Sinopsis "Alien Dari Langit"
Zack adalah makhluk luar angkasa yang telah hidup selama ratusan tahun. Ia telah berkali-kali mengganti identitasnya untuk beradaptasi dengan dunia manusia. Kini, ia menjalani kehidupan sebagai seorang dokter muda berbakat berusia 28 tahun di sebuah rumah sakit ternama.
Namun, kehidupannya yang tenang berubah ketika ia bertemu dengan seorang pasien—seorang gadis kelas 3 SMA yang ceria dan penuh rasa ingin tahu. Gadis itu, yang awalnya hanya pasien biasa, mulai tertarik pada Zack. Dengan caranya sendiri, ia berusaha mendekati dokter misterius itu, tanpa mengetahui rahasia besar yang tersembunyi di balik sosok pria tampan tersebut.
Sementara itu, Zack mulai merasakan sesuatu yang belum pernah ia alami sebelumnya—ketertarikan yang berbeda terhadap manusia. Di antara batas identitasnya sebagai makhluk luar angkasa dan kehidupan fana di bumi, Zack dihadapkan pada pilihan sulit: tetap menjalani perannya sebagai manusia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MZI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16: Pertemuan Tanpa Makna
Konferensi medis di Indonesia akhirnya dimulai. Gedung megah tempat acara berlangsung dipenuhi para dokter, peneliti, dan profesional medis dari berbagai negara. Elly berjalan di lorong luas itu, menatap banner besar dengan tulisan "International Medical Summit 2025" yang berdiri di tengah aula utama.
Ia merasa gugup, bukan karena konferensi itu sendiri, melainkan karena satu hal—atau lebih tepatnya, satu orang. Zack.
Setelah mendengar kabar bahwa Zack akan menjadi salah satu pembicara utama, perasaan dalam hatinya menjadi campur aduk. Ia sudah lama mempersiapkan diri untuk acara ini, tetapi bertemu dengan seseorang yang pernah begitu dekat dengannya—seseorang yang kini hanya menganggapnya sebagai mantan rekan kerja—membuatnya sedikit goyah.
Namun, Elly berusaha menenangkan diri. Bagaimanapun juga, ini adalah acara profesional. Ia harus menjaga sikap.
Di dalam aula besar, sesi pembukaan dimulai. Pembicara utama satu per satu dipanggil ke panggung, membahas berbagai inovasi medis terbaru. Ketika nama Dr. Zack disebut, sorotan lampu mengikuti langkahnya menuju podium.
Elly menatap sosok itu dari kursinya di barisan tengah. Zack tampak sama seperti yang ia ingat—tenang, karismatik, dan penuh percaya diri. Setelan jasnya rapi, posturnya tegap, dan ekspresinya serius seperti biasa.
Zack berbicara tentang teknologi terbaru dalam bidang bedah dan penggunaan AI dalam diagnosis penyakit langka. Suaranya stabil, penyampaiannya jelas, dan presentasinya memukau banyak peserta.
Elly seharusnya fokus pada isi presentasi itu, tetapi pikirannya sesekali melayang. Ia mengingat masa-masa ketika Zack masih bekerja di Jepang, bagaimana mereka sering berdiskusi tentang pasien, bagaimana ia diam-diam mengagumi kecerdasannya, dan bagaimana perasaan itu tumbuh tanpa bisa ia kendalikan.
Namun, sekarang semua itu hanya ada dalam dirinya. Zack berdiri di sana, berbicara dengan penuh wibawa, tanpa sedikit pun tanda bahwa ia menyadari ada seseorang di ruangan ini yang pernah menaruh hati padanya.
Setelah sesi presentasi selesai, acara dilanjutkan dengan sesi networking. Para peserta mulai berbaur, berbincang dengan sesama profesional medis. Elly meneguk minuman dari gelasnya sambil berusaha terlihat santai.
Lalu, momen yang tak terhindarkan itu terjadi.
"Elly?"
Elly menoleh dan menemukan Zack berdiri di hadapannya. Tatapannya netral, sopan, tanpa emosi yang berlebihan.
"Zack," jawabnya, tersenyum kecil.
"Kamu datang juga," kata Zack dengan nada yang sama sekali tidak mengandung keterkejutan. Seolah pertemuan mereka hanyalah kebetulan biasa.
"Tentu saja. Konferensi ini cukup penting," balas Elly.
Keduanya saling bertukar pandang beberapa detik.
"Bagaimana kabarmu di Jepang?" tanya Zack akhirnya.
"Baik. Aku semakin sibuk di rumah sakit. Beberapa bulan terakhir aku juga terlibat dalam penelitian tentang imunoterapi," jawab Elly.
"Bagus," kata Zack singkat.
Tak ada basa-basi yang berlebihan. Tak ada nada hangat dalam suaranya. Zack berbicara dengan Elly seperti ia berbicara dengan rekan medis lainnya.
Elly berusaha tersenyum, meskipun ada sedikit perih yang mengendap dalam hatinya.
"Presentasimu tadi sangat bagus," katanya, mencoba menjaga percakapan tetap profesional.
"Terima kasih," jawab Zack singkat.
Keheningan sesaat mengisi celah di antara mereka. Elly ingin bertanya lebih banyak, ingin tahu bagaimana kehidupan Zack sekarang, tetapi ia tahu batasannya.
"Aku harus kembali ke kelompokku," kata Zack akhirnya, memberi anggukan sopan.
Elly mengangguk pelan. "Tentu. Senang bertemu denganmu lagi, Zack."
"Sama," jawab Zack sebelum melangkah pergi.
Elly menatap punggungnya yang menjauh, lalu menghela napas panjang.
Tak ada ketegangan, tak ada kebencian, tetapi juga tak ada kehangatan. Hanya interaksi biasa antara dua orang yang pernah bekerja bersama.
Hanya itu.
Dan bagi Elly, itu lebih menyakitkan daripada perpisahan itu sendiri.
---
Setelah pertemuan singkat itu, Elly mencoba mengabaikan perasaan yang berkecamuk di hatinya. Ia mengikuti sesi-sesi konferensi dengan serius, mencatat poin-poin penting, dan sesekali berbincang dengan dokter lain. Namun, pikirannya tetap kembali ke satu hal—Zack.
Ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini bukan masalah besar. Bahwa tidak ada yang berubah. Bahwa Zack memang tidak pernah memiliki perasaan khusus padanya sejak awal.
Tetapi mengapa rasanya tetap sesakit ini?
Saat acara makan malam resmi diadakan, Elly memilih duduk di meja yang agak jauh dari pusat perhatian. Ia tak ingin mengambil risiko harus berbicara lagi dengan Zack. Namun, dunia seakan tak memberinya pilihan.
Zack duduk di meja yang tidak jauh darinya, bersama beberapa dokter senior lainnya. Ia tampak serius membicarakan sesuatu dengan mereka. Suaranya tak terdengar jelas, tetapi gestur dan ekspresinya tetap tenang dan profesional seperti biasa.
“Elly, kau kenal Dr. Zack, bukan?” tiba-tiba salah satu rekannya, Dr. Amelia, bertanya.
Elly tersenyum kecil. “Ya, kami pernah bekerja bersama di Jepang.”
"Benarkah? Dia sangat berbakat. Kudengar dia menolak banyak tawaran dari rumah sakit besar di berbagai negara," kata Dr. Amelia dengan nada kagum.
Elly hanya mengangguk. Ia sudah tahu hal itu. Zack memang selalu begitu—ambisius, berbakat, dan tak terikat pada satu tempat terlalu lama.
"Dia juga cukup tampan," tambah Dr. Amelia dengan nada bercanda, membuat beberapa orang di meja tertawa.
Elly tersenyum samar, tetapi tak ikut menanggapi.
Di tengah percakapan itu, Zack tiba-tiba berdiri dari mejanya dan berjalan ke arah luar aula. Entah kenapa, dorongan dalam diri Elly membuatnya ikut berdiri dan berjalan keluar, seolah mengikuti langkahnya tanpa sadar.
Begitu keluar ke balkon, ia melihat Zack bersandar pada pagar, menatap langit malam yang bertabur bintang.
Elly ragu sejenak, lalu akhirnya memberanikan diri melangkah mendekat.
“Kau masih suka melihat bintang, ya?” katanya, mencoba memulai percakapan.
Zack menoleh sekilas, lalu kembali menatap langit. “Hanya kebiasaan lama.”
Elly ikut menyandarkan tangannya pada pagar, menatap langit yang sama. “Aku ingat dulu di Jepang, kita sering begadang di rumah sakit. Kau sering keluar untuk melihat langit malam seperti ini.”
Zack tidak menjawab. Keheningan menggantung di antara mereka.
Elly menghela napas pelan, lalu menoleh padanya. “Zack… aku ingin bertanya sesuatu.”
Zack tetap diam, tetapi dari ekspresinya, Elly tahu ia mendengarkan.
“Kau benar-benar melupakanku waktu kecil, ya?” tanyanya pelan, tetapi cukup jelas untuk didengar.
Zack akhirnya menoleh dan menatapnya langsung. Tatapan itu begitu datar, tetapi dalam.
“Aku tidak ingat,” jawabnya jujur.
Jawaban itu menusuk lebih dalam dari yang Elly bayangkan.
“Tapi sekarang kau ingat aku?” tanyanya lagi, suaranya sedikit bergetar.
Zack mengangguk. “Aku ingat kau sebagai Elly Putri, dokter yang pernah bekerja bersamaku.”
Bukan sebagai Elly yang pernah ia kenal waktu kecil.
Bukan sebagai gadis yang menyimpan kenangan bersamanya.
Hanya Elly, rekan medisnya.
Elly menggigit bibirnya, berusaha menahan rasa sakit di dadanya.
“Aku mengerti,” katanya akhirnya, tersenyum kecil meskipun hatinya terasa berat.
Zack tidak mengatakan apa pun lagi.
Setelah beberapa saat, Elly akhirnya berkata, “Kurasa aku harus kembali ke dalam. Sampai jumpa di sesi besok.”
Zack hanya mengangguk.
Elly berbalik, melangkah masuk ke aula, tetapi dalam hatinya, ia tahu satu hal.
Kenangan itu hanya miliknya seorang.
Dan Zack… tak akan pernah melihatnya dengan cara yang sama.
---
Elly berjalan kembali ke dalam aula dengan langkah mantap, tetapi di dalam hatinya, ada sesuatu yang terasa kosong. Ia sudah tahu bahwa Zack tak lagi mengingatnya seperti dulu, tetapi mendengarnya langsung dari mulutnya tetap saja menyakitkan.
Ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan bergabung kembali bersama rekan-rekannya. Mereka masih asyik berbincang tentang topik-topik medis, inovasi terbaru, dan berbagai pengalaman di dunia kedokteran.
Namun, bahkan ketika ia tersenyum dan tertawa, pikirannya tetap melayang ke percakapan di balkon tadi.
Sementara itu, Zack masih berada di luar, menatap langit tanpa ekspresi. Ia sebenarnya tidak mengerti mengapa Elly menanyakan hal itu. Baginya, kenangan masa kecil hanyalah bagian dari masa lalu yang tak lagi penting.
Namun, ada sesuatu dalam tatapan Elly yang membuatnya merasa sedikit… tidak nyaman.
Bukan karena ia merasa bersalah—karena ia memang tidak mengingatnya—tetapi lebih karena perasaan bahwa ada sesuatu yang ia lewatkan.
Tapi bagi Zack, masa lalu bukanlah sesuatu yang harus dihidupkan kembali.
Ia menghela napas, lalu kembali ke dalam aula. Ia berjalan melewati meja tempat Elly duduk tanpa memperhatikannya dan kembali bergabung dengan dokter senior lainnya.
Elly yang melihatnya hanya tersenyum kecil.
---
Konferensi berlanjut selama beberapa hari, dengan jadwal yang padat dan diskusi intens. Elly dan Zack jarang berbicara secara langsung lagi, kecuali dalam sesi diskusi medis yang melibatkan semua peserta.
Zack tetap bersikap profesional, tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa percakapan mereka di balkon memiliki arti apa pun baginya.
Sementara itu, Elly berusaha keras untuk menata perasaannya.
Di akhir konferensi, sebelum semua peserta kembali ke kota atau negara masing-masing, diadakan acara perpisahan di sebuah restoran mewah.
Elly mengenakan gaun sederhana berwarna biru, sementara Zack tetap mengenakan setelan hitam khasnya. Mereka hanya saling menyapa singkat saat bertemu di dalam ruangan, tanpa percakapan tambahan.
Saat acara hampir selesai, salah satu dokter senior menghampiri Zack.
“Dr. Zack, kudengar kau mendapat tawaran dari beberapa rumah sakit di sini. Kau berencana menetap di Indonesia?”
Zack mengangkat alis. “Aku masih mempertimbangkannya.”
Elly yang kebetulan berdiri tak jauh dari mereka sedikit terkejut mendengarnya.
Apakah Zack akan tetap di sini?
Namun, sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, Zack menambahkan dengan nada datar, “Tapi kemungkinan besar aku akan kembali ke Jepang. Aku lebih nyaman bekerja di sana.”
Hati Elly terasa sedikit berat mendengar jawaban itu.
Ia tahu ini seharusnya bukan masalah baginya, tetapi tetap saja…
Ia tersenyum samar, lalu berjalan keluar restoran untuk menghirup udara segar.
Ia menatap langit malam, seperti yang sering ia lakukan saat kecil.
Dulu, ia selalu percaya bahwa jika ia menatap bintang yang sama dengan seseorang, mereka akan tetap terhubung.
Tapi kenyataannya tidak semudah itu.
Zack bukan lagi orang yang dulu ia kenal.
Dan ia harus menerima kenyataan itu.
Bersambung...