Ahmad Al Fatih Pranadipa adalah siswa SMA yang dikenal sebagai pembuat onar. Kenakalannya tak hanya meresahkan sekolah, tetapi juga keluarganya. Hingga akhirnya, kesabaran orang tuanya habis—Fatih dikirim ke pesantren untuk dididik langsung oleh seorang kyai dengan harapan ia berubah.
Namun, Fatih tetap menjadi dirinya yang dulu—bandel, pemberontak, dan tak peduli aturan. Di balik tembok pesantren, ia kembali membuat keonaran, menolak setiap aturan yang mengikatnya. Tapi hidup selalu punya cara untuk mengubah seseorang. Perlahan, tanpa ia sadari, langkahnya mulai berbeda. Ada ketenangan yang menyusup dalam hatinya, ada cahaya yang mulai membimbing jalannya.
Dan di saat ia mulai menemukan jati dirinya yang baru, hadir seorang wanita yang membuatnya merasakan sesuatu yang tak pernah ia duga—getaran yang mengubah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gerimis Malam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Angin menggoyangkan pepohonan membuat kesejukan menyentuh kulit Fatih yang berjalan bersama Kyia Husain untuk menunjukkan arah kamar Fatih berada. Melawati setiap koridor ruang kelas, sayup-sayup terdengar beberapa kelas mengaji, ada yang membaca kitab kuning, ada pula yang melafalkan hadist-hadist. Terdengar juga suara ustadz dengan suara lantang memberi materi untuk beberapa santri.
"Sebentar lagi kita akan sampai, penginapan santri terletak di sana." tunjuk kyai Husain pada bangunan besar bertingkat. Penginapan khusus santri laki laki.
Suara tarikan koper Fatih semakin terdengar jelas karena ruangan yang sunyi di tinggal oleh penghuninya. Susah payah Fatih mengangkat kopernya ketika mulai menapaki tangga, ternyata kamar Fatih terletak di lantai dua ruangan pertama.
Fatih yang terus mengikuti kyai Husain berhenti di salah satu kamar. Fatih meletakkan koper besarnya di lantai dan mulai tercengang. Kamar besar dengan jumlah ranjang enam buah saling berdampingan dan berhadapan. Jauh dari kemewahan seperti kamar Fatih. Tapi remaja itu masih lega, setidaknya kamar yang akan dia tempati bersih dan mempunyai pendingin ruangan.
"Ini akan menjadi kamarmu. Teman-teman kamu sedang belajar, tapi mereka sudah tahu jika kamu akan datang." kata Kyai Husain menyentuh tangan Fatih seraya berbicara.
"Baik Kyai."
"Ini tempat tidur kamu, itu lemari dan meja belajar kamu." ucap kembali Kyai Husain derajat menunjuk benda yang di maksud.
"Baik kita ke kelas kamu sekarang."
"Saya sudah masuk hari ini kyai?" Fatih belum siap dengan situasi baru, teman-teman baru dan sekolah baru. Dia juga belum siap untuk duduk di bangku dan dalam kelas yang terasa sesak menurutnya.
"Iya, biar kamu bisa bergaul secepatnya dengan teman-temanmu. Oh iya... Nak Fatih bisa ngaji kan?"
"Tentu saja tidak kyai. Huruf Al Qur'an saja saya tidak tahu." balas Fatih dengan wajah khasnya yang arogan.
"Nanti malam anting dan kalung mu jangan di gunakan. Aksesoris selain jam tangan, tidak boleh di pakai oleh santri. Kamu kan juga bukan perempuan yang harus memakai anting." sindir Kyai Husain dan hanya di balas manggut-manggut oleh Fatih.
Mereka pun meneruskan langkah mereka menuju kelas dan diisi oleh beberap obrolan. Fatih akan di bimbing oleh Kyai Husain sendiri dalam mempelajari Al Qur'an.
"Assalamu'alaikum...." salam kyai Husain ketika memasuki kelas dan di jawab serentak oleh santri dan seorang ustadz. "Wa'alaikumussalam..." jawab mereka.
Kyai Husain tersenyum dengan senyuman yang teduh selayaknya orang yang telah mendalami agama kemudian adabnya terpancar oleh tingkah lakunya.
"Afwan Ustadz, kedatangan saya di sini untuk memperkenalkan santri kmbaru kita." kata Kyai Hasan memperkenalkan Fatih. Bukan hanya Ustadz Nizam yang memperhatikan Fatih dari atas sampai bawah, tapi seluruh santri yang berada di kelas itu melihat Fatih dengan pandangan yang berbeda. Penampilan Fatih memang agak berbeda dari mereka, penampilan Fatih yang bergaya tak wajar menurut mereka. Rambut sedikit pirang tapi masih banyak yang terlihat berwarna hitam, kalung yang seperti rantai kapal, dan yang lebih mencengangkan mereka ada anting yang bersusun dua di setiap telinga Fatih. Tapi Fatih sama sekali tidak merasa risih saat di pandang seperti itu. Remaja itu terlalu cuek.
"apa dia benar-benar ingin belajar disini?"
"Pasti dia siswa yang di keluarkan, dan memilih pesantren sebagai pelarian."
"Apa dia anggap pesantren itu mudah. CK.. pelajaran di sekolah umum lebih muda."
"Mungkin dia tomat, Tobat Kumat."
"Lihat penampilannya. Sungguh tidak etis."
"Benar, bikin risih melihatnya."
"Tapi sepertinya dia terlihat keren."
Terdengar bisikan-bisikan dari santri yang melihat Fatih. Sayup-sayup Fatih mendengar jelas bisikan mereka membuatnya memutar matanya.
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, maaf mengambil waktu berharga kalian. Saya hanya ingin memperkenalkan teman baru kalian yang akan ikut berlajar bersama kalian. Namanya Ahmad Al Fatih Pranadipa, siswa pindahan dari sekolah umum. Kalian lebih senior, jadi kyai harap kalian bisa membimbing Fatih dengan baik, memperkenalkan tentang pesantren kita, merangkul Fatih duluan agar dia lebih mudah bersosialisasi." ucap Kyai Husain pada seluruh santri yang menatapnya serius.
"Maaf Kyai, jika saya menyelah. Tapi mohon untuk teman baru kita ini agar berpakaian lebih sopan untuk bergabung bersama kami. Sejujurnya kami agak risih dengan penampilan dia sekarang." kata salah satu santri bernama Imran.
"Saat ini Fatih hanya memperkenalkan diri saja. Besok dia baru masuk kelas dengan pakaian lebih sopan dan tidak menggunakan lagi aksesorisnya yang sekarang. Iya kan Fatih?"
Mau tidak mau Fatih harus setuju. Belum genap setengah jam dia beradadi kelas itu. Fatih mulai muak melihat tingkah sok suci dari santri-santri yang memprotesnya. Padahal sebenarnya ucapan santri itu memang ada benarnya.
Sepeninggal Kyai Husain, dan Fatih sudah kembali di kamarnya dan berbenah. Fatih mendesah. Dari balik jendela kecil yang letaknya agak ke atas , cahaya matahari menerobos masuk menghangatkan ruangan. Fatih mulai mengerutkan keningnya dan berpikir tentang sesuatu.
Yah... Remaja itu yang beberap tahun lagi akan menginjak usia 18 tahun berpikir untuk kabur. "Aku harus kabur dari sini bagaimana pun caranya." pikir Fatih tiba-tiba. Menyelinap dan pergi dari pesantren Al Faruq, setelah melihat dan paham dengan jalur mana yang akan dia tempuh untuk melarikan diri.
"Aku akan tinggal disini sepekan. Aku akan melihat waktu-waktu lengang yang tak membuat kecurigaan dari siapapun." lontar Fatih tiba-tiba seraya memasukkan pakaiannya di dalam lemari khusus untuknya.
*****
Hari-hari berikutnya, hampir menjadi rutin. Para santri semakin tak mempedulikan Fatih yang seakan memutus komunikasi. Para santri jengkel dengan kelakuan Fatih yang sangat sombong dan tak tahu etika. Pernah pada suatu malam Fatih menyelinap untuk merokok. Dari rumah dia memang menyelipkan satu dos rokok khususnya tanpa di ketahui oleh orang tuanya termasuk Kyai Husain sebagai penanggung jawab pondok. Pada suatu malam yang lain, karena penjagaan yang ketat Fatih tidak bisa menyelinap di kamar dan akhirnya dia merokok di dalam kamar dan di hadapan teman sekamarnya. Hari demi hari Fatih melakukan itu dan membuat teman sekamarnya menjadi jengah. Mereka kemudian melapor pada Kyai Husain dan Al hasil Fatih di beri hukuman untuk membersihkan toilet hingga tengah malam.
Fatih sama sekali tidak tawar menawar dalam menjalankan hukumannya. Walaupun dia pria nakal, tapi dia adalah pria bertanggung jawab dan menyelesaikan hukumannya hingga selesai.
Tapi sudah hampir sebulan Fatih belum menunjukkan perubahan sama sekali, dia juga selalu bolos dalam sholat berjamaah dan lebih memilih kembali ke kamar dan meneruskan tidurnya yang tertunda. Sampai-sampai Ustadz Nizam yang di beri tanggung jawab dari Kyai Husain, orang yang di tugasi untuk membimbing Fatih, dia pun sudah mulai tak peduli, apakah Fatih akan berubah atau tidak. Semua ajaran yang dia berikan seakan hanya di dengar telinga kanan dan keluar di telinga kiri. Tidak ada sedikitpun Fatih ingin mengerjakannya dengan ikhlas tanpa suruhan.
Seluruh santri yang ingin merangkul Fatih untuk berubah kini masa bodoh. Mereka jengkel saat Fatih di sapa, karena remaja itu hanya diam seribu bahasa tak ingin menanggapi membuat santri merasa di cuekin. Fatih sangat sulit di ajak bergaul. Jangankan membalas tersenyum ramah, membalas senyuman temannya saja tidak. Paling-paling hanya mengangguk ataupun menggeleng selayaknya orang bisu.