Di hari pernikahannya, Andi Alesha Azahra berusia 25 tahun, dighosting oleh calon suaminya, Reza, yang tidak muncul dan memilih menikahi sahabat Zahra, Andini, karena hamil dan alasan mereka beda suku.
Dipermalukan di depan para tamu, Zahra hampir runtuh, hingga ayahnya mengambil keputusan berani yaitu meminta Althaf berusia 29 tahun, petugas KUA yang menjadi penghulu hari itu, untuk menggantikan mempelai pria demi menjaga kehormatan keluarga.
Althaf yang awalnya ragu akhirnya menerima, karena pemuda itu juga memiliki hutang budi pada keluarga Zahra.
Bagaimanakah, kisah Zahra dan Althaf? Yuk kita simak. Yang gak suka silahkan skip!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Persaingan
Pembacaan doa akhirnya selesai. Para tamu mulai bergerak pelan menuju hidangan yang telah tersaji rapi di meja panjang. Suara sendok bertemu piring, obrolan pelan, dan aroma masakan memenuhi ruang tamu rumah panggung itu.
Althaf duduk di antara para bapak-bapak, mencoba menyuapkan beberapa sendok makanan. Namun karena lelah dan pikirannya kacau, ia tiba-tiba tersedak.
“Uhuk!”
Ia memegang dadanya, batuk kecil.
Dengan cepat sebuah gelas air disodorkan ke arahnya.
Saat Althaf mengangkat wajah, ia mendapati Anida berdiri di sampingnya, tatapannya khawatir. “Minum ki kak,” ujarnya lembut.
Namun sebelum Althaf sempat meraih gelas itu, Tiara yang tampaknya tidak ingin kalah ikut maju sambil menyodorkan gelas lain.
“Kak, minum mi ini. Biar jangan tersedak lagi.”
Zahra yang melihat dari ruang tengah spontan mencibir tanpa suara. Entah kenapa dadanya terasa panas. Ia mengerucutkan bibir, lalu mengambil satu gelas air mineral dan berjalan cepat menuju suaminya.
Tanpa basa-basi, Zahra berdiri tepat di depan Althaf dan langsung menyodorkan gelasnya tepat ke depan mulut sang suami, membuat kedua perempuan yang tadinya berebut membantu langsung terhenti.
Zahra tersenyum manis, manis sekali sampai Althaf sempat melongo. “Ayo minum,” ujarnya lembut namun penuh penegasan.
Althaf menelan ludah, lalu meneguk air pemberian Zahra. Tatapan para tamu sekilas beralih ke arah mereka, namun tak ada yang berkomentar.
Begitu Althaf selesai minum, Zahra memutar tubuhnya sedikit, memberikan senyum ramah namun sarat makna pada Tiara dan Anida.
“Terima kasih ya. Tapi Althaf sudah minum.”
Tiara memalingkan wajah, jelas-jelas kesal. Anida hanya mengangguk kecil sambil tersenyum tipis, lebih elegan dan tidak menunjukkan emosi.
Tatapan Tiara kemudian menelusuri wajah Zahra kulit mulus, paras cantik, dandanan rapisemakin membuatnya tidak suka. Dengan nada ketus ia bertanya, “Kamu siapanya Althaf?”
Zahra langsung menjawab tanpa ragu, sambil kembali tersenyum manis. “Tentu saya istrinya.” Ia lalu menambahkan, “Perkenalkan ya, Zahra.”
Wajah Tiara semakin masam, bibirnya tertekuk. Sementara Anida tetap tenang, mengulurkan tangannya sopan.
“Anida. Salam kenal,” katanya.
Zahra menyambut uluran itu dengan anggukan dan senyum. “Salam kenal juga.”
*
Keesokan harinya, embun masih menempel di dedaunan ketika Althaf keluar dari kamar dengan kemeja rapi dan celana panjang. Ia merapikan lengan kemejanya sambil memeriksa berkas dalam map biru. Di ruang tamu, Mak Mia yang sedang melipat pakaian langsung menatap putranya.
“Mau ko kemana nak?” tanya Mak Mia.
“Mau ka ke kota, Mak. Mau urus berkasku, sekalian ambil akte kematiannya bapak,” jawab Althaf tenang.
Mak Mia mengangguk pelan, wajahnya sedikit muram saat mendengar kata kematian. Namun ia tidak ingin membuat suasana berat.
Tak lama kemudian, Zahra muncul dari kamar. Ia mengenakan jeans biru, kaos putih, dan kemeja flanel sebagai outer. Rambutnya ia ikat tinggi, tampak segar dan cerah pagi itu.
Mak Mia menatapnya. “Mau Ki kemana nak?”
“Aku mau ikut sama Althaf, Mak, ke kota. Ada yang mau aku beli di sana,” jawab Zahra sambil merapikan tas selempangnya.
Mak Mia kembali mengangguk, kemudian menatap Althaf dengan penuh kekhawatiran. “Jangan pulang malam nah. Kalau perlu, setelah sholat isya pulang memang mi.”
Zahra yang sedang memasukkan ponselnya ke tas terhenti sejenak. “Emangnya kenapa Mak?”
Mak Mia meletakkan pakaian lipatan terakhir, wajahnya berubah serius. “Kalau malam di jalan masuk ke sini banyak begal.”
“Begal?” Zahra dan Althaf refleks saling memandang sebelum kembali menatap Mak Mia.
“Iyo,” ujar Mak Mia. “Sudah banyak korbannya. Mu tau pak Ilham yang tinggal di ujung?”
Althaf mengangguk pelan. “Tau, Mak.”
“Nah, dia salah satu korbannya,” lanjut Mak Mia.
Zahra langsung mengernyit, nada suaranya terdengar kesal. “Lalu apa gak ada polisi yang menindak mereka, Mak? Apa dia sudah lapor?”
Mak Mia menggeleng, wajahnya sedikit pasrah. “Sayangnya polisi tidak menanggapi.”
Zahra mendengus, terlihat benar-benar tidak suka mendengarnya.
Althaf hanya menarik napas panjang, lalu mendekat dan mencium tangan sang ibu. “Iye Mak, pulang cepat ja nanti.”
Zahra ikut mencium tangan Mak Mia dengan sopan. “Kami akan pulang cepat, Mak.”
“Ati-ati ki di jalan,” pesan Mak Mia.
Keduanya kemudian turun melalui tangga rumah panggung. Di bawah, motor matic milik Karel sudah terparkir. Karena motor Althaf masih dalam proses pengiriman dari Jakarta, untuk sementara motor itu menjadi andalan.
Althaf mengenakan helm dan memberikan satu lagi untuk Zahra. “Pakai helmnya,” katanya.
Zahra mengenakannya pelan. “Siap.”
Ia naik ke jok belakang, memegang pinggiran jaket Althaf dengan hati-hati.
“Pegang baik-baik,” ujar Althaf sebelum men-starter motor.
“Pegang kok,” gumam Zahra.
*
Saat siamg menjelang sore, Althaf dan Zahra baru makan siang. Warung sederhana itu tidak terlalu ramai.
Zahra memandangi piringnya, namun pikirannya jauh melayang. Ia mencoba tersenyum sebelum akhirnya membuka suara.
“Anida itu cantik ya,” ucapnya pelan, berusaha terdengar biasa saja. “Dia juga baik.”
Althaf tidak langsung menanggapi. Ia hanya melanjutkan mengunyah, meski gerakannya sedikit melambat.
Zahra menggigit bibirnya sebelum memberanikan diri meneruskan. “Kamu pernah pacaran dengan dia?”
Suapan Althaf langsung terhenti. Ia menghentikan sendok perlahan lalu menatap Zahra tatapan yang membuat gadis itu hampir ingin menyembunyikan wajahnya ke balik mangkuk sup.
Zahra tertawa kecil, canggung. “Hehe … aku cuma nanya.”
“Aku gak pernah pacaran dengan Anida,” jawab Althaf akhirnya, suaranya datarm
Zahra mengangguk cepat. “Tapi kamu pernah janjiin dia menikah, bukan?”
Tatapan Althaf dalam, menusuk, seolah berusaha membaca apa maksud Zahra sebenarnya. Gadis itu hanya bisa tersenyum kikuk, jari-jarinya memainkan tisu di meja.
“Itu dulu,” jawab Althaf lagi, suaranya sedikit lebih berat. “Tapi sekarang sudah berbeda. Memangnya ada apa kamu bahas dia?” tanya Althaf menaikkan salah satu alisnya.
Zahra buru-buru menggeleng, menunduk. “Gak ada apa-apa sih. Aku cuma mikir … mungkin Anida itu tipe kamu. Yang manis, sopan, berhijab, dan tutur katanya sopan. Benarkan?”
Kali ini Althaf benar-benar meletakkan sendoknya. Ia mencondongkan tubuh sedikit, menatap Zahra lebih serius.
“Sebenarnya tujuanmu apa Zahra?”
Zahra merasa wajahnya memanas. Ia menelan ludah, lalu dengan suara nyaris berbisik berkata, “Siapa tahu kau ingin kembali sama dia. Tapi terhalang karena diriku.”
Althaf menghela napas panjang, lalu bersandar. “Dia sudah menikah dengan pria lain.”
Zahra spontan mendongak. “Tapi sekarang dia sudah janda, kata Lisa.”
Althaf terdiam. Hening seketika mengisi ruang kecil warung itu. Zahra merasakan jantungnya berdetak keras, seolah menunggu hukuman. Waktu terasa berjalan begitu lambat.
Lalu Althaf membuka suaranya singkat, namun cukup untuk membuat Zahra terdiam membeku.
“Aku gak mungkin menjandakan istriku hanya demi seorang janda.”
Zahra terperanjat. Seketika tenggorokannya terasa kering, dan ia hanya bisa menatap Althaf tanpa kata.
Bunne tuh buah Buni ya thor
kapok sukurin kau hahaha
pak sul sul ketauan juga kan heh
awas kau pak sul sul ketauan baru tau rasa wkwkwk
aku ngebayangin nya aja enek loh, apa lagi yang jadi bu mirna pingsan dah🤣🤣
Alur ceritanya bagus dan konfliknya tidak begitu terlalu rumit...
pemilihan kosakata sangat baik dan mudah untuk dipahami...
terimakasih buat kk othor,
semoga sukses ❤️