Bella, seorang gadis ceria berusia 21 tahun, diam-diam menyukai Alex, pria berusia 33 tahun yang sukses menjalankan perusahaan keluarganya. Perbedaan usia dan status sosial membuat Bella menyadari bahwa perasaannya mungkin hanya akan bertepuk sebelah tangan. Namun, ia tak bisa mengingkari debaran jantungnya setiap kali melihat Alex.
Di sisi lain, Grace, seorang wanita anggun dan cerdas, telah mencintai Alex sejak lama. Keluarga mereka pun menjodohkan keduanya, berharap Alex akhirnya menerima Grace sebagai pendamping hidupnya. Namun, hati Alex tetap dingin. Ia menolak perjodohan itu karena tidak memiliki perasaan sedikit pun terhadap Grace.
Ketika Alex mulai menyadari perhatian tulus Bella, ia dihadapkan pada dilema besar. Bisakah ia menerima cinta dari seorang gadis yang jauh lebih muda darinya? Ataukah ia harus tetap berpegang pada logika dan mengikuti kehendak keluarganya? Sementara itu, Grace yang tak ingin kehilangan Alex berusaha sekuat tenaga untuk memiliki Alex.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Adra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengakuan
Edward mengangguk pelan, tapi tiba-tiba dia teringat sesuatu. Dia menatap Alex dengan sedikit ragu.
“Tapi, bro... aku harus nanya sesuatu dulu sebelum aku bantu kamu,” kata Edward dengan nada serius.
Alex menaikkan alis. “Apa?”
Edward menyilangkan tangan di dadanya. “Grace.”
Alex terdiam sejenak, lalu menghela napas. “Maksud kamu?”
Edward menatapnya tajam. “Aku lihat kamu selalu bareng dia. Kamu beneran suka sama Bella, atau Bella cuma pelarianmu ?”
Alex tersenyum kecil, tapi ada sedikit ketegangan di matanya. “Aku nggak main-main, Ed.”
“Tapi kamu masih sama Grace.”
Alex menggeleng. “Aku nggak pernah ada hubungan serius sama dia. Itu cuma perjodohan keluarga. Aku nggak bisa nolak secara langsung, tapi bukan berarti aku suka.”
Edward masih menatapnya dengan ekspresi menilai. “Aku nggak mau Bella terluka, Alex. Dia udah cukup banyak ngalamin hal berat dalam hidupnya. Kalau kamu cuma iseng, lebih baik kamu mundur.”
Alex menatap Edward dengan serius. “Aku nggak iseng. Justru itu kenapa aku minta kamu tanyain Bella dulu. Kalau dia nggak ada rasa sama aku, aku juga nggak mau memaksa.”
Edward masih ragu, tapi dia bisa melihat ketulusan di mata Alex. Akhirnya, dia menghela napas panjang.
“Oke, aku bakal coba tanyain Bella. Tapi kalau kamu nyakitin dia, aku nggak bakal diem aja.”
Alex tersenyum kecil. “Aku ngerti, bro. Thanks ya.”
_____
Sementara dirumah Grace...
Grace menatap kalender di meja riasnya. Matanya membulat saat menyadari sesuatu.
"Astaga! Ulang tahun Alex sebentar lagi!" gumamnya dengan semangat.
Tiba-tiba, ide brilian melintas di kepalanya.
"Gimana kalau aku bikin kejutan buat dia?"
Grace langsung meraih ponselnya dan menghubungi teman-temannya di grup chat.
Grace: Say, gue punya ide gila! Ulang tahun Alex sebentar lagi. Gimana kalau kita rayain di cafe tempat dia sering nongkrong?
Sandra: Hah? Kenapa harus di sana?
Karin: Iya, kenapa nggak di tempat yang lebih fancy aja? Masa cowok sekeren Alex dirayain di kafe biasa?
Grace: Justru itu! Alex sering banget ke sana, pasti dia nggak akan curiga. Lagian, kalau kita rayain di tempat yang mewah, dia bisa aja nolak. Gue mau ini kejutan yang nggak bisa dia hindari!
Nicol: Hmm... ide lo boleh juga! Terus konsepnya gimana?
Grace tersenyum licik. "Sekalian gue bakal tunjukin ke semua orang kalau Alex itu punya gue. Cewek itu harus lihat sendiri."
Grace: Pokoknya, kita bikin acara romantis! Gue bakal kasih hadiah spesial buat Alex, dan pastinya, kita bakal kasih liat ke semua orang kalau gue yang paling cocok buat dia.
Agnes: Wah, seru nih! Gue ikut!
Sandra: Gue juga! Nggak sabar liat ekspresi Alex nanti, hehe!
Grace tertawa kecil sambil membayangkan kejutan yang akan ia berikan. Kali ini, Bella nggak akan bisa menghindar. Dia akan melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa Alex adalah miliknya.
_____
Edward menatap langit-langit kamarnya dengan pikiran yang berkecamuk. Kata-kata Alex tadi di cafe masih terngiang di kepalanya.
"Coba tanyain, dia punya pacar nggak? Terus, dia ada perhatian nggak sama gue?"
Edward menarik napas panjang. Ini bukan sekadar obrolan biasa. Alex memang serius ingin tahu perasaan Bella. Tapi... apa ini keputusan yang benar?
"Bella dan Alex itu seperti bumi dan langit."
Edward tahu betul bagaimana kehidupan mereka. Sejak kecil, mereka hidup sederhana, bahkan harus berjuang di panti asuhan. Sementara Alex? Hidupnya penuh kemewahan. Orang tua Alex pasti punya rencana besar untuknya, termasuk perjodohan dengan Grace.
"Kalau sampai Bella beneran suka sama Alex, dan hubungan mereka nggak direstui, gimana?"
Edward menghela napas, lalu mengusap wajahnya frustasi.
Di satu sisi, dia ingin melihat Bella bahagia. Tapi di sisi lain, dia nggak mau adiknya terluka karena jatuh cinta pada seseorang yang mungkin tidak bisa memperjuangkannya.
"Apa gue harus ngomong ke Bella atau pura-pura nggak tahu aja?"
Edward menatap ponselnya, ragu.
Bella ada di kamar sebelah. Satu langkah saja, dia bisa masuk dan menanyakan semuanya langsung. Tapi... apa dia siap mendengar jawabannya?
_____
Pagi itu, Bella baru keluar dari kamarnya dengan rambut masih sedikit berantakan. Ia menguap kecil sambil mengikat rambutnya ke atas. Tanpa banyak pikir, langkahnya langsung menuju dapur.
Tangannya dengan cekatan mengambil apron yang tergantung di dekat lemari dapur, lalu mulai menyalakan kompor. Hari ini dia berencana membuat sarapan sederhana, telur dadar, roti panggang, dan teh hangat. Ia mengambil beberapa butir telur dari kulkas, memecahkannya ke dalam mangkuk, lalu mengocoknya pelan. Sesekali, ia menoleh ke luar jendela, menikmati udara pagi yang masih segar.
Saat sedang menuangkan telur ke dalam wajan, Edward keluar dari kamarnya. Rambutnya masih sedikit acak-acakan, matanya terlihat sedikit sayu, seperti kurang tidur.
“Pagi, bang!” Bella menyapa sambil tetap sibuk dengan masakannya.
Edward hanya mengangguk pelan dan duduk di meja makan. Ia meraih gelas kosong, lalu menuangkan air putih ke dalamnya. Tapi Bella bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda dari abangnya pagi ini.
“Abang kenapa? Mukanya kayak orang lagi banyak pikiran,” tanya Bella sambil membalik telur dadarnya.
Edward terdiam sebentar, lalu akhirnya menarik napas panjang.
“Bella... aku mau nanya sesuatu,” katanya dengan suara sedikit serius.
Bella mengangkat alisnya, agak heran. “Nanya apa?”
“Tadi malam, Alex nitip pesan buat aku tanyain ke kamu."
Bella menghentikan gerakannya sejenak. Tangannya yang sedang memindahkan telur ke piring sedikit gemetar.
Kak Alex? Nitip pesan?
Jantung Bella mulai berdegup lebih cepat.
Bella menaruh piring berisi telur dadar di meja dan duduk di seberang Edward. Ia mengernyitkan dahi, berusaha menutupi rasa gugupnya.
"Pesan apa dari Kak Alex?" tanyanya, berusaha terdengar biasa saja.
Edward menatap adiknya sejenak, lalu berkata, "Dia tanya...kamu punya pacar atau nggak?"
Bella langsung terdiam. Jantungnya seakan berhenti sejenak sebelum kembali berdetak lebih cepat.
Ia menunduk, pura-pura sibuk dengan roti panggangnya, mengoleskan selai lebih lama dari yang seharusnya.
"Aku nggak jawab pertanyaan itu," katanya akhirnya, tanpa menatap Edward.
Edward mengernyit. "Kenapa? Kalau memang nggak punya, tinggal bilang aja kan?"
"Bukan itu masalahnya..." gumamnya pelan.
Dalam hatinya, ia tahu jawabannya. Ia memang tidak punya pacar. Tapi walaupun iya, rasanya mustahil.
Alex dan dirinya seperti bumi dan langit.
Edward memperhatikan adiknya yang masih menunduk, mengaduk-aduk teh di cangkirnya tanpa benar-benar berniat meminumnya.
"Jadi, kamu menyukai Alex?" tanya Edward dengan suara tenang.
Bella terdiam. Jemarinya yang menggenggam sendok mulai terasa dingin. Ia ingin menggeleng, tetapi hatinya menolak untuk berbohong.
Edward menunggu jawaban, namun Bella justru menghela napas dan berkata lirih, "Kalaupun aku menyukainya, rasanya mustahil."
Edward mengernyitkan dahi. "Kenapa?"
Bella tersenyum tipis, tetapi sorot matanya penuh kesedihan. "Perbedaan kami terlalu jauh, bang. Kak Alex itu orang kaya, pewaris perusahaan besar. Sedangkan aku... siapa aku ini?"
Edward menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap adiknya dengan penuh pertimbangan. "Lalu, kalau begitu, apa kamu akan menyerah begitu saja?"
Bella tertawa kecil, tetapi terdengar hambar. "Menyerah dari apa? Aku bahkan tidak pernah berjuang."
Edward terdiam. Dari cara Bella berbicara, ia tahu bahwa perasaan itu bukan sesuatu yang baru. Mungkin adiknya sudah memendamnya sejak lama, bahkan sebelum ia sendiri menyadarinya.
Tapi yang menjadi pertanyaan sekarang… bagaimana dengan Alex?