malah berujung pertengkaran.
Aku syok saat melihat mereka berdua tinggal satu atap, dan entah kenapa aku cemburu sekali hingga tidak bisa mengontrol emosiku.
Memang akar masalahnya adalah akibat ulahku, yang hendak memperk*s* Rania waktu itu karena aku dibawah pengaruh alkohol. Yang membuatku tidak habis pikir, bagaimana bisa malam itu Rania menghilang. Ternyata Rania meminta perlindungan dari Bastian.
Bodohnya aku percaya begitu ucapan Bastian, yang berbohong. Katanya Rania tidak ada menghubunginya. Tapi nyatanya mereka telah tinggal seatap.
Belum lagi soal Gladys dan temannya yang membully Rania, hingga mamaku masuk rumah sakit yang membutku marah besar padanya. Tindakan bodohnya itu telah membuat masalahku semakin ruwet.
"Dys, kamu apa-apaan sih. Buat apa coba.kamu membully Rania mana sampe viral lagi. Mamaku sudah masuk rumah sakit gegara ulahmu dan teman kamu itu." Aku memarahi Gladys waktu itu atas kebodohan yang dia lakukan.
"Itu semua gara-gara kamu juga. Katamu pernikahanmu dengan Rania hanya settingan. Palingan bertahan hanya enam bulan saja. Nyatanya apa, sudah setahun kamu juga belum bercerai. Jangan-jangan kamu sudah keenakan sama dia." Bukannya merasa bersalah, Gladys malah balik memarahiku.
Katanya dia sengaja berbuat begitu biar Rania meminta cerai. Sehingga kami bisa menikah. Aku katanya pengecut, tidak tegas bertindak.
Aku memang pengecut, karena aku tidak ingin terjadi sesuatu pada mama. Beliau 'kan punya riwayat penyakit jantung.
Sebenarnya aku sudah punya rencana yang menurutku akan masuk akal bagi mama bila aku dan Rania bercerai. Setelah dua tahun aku akan menceraikannya dengan alasan tidak punya anak. Aku tau kedua orangtuaku sudah tidak sabar menimang cucu. Nah, momen itulah yang ingin aku mamfaatkan. Tentunya orangtuaku tidak berkutik dan pastinya akan merestui hubunganku dengan Gladys.
Satu tahun sudah berlalu, rencanaku berjalan lancar. Kedua orangtuaku tidak curiga sama sekali akan pernikahanku, karena aku dan Rania begitu sempurna bersandiwara. Namun, berbeda dengan Gladys, seiring waktu dia malah berubah. Dia mulai menuntutku, karena cemburu.
Sudah aku yakinkan dirinya bahwa aku dan Rania tidur terpisah, bahkan makan aku selalu di luar. Betapa sering aku menahan diri, untuk tidak menyentuh masakan Rania, padahal semua yang dia hidangkan selalu menggugah selera makanku.
Sekali waktu aku tidak bisa menahan diri, aku mau sarapan dengannya untuk pertama kalinya. Nasi goreng yang dia masak begitu spesial sampai aku lupa aturan yang kubuat sendiri.
Soal pakaianku juga semua aku siapkan sendiri. Hanya karena aku tidak ingin berhutang budi pada Rania, meski aku tau semua itu akan dia kerjakan dengan tulus, mengingat dia adalah istri ku. Walaupun hanya diatas kertas.
Meskipun tinggal bersama Rania aku masih rutin mengunjungi Gladys layaknya orang yang pacaran. Meski sembunyi-sembunyi. Toh apa yang dia maui selalu aku kabulkan. Tapi lama-lama makin ngelunjak.
Hubungan kami yang tadinya backstreet secara perlahan mulai muncul kepermukaan. Hingga Mery adikku melapor pada kakak iparnya itu. Makin membuatku panik saja, takut ketahuan sama mama.
Tidak cukup sampai disitu, Gladys makin arogan saja. Setiap kali dia bertemu Rania tidak segan-segan membully Rania. Jelas aku marah sama Gladys, dan malah menuduhku sudah jatuh cinta pada Rania.
Padahal sudah berulang kali aku meyakinkan dirinya, tetap saja dia tak percaya. Hingga puncaknya, mama mengetahui dan masuk rumah sakit karena teman Gladys nekad memviralkan pembullyan itu.
Rasanya sia-sia semua apa yang aku perjuangkan selama setahun ini. Aku seolah kehilangan arah dalam mewujudkan impianku.
Tekanan itu semakin berat kurasakan, terutama saat mama mulai membicarakan perihal cucu. Ditambah tuntutan Rania agar aku jujur pada mama. Rania mulai merasa bersalah. Aku tau itu dengan pasti. Dia bahkan memakiku pria pengecut. Sungguh kata-katanya itu sangat melecut perasaanku.
Sejujurnya ada sisi dari Rania yang aku kagumi. Dia wanita yang kuat, mapan dan punya karir. Awal aku mengenalnya dia adalah sosok perempuan kampung pada umumnya. Penampilannya sederhana. Dan aku menuduhnya mau menikah denganku karena uang.
Nyatanya dia menolak uang yang aku janjikan sebagai balas jasanya, karena telah menandatangani perjanjian pra nikah yang aku sodorkan.
Uang belanja yang aku kirimkan setiap bulan lewat ATM, tidak pernah sekalipun dia ambil. Semuanya masih utuh, karena aku yang menyimpan kartu itu. Aku sungguh kaget saat mengetahui kalau dia bekerja sebagai desainer di sebuah perusahaan konveksi yang cukup terkenal di kotaku ini.
Pantasan kebutuhannya mampu ia penuhi.
Saat mama sakit pun aku tidak menyangka Rania mau merawat mama dengan tulus saat di rumah sakit. Dia rela bolak balik rumah sakit hanya untuk menemani mama.
Saat itu hatiku seolah tertampar. Aku mengingat segala prilakuku selama ini. Memang benar aku adalah lelaki pengecut dan egois seperti yang sering dia katakan.
Bingung dengan semua permasalahan itu. Aku menjumpai Bastian. Aku ingin memintai saran dan pendapatnya mengenai masalahku. Tapi sungguh sial, hal yang tidak pernah aku bayangkan sama sekali, ternyata aku bertemu dengan Rania disana.
Bukan soal Rania yang bersembunyi di rumah Bastian, yang membuat aku syok dan terpukul. Tapi pengakuan Bastian tentang perasaannya pada Rania. Sekalipun aku sudah punya rencana menjodohkan Bastian pada Rania setelah kami, bercerai. Toh, apa yang diucapkan Bastian sungguh membuatku kalang kabut.
Mendadak aku tidak rela kalau Bastian memiliki Rania. Aku merasa harga diriku dilecehkan. Karena itu aku mencoba membujuk Rania.
Pagi-pagi aku telah ke kantornya karena ingin bicara empat mata dengannya. Namun, upayaku gagal total. Rania tidak peduli sama sekali. Apakah Bastian telah mempengaruhinya? Ataukah Rania telah jatuh cinta pada Bastian. Sungguh aku ketakutan dan tidak siap seandainya hal itu benar-benar terjadi.
Brakk!
Aku tersentak kaget saat pintu ruang kerjaku dibuka kasar. Di ambang pintu muncul sesosok tubuh dengan senyum mengembang, yang membuatku mendadak muak.
"Bang Arbi," sapanya lalu menghampiriku dan bergelayut manja di bahuku. Aku yang biasanya selalu bersikap hangat padanya kini tersenyum dingin. Aku tetap fokus pada leptop di depanku. Berpura-pura sibuk bekerja.
"Abang kenapa sih, masih marah ya dengan Adys," begitulah dia menyebut dirinya didepanku.
"Hem ...."
"Bang, kita keluar yuk. Kemarin aku melihat ada gaun cantik," Gladys menyebut nama butiknya. Biasanya aku akan selalu menuruti apa maunya tapi saat ini aku begitu kesal dengan tingkahnya.
"Dys, tidak bisakah kamu melihat kalau aku sedang bekerja!" sentakku. Kedua manik matanya membulat dan semudah itu digenangi air mata.
'Huh, dasar cengeng!' rutukku dalam hati. ***
semangat thor secepatnya rania bebas dari arbi ok thor
semangat thor