Alya tidak pernah menyangka hidupnya yang biasa akan berubah selamanya saat ia bertemu dengan Rheyan, sosok pria misterius dengan tatapan kelam dan aura yang terlalu menggoda. Ia datang di saat-saat antara hidup dan mati, membawa takdir yang tak bisa dihindari. Tapi yang tak ia duga, sang malaikat maut justru terpikat oleh kelembutan dan keberaniannya.
Di sisi lain, ada Davin, dokter penuh kasih yang selalu ada untuk Alya. Ia menawarkan dunia yang nyata, cinta yang hangat, dan perlindungan dari kegelapan yang perlahan menyelimuti kehidupan Alya.
Namun, cinta di antara mereka bukanlah hal yang sederhana. Rheyan terikat oleh aturan surgawi—malaikat maut tak boleh mencintai manusia. Sementara Alya harus memilih: menyerahkan hatinya pada keabadian yang penuh bahaya atau tetap berpijak pada dunia fana dengan seseorang yang bisa menjanjikan masa depan.
Ketika batas antara surga dan bumi kabur, bisakah cinta mengubah takdir? Atau justru cinta itu sendiri yang akan menghancurkan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irnu R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hukuman Malaikat Maut
Rheyan berdiri di tepi sebuah gedung tinggi, mengamati langit malam yang tak berujung. Angin berhembus kencang, membawa aroma hujan yang tertahan di awan. Ada sesuatu yang menggelisahkannya sejak pertemuan terakhir dengan malaikat pengawas. Ia tahu peringatan itu bukan sekadar ancaman kosong. Dan benar saja—ia bisa merasakan kehadiran mereka sekarang.
Langkah-langkah berat terdengar mendekat, membuat tubuhnya menegang. Dalam hitungan detik, tiga sosok berjubah putih muncul di hadapannya, mata mereka memancarkan cahaya keemasan yang dingin dan tak berperasaan.
"Kau sudah terlalu jauh, Rheyan," suara salah satu dari mereka bergema, terdengar seperti bisikan ribuan suara dalam satu nada.
Rheyan tidak menjawab. Ia sudah tahu ke mana ini akan berujung.
Tanpa peringatan, satu dari mereka mengangkat tangannya. Cahaya tajam berkelebat, menembus tubuh Rheyan tanpa ampun. Rasa sakit menghantamnya seperti gelombang panas yang membakar dari dalam. Napasnya terhenti, kakinya hampir kehilangan pijakan.
"Kau tidak seharusnya ada di dunia ini lagi," lanjut suara itu. "Keseimbangan harus dipulihkan."
Rheyan menggertakkan giginya, mencoba menahan rasa sakit yang menyerang setiap bagian tubuhnya. Kekuatan yang selama ini ia miliki perlahan terkikis, menghilang seperti pasir yang ditiup angin. Jika ia tetap di sini lebih lama, mereka benar-benar akan menghapusnya.
Rheyan bisa merasakan betapa cepatnya kekuatannya menghilang. Tubuhnya mulai kehilangan kepadatan, seolah eksistensinya sendiri sedang terhapus dari dunia. Ia berusaha tetap berdiri, tapi lututnya melemah. Rasa dingin menjalari tulangnya, bukan seperti dingin angin malam, melainkan seperti kehampaan yang perlahan merayap, ingin menyerapnya ke dalam ketiadaan.
"Kau tidak bisa melawan hukum surga, Rheyan," salah satu malaikat pengawas berkata, suaranya terdengar datar, tanpa emosi.
"Tapi aku juga tidak bisa membiarkan dia mati," jawab Rheyan dengan suara yang hampir bergetar.
Mata para malaikat itu menyala lebih terang. "Kau tidak menyadari apa yang telah kau lakukan. Dunia ini bukan untukmu lagi."
Dengan sisa tenaga, ia melompat dari gedung, membiarkan gravitasi menariknya ke bawah. Sebelum tubuhnya menghantam tanah, ia menghilang ke dalam bayangan malam. Ia berhasil lolos—untuk sekarang. Tapi tubuhnya semakin lemah, dan ia tahu ini hanya masalah waktu sebelum mereka menemukannya lagi.
Di tempat lain, Alya tersentak dari tidurnya. Rasa sakit tiba-tiba menyerang dadanya, begitu kuat hingga membuatnya terjatuh dari tempat tidur. Nafasnya tersengal, tubuhnya terasa seperti dihantam sesuatu yang tak terlihat.
Tangannya mencengkeram dadanya, berusaha mencari pegangan. Rasanya seperti ada sesuatu yang sedang ditarik keluar dari dirinya—sesuatu yang tidak seharusnya terlepas. Kepalanya berdenyut hebat, dan pandangannya mulai kabur.
Di antara rasa sakit yang menyiksa, kilasan-kilasan aneh melintas di benaknya. Bayangan seseorang dengan sayap hitam, suara yang berbisik dalam bahasa yang tidak bisa ia pahami. Lalu, wajah Rheyan—pucat, penuh luka, dan matanya yang biasanya tajam kini tampak redup.
"Ada apa ini…" bisiknya sekali lagi, tapi kali ini ia merasakan ketakutan yang jauh lebih besar daripada sekadar rasa sakit di dadanya.
Dunia di sekelilingnya seperti bergerak lebih lambat. Detik-detik terasa panjang, dan tubuhnya semakin terasa ringan—seperti sedang ditarik menjauh dari dunia ini.
Ia mencoba berdiri, tapi lututnya terasa lemas. Segala sesuatu di sekelilingnya berputar, seperti dunia sedang menolaknya.
Alya tidak tahu apa yang sedang terjadi, tapi ada satu hal yang terlintas dalam pikirannya. Rheyan.
Pikiran itu datang begitu saja, seperti insting yang mengarahkannya pada satu jawaban yang masuk akal. Ada sesuatu yang terjadi padanya.
Sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, tubuhnya kehilangan keseimbangan. Semua berubah menjadi gelap.
Alya merasa tubuhnya melayang di antara kesadaran dan kegelapan. Suara-suara samar terdengar di kejauhan—bunyi detak jam, langkah kaki yang bergerak tergesa-gesa, lalu seseorang memanggil namanya. Namun, ia tidak bisa merespons. Ada tarikan kuat yang menyeretnya semakin dalam, menjauh dari kenyataan. Dalam momen terakhir sebelum semuanya benar-benar hilang, hanya satu nama yang tersisa dalam pikirannya.
Ketika Alya sadar, suara mesin detak jantung memenuhi telinganya. Bau antiseptik khas rumah sakit menyusup ke hidungnya. Matanya perlahan terbuka, dan ia langsung mengenali ruangan ini.
Rumah sakit.
Ia mencoba bangun, tapi tangan seseorang menahannya.
"Jangan bergerak dulu," suara itu terdengar tenang, tapi tegas.
Davin.
Alya menoleh dan mendapati pria itu menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Campuran antara khawatir, bingung, dan sesuatu yang lebih dalam.
"Apa yang terjadi?" tanyanya, suaranya serak.
"Kau pingsan," jawab Davin. "Di rumah. Aku menemukanmu di lantai."
Alya mengerjap, mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum semuanya menjadi gelap.
"Aku baik-baik saja," ucapnya, berusaha terdengar meyakinkan.
Tapi Davin tidak terlihat puas. Ia menatap Alya lekat-lekat, seolah sedang mencoba membaca pikirannya.
"Katakan padaku yang sebenarnya, Alya," suaranya lebih pelan sekarang, tapi tetap tajam. "Apa yang kau sembunyikan?"
Jantung Alya berdegup lebih cepat.
"Aku tidak menyembunyikan apa pun," ia mencoba menghindari tatapannya, tapi Davin tidak mudah dibohongi.
"Alya," panggilnya, nada suaranya berubah menjadi lebih serius. "Aku sudah melihat catatan medis tentang kecelakaanmu."
Alya membeku.
"Kau seharusnya tidak bisa selamat," lanjutnya. "Luka-lukamu… tidak masuk akal kalau bisa sembuh tanpa bekas luka."
Davin mencondongkan tubuhnya ke depan, menatapnya dalam.
"Dulu aku berpikir kau hanya beruntung," lanjut Davin. "Tapi sekarang aku tidak yakin lagi."
Alya menelan ludahnya. Kata-kata itu membawa tekanan yang lebih berat daripada yang seharusnya.
"Kau takut?" tanyanya pelan, hampir tidak terdengar.
Davin terdiam sejenak sebelum menghela napas. "Aku tidak takut. Aku hanya ingin tahu kebenarannya, Alya. Jika ada sesuatu yang terjadi padamu, aku ingin menjadi orang yang bisa melindungimu."
Kata-kata itu seharusnya membuatnya merasa lebih tenang, tapi justru semakin menambah beban dalam dadanya. Karena kenyataannya, Davin tidak bisa melindunginya dari ini. Tidak ada manusia yang bisa.
"Apa yang sebenarnya terjadi padamu?"
Alya merasa tenggorokannya kering. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi kata-kata seakan tersangkut.
Bagaimana mungkin ia bisa menjelaskan semuanya?
Bahwa ia seharusnya sudah mati. Bahwa seseorang telah mengubah takdirnya. Bahwa dunia ini mulai menolaknya.
Dan yang paling penting—bahwa orang yang menyelamatkannya kini berada dalam bahaya.
Ia menelan ludah, berusaha mencari cara untuk menjawab tanpa benar-benar mengungkapkan segalanya.
"Aku tidak tahu," akhirnya ia berkata pelan.
Davin menghela napas panjang, jelas tidak puas dengan jawaban itu. Tapi ia juga tahu memaksa Alya hanya akan membuatnya semakin menutup diri.
"Baiklah," katanya akhirnya. "Tapi jika kau merasa ada yang tidak beres dengan tubuhmu, katakan padaku. Jangan menyembunyikannya."
Alya mengangguk pelan, meskipun dalam hatinya ia tahu bahwa ada terlalu banyak hal yang tidak bisa ia katakan.
Malam semakin larut ketika Rheyan akhirnya menemukan tempat persembunyiannya.
Ia bersandar di dinding sebuah bangunan tua yang sudah lama ditinggalkan. Nafasnya berat, tubuhnya terasa semakin melemah.
Ia mencoba menghubungi Alya, tapi sesuatu menghalanginya. Seolah ada penghalang tak terlihat yang memisahkan mereka.
Rasa frustrasi menghantamnya. Ia tidak bisa membiarkan ini terjadi.
Alya mungkin dalam bahaya, dan ia bahkan tidak bisa muncul di hadapannya.
Tangannya mengepal, amarah dan keputusasaan bercampur menjadi satu. Ia harus menemukan cara untuk kembali padanya.
Sebuah suara menggema di telinganya, suara yang familiar tapi kini terdengar lebih tegas, lebih dingin.
"Kau telah melanggar batas, Rheyan. Sekarang, pilihanmu hanya dua: menghilang atau menerima hukuman yang lebih besar."
Rheyan mengangkat wajahnya, matanya menyala dengan tekad. "Aku tidak akan menghilang. Tidak sebelum aku memastikan dia selamat."
Tawa kecil terdengar dari kegelapan. "Kau selalu keras kepala."
Lalu, dalam sekejap, bayangan yang lebih besar muncul di hadapannya.
Angin di sekelilingnya tiba-tiba berhenti, menciptakan keheningan yang menyesakkan. Bayangan di hadapannya membesar, seolah menyerap cahaya bulan yang redup. Suhu turun drastis, membuat napasnya berembun meski seharusnya tidak mungkin terjadi di malam yang sudah dingin. Lalu, ia merasakan sesuatu—bukan sentuhan, tapi tekanan tak kasatmata yang menyelimuti tubuhnya perlahan, seolah sedang menguji seberapa lama ia bisa bertahan.
Sebuah energi menekan tubuhnya, menahannya di tempat.
"Apa kau siap menghadapi akibat dari pilihanmu?"
Rheyan tidak menjawab. Ia sudah tahu sejak awal bahwa tidak ada jalan kembali.
Sebelum semuanya terlambat.