Marsha Calloway terjebak dalam pernikahan yang seharusnya bukan miliknya—menggantikan kakaknya yang kabur demi menyelamatkan keluarga. Sean Harris, suaminya, pria kaya penuh misteri, memilihnya tanpa alasan yang jelas.
Namun, saat benih cinta mulai tumbuh, rahasia kelam terungkap. Dendam masa lalu, persaingan bisnis yang brutal, dan ancaman yang mengintai di setiap sudut menjadikan pernikahan mereka lebih berbahaya dari dugaan.
Siapa sebenarnya Sean? Dan apakah cinta cukup untuk bertahan ketika nyawa menjadi taruhan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayyun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pulang Bersama Sean
"Ayo pulang," ajak Sean, suaranya tegas namun terdengar lebih lembut dari biasanya.
Marsha menatap pria itu dengan ragu. Ia ingin pulang, tetapi bayangan sikap dingin dan kata-kata tajam ibu Sean masih terngiang di kepalanya.
Sean menangkap kegelisahan di wajahnya. Ia tahu persis apa yang mengganggu pikiran Marsha. Dengan nada yang lebih tegas, tetapi tetap lembut, ia berkata, "Nggak akan ada yang bisa masuk ke rumah kita tanpa izin. Termasuk Mama."
Marsha menatapnya lebih dalam, mencari kebenaran dalam kata-kata itu. Ia tahu Sean bukan orang yang mudah memberikan janji kosong. Namun, tetap saja, ketakutan di hatinya belum sepenuhnya hilang.
Ia tidak membenci ibu Sean. Tapi ia juga tidak bisa menerima cara wanita itu memperlakukannya.
"Aku mau kamu pulang bersamaku, Marsha," kata Sean sekali lagi.
Marsha menghela napas panjang. Ia tahu, jika ia terus menolak, Sean akan terus membujuknya. Mungkin, sudah waktunya ia menghadapi semua ini, bukan lari.
Dengan sedikit ragu, akhirnya ia mengangguk. "Baiklah."
Sean tidak mengatakan apa-apa lagi. Hanya ada sorot lega di matanya sebelum ia menggenggam tangan Marsha, membawanya keluar dari rumah itu.
Sepanjang perjalanan pulang, keheningan menyelimuti mereka. Marsha duduk di samping Sean, menatap kosong ke luar jendela, pikirannya mengembara tanpa arah.
Sean sesekali melirik ke arahnya, tetapi membiarkan keheningan itu mengisi ruang di antara mereka.
Ketika mobil memasuki halaman rumah, Marsha merasakan sedikit kegugupan. Apakah benar ibu Sean tidak akan datang lagi? Bagaimana dengan Lydia?
Begitu mobil berhenti, Sean turun lebih dulu, lalu berjalan ke sisi Marsha dan membukakan pintu untuknya.
Marsha melangkah turun, matanya menelusuri rumah yang tampak lebih sunyi dari biasanya. Saat ia masuk, hanya ada beberapa pelayan yang menyambut mereka dengan hormat—tanpa kehadiran siapa pun yang mengganggu.
Sean menggenggam tangannya sejenak sebelum berkata, "Kamu Istirahat dulu. Aku akan menyusul nanti."
Marsha hanya mengangguk dan berjalan menuju kamar mereka.
Saat masuk, ia merasakan suasana yang sedikit berbeda. Kamarnya terasa lebih hangat, lebih nyaman. Ada buket bunga di meja riasnya, sesuatu yang sebelumnya tidak ada.
Marsha mendekat dan menemukan secarik kertas kecil di sampingnya.
Maaf karena udah buat kamu merasa tidak nyaman. Aku harap ini bisa sedikit menghangatkan harimu.
Tanpa nama, tetapi Marsha tahu siapa yang menuliskannya.
Sean.
Marsha tersenyum tipis, lalu duduk di tepi ranjang. Tangannya mengelus kelopak bunga yang segar dan wangi.
Baru saja ia ingin berbaring, pintu kamar terbuka dan Sean masuk. Ia melepas jasnya dan berjalan mendekat.
"Udah makan?" tanyanya.
Marsha menggeleng pelan.
Sean memperhatikannya sejenak sebelum berkata, "Aku akan minta mereka siapkan makan malam untuk kamu."
Marsha ingin menolak, tetapi ia tahu percuma. Tak lama kemudian, makan malam disiapkan di ruang makan. Hanya mereka berdua, tanpa gangguan siapa pun.
Mereka makan dalam diam. Namun kali ini, keheningan tidak terasa canggung seperti sebelumnya. Sean sesekali melirik Marsha, seolah ingin mengatakan sesuatu tetapi ragu.
Setelah beberapa saat, akhirnya ia berkata, "Aku tahu mama menyakiti kamu."
Marsha mengangkat wajahnya, menatap Sean dengan sedikit terkejut.
"Aku nggak mau kamu merasa terpaksa berada di sini," lanjutnya. "Tapi aku juga mau kamu tahu kalau rumah ini milik kita, bukan milik siapa pun yang bisa datang dan memperlakukan kamu semaunya."
Marsha menatapnya lebih lama, mencoba memahami ketulusan di balik kata-katanya.
"Aku nggak benci mama kamu," katanya akhirnya. "Aku cuma nggak suka diperlakukan seperti itu."
Sean terdiam sejenak sebelum mengangguk. "Aku ngerti."
Malam itu, setelah makan malam, mereka duduk bersama di balkon kamar. Angin malam yang sejuk membuat suasana terasa lebih tenang.
Sean tiba-tiba berkata, "Aku mau kamu merasa nyaman di sini, Marsha."
Marsha menghela napas pelan. "Aku juga mau merasa nyaman."
Sean menoleh padanya, lalu tanpa diduga, ia mengulurkan tangannya.
"Kita mulai dari awal?"
Marsha menatap tangan yang terulur itu. Untuk pertama kalinya, Sean memberinya pilihan, bukan paksaan. Setelah beberapa saat, ia mengulurkan tangannya, menyambut genggaman pria itu. Mungkin, ini adalah awal yang baru bagi mereka berdua.
...***...